Dua orang tua ini termasuk pimpinan Khmer Merah selama 1975-1979 Suasana haru dan isak tangis terjadi di ruang pengadilan di Phnom Penh, Kamboja, Kamis 7 Agustus 2014. Namun, yang menangis bukanlah dua orang yang diadili, melainkan ratusan korban yang selamat dari kekejaman rezim Khmer Merah.
Mereka terharu setelah mendengar hakim membacakan vonis atas dua orang yang diadili. Dua petinggi Khmer Merah itu, Khieu Samphan dan Nuon Chea, dihukum penjara seumur hidup setelah dinyatakan bersalah terlibat dalam kejahatan atas kemanusiaan selama mereka berkuasa di Kamboja.
Salah satu pengunjung yang terharu adalah Bou Meng. Pria yang kini berusia 73 tahun itu selamat dari kekejaman penjara maut Tuol Sleng semasa rezim Khmer Merah. "Saya ingin melihat keadilan. Bukan yang setengah-setengah, tapi keadilan bagi orang-orang dimana pun," kata Bou seperti dikutip Voice of America.
Juru bicara pengadilan, Lars Olsen, menyebut keputusan hakim ini adalah "hari yang bersejarah" bagi rakyat dan sistem hukum di Kamboja. "Para korban telah menunggu 35 tahun untuk pertanggungjawaban hukum ini dan sekarang pengadilan telah menjatuhkan putusan. Ini merupakan tonggak yang jelas," lanjut Olsen seperti dikutip harian The Guardian.
Kerabat korban kekejaman Khmer Merah yang sudah meninggal pun terharu mendengar keputusan hakim. Mereka pun saling berpelukan tanda bersyukur bahwa keadilan telah ditegakkan. Sebaliknya, kedua terhukum tidak menunjukkan reaksi saat Hakim Nil Nonn membacakan vonis pengadilan yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa Bangsa itu.
Usia dua terpidana itu sekarang sudah sangat sepuh. Khieu sekarang 83 tahun dan Nuon 88 tahun. Namun, semasa berkuasa, mereka memerintah rezim yang bengis. Hampir seperempat rakyat Kamboja saat itu habis terbantai oleh para pengikut rezim Khmer Merah.
Khieu Samphan dikenal sebagai "kepala negara" rezim Khmer Merah. Dia mewakili pemimpin rezim, Pol Pot, dalam mengendalikan pemerintahan. Sedangkan Nuon Chea merupakan wakilnya Pol Pot, sehingga disebut sebagai "Saudara Nomor Dua."
Mereka berdua dinyatakan bersalah atas kasus pembunuhan, penyiksaan politis, dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lain. Dengan reaksi dingin, sebelum mendengar vonis, dua orang sepuh itu membantah semua tuduhan.
Persidangan dua pimpinan Khmer Merah itu selama ini mendapat perhatian luas dari rakyat Kamboja. Sebagian besar lahir, setelah Khmer Merah tidak lagi berkuasa, mereka penasaran dengan seberapa besar keterlibatan dua orang yang kini telah tua renta itu dalam kekejaman masa lalu.
Kendati sudah tua, Khieu dan Nuon masih bisa berkilah di persidangan. Mereka mengaku tidak tahu apa-apa atas kejahatan yang disangkakan. Walau menjabat posisi tinggi, Khieu dan Nuon juga menyatakan saat itu tidak punya kuasa untuk menghentikan pembantaian atas sebagian rakyat Kamboja.
Namun, hakim menolak argumen itu. Hakim mengingatkan bahwa, sebagai kepala negara, Khieu pasti tahu kebijakan Partai Komunis Kamboja - nama resmi Khmer Merah - yang berkuasa. Begitu pula dengan Nuon. Hakim melihat dia terbukti sebagai pengambil kebijakan tertinggi dalam kekuasaan partai.
Sementara itu, tim pengacara Nuon dan Khieu bakal mengajukan banding atas hukuman yang diberikan hakim kepada klien mereka. Namun, Majelis Hakim menyatakan bahwa kedua terpidana itu harus tetap ditahan selama pengajuan proses banding mengingat bobot kejahatan yang mereka lakukan.
Sebelumnya, empat tahun lalu, Kamboja juga berhasil mengadili eks petinggi Khmer Merah. Dia adalah Kaing Guek Eav, yang dikenal dengan julukan "Duch."
Sebagai Kepala Penjara Tuol Sleng di Phnom Penh era Khmer Merah, Duch bertanggung jawab menyiksa dan membunuh lebih dari 14.000 tahanan secara keji. Sama seperti yang dialami Khieu dan Nuon, Duch akhirnya dihukum penjara seumur hidup.
Kisah kelam
Pengadilan atas Duch, Khieu dan Nuon itu mengingatkan kembali Kamboja, dan juga masyarakat internasional akan kekejaman Khmer Merah di masa silam. Sebagai kekuatan komunis, Khmer Merah berhasil menang perang saudara pada 1975 dan otomatis berkuasa di negara bekas jajahan Prancis itu.
Selama memerintah 1975-1979, Khmer Merah sangat beringas. Di tangan mereka, sekitar nyawa dua juta jiwa rakyat Kamboja melayang secara kejam.
Menurut The History Channel, dipimpin Pol Pot, Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, Khieu Samphan, dan Partai Komunis Khmer mereka semasa berkuasa menerapkan eksekusi politik, kelaparan, dan kamp kerja paksa bagi para musuh politik maupun kalangan intelektual.
Perintah pertama Khmer Merah kepada penduduk di Phnom Penh saat itu adalah segera tinggalkan kota. Mereka memperdaya penduduk dengan alasan bahwa Phnom Penh akan dibom pesawat Amerika Serikat, sehingga harus mengungsi.
Dalam hitungan jam, Phnom Penh sunyi senyap. Rezim Khmer Merah sengaja memindahkan penduduk ke desa untuk dibuat menjadi kaum tani sekaligus menyingkirkan kaum-kaum tertentu yang mereka anggap sebagai musuh rakyat.
Selama empat tahun berkuasa, rezim Khmer Merah menyiksa dan membantai warga yang berprofesi sebagai guru, kaum profesional, maupun yang tergolong kelas borjuis, atau kapitalis.
Tempat-tempat mereka dieksekusi dikenal sebagai ladang pembantaian (killing field). Ada juga warga dikirim ke kamp kerja paksa, tergantung dari bobot kesalahan, atau latar belakang mereka berdasarkan penilaian subjektif para aparat. Di sana, mereka pun dibiarkan kelaparan.
Rezim Khmer pun menanamkan nilai-nilai revolusioner ekstrem kepada anak-anak melalui suatu kamp khusus dengan tidak lagi mengakui orangtua kandung mereka. Anak-anak pun dikerahkan untuk memata-matai dan mengintimidasi orang-orang dewasa.
Rezim Khmer Merah juga membubarkan pemerintahan kerajaan, walau tetap mengakui Raja Norodom Sihanouk sebagai kepala negara hingga 2 April 1976, saat dia mundur dari jabatannya. Sihanouk berstatus sebagai tahanan rumah di Phnom Penh, sebelum akhirnya berhasil mengungsi ke AS dan akhirnya pindah ke Tiongkok.
Rezim Khmer Merah akhirnya berakhir pada 1979, saat Vietnam menyerang Kamboja dan berkuasa di sana selama sepuluh tahun, sebelum akhirnya tercipta kesepakatan damai. Para pimpinan Khmer Merah, termasuk Pol Pot melarikan diri ke hutan. Namun, sebagian dari mereka saat ini berhasil ditangkap dan tengah diadili untuk kasus kejahatan atas kemanusiaan.
Pol Pot
Sebagai orang yang paling diburu, Pol Pot meninggal dalam pelarian. Dia dinyatakan tewas pada 15 April 1998. Menurut stasiun berita BBC, para jurnalis saat itu menyaksikan jenazahnya yang telah terbujur kaku di suatu desa di Kamboja bagian barat, diberitahu bahwa Pol Pot meninggal karena serangan jantung.
Pol Pot tidak pernah mengungkapkan usianya, namun dia diyakini wafat di usia sekitar 70 tahun. Nama Pol Pot terdengar menyeramkan bagi rakyat Kamboja yang hidup di akhir dekade 1970-an.
Tahun 1997, Pol Pot diberhentikan sebagai pemimpin Khmer Merah. Bahkan, pengadilan khusus Khmer Merah menjatuhkan dia hukuman penjara seumur hidup. Kabar meninggalnya Pol Pot tersiar beberapa jam setelah para petinggi kelompok Khmer Merah bersiap menyerahkan dia kepada pemerintah Kamboja untuk mengakhiri perang saudara.
Namun, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger, yang menjabat saat Khmer Merah berkuasa di Kamboja, menduga bahwa Pol Pot sengaja dibunuh.
Pol Pot memimpin Partai Komunis Kamboja pada tahun 1962, setelah menjadi seorang pengikut Marxis saat belajar Paris, Prancis. Dia dan kelompok perlawanan Khmer Merah yang dibentuknya berkuasa di Kamboja selama periode 1975-1979, setelah perang melawan pasukan pemerintah yang didukung AS.
Semasa memerintah, Pol Pot dan rezimnya membuat kebijakan bahwa warga yang masuk kelompok intelektual adalah musuh negara. Itulah sebabnya banyak warga dari kaum terpelajar disiksa dan dibunuh.(asp)
Mereka terharu setelah mendengar hakim membacakan vonis atas dua orang yang diadili. Dua petinggi Khmer Merah itu, Khieu Samphan dan Nuon Chea, dihukum penjara seumur hidup setelah dinyatakan bersalah terlibat dalam kejahatan atas kemanusiaan selama mereka berkuasa di Kamboja.
Salah satu pengunjung yang terharu adalah Bou Meng. Pria yang kini berusia 73 tahun itu selamat dari kekejaman penjara maut Tuol Sleng semasa rezim Khmer Merah. "Saya ingin melihat keadilan. Bukan yang setengah-setengah, tapi keadilan bagi orang-orang dimana pun," kata Bou seperti dikutip Voice of America.
Juru bicara pengadilan, Lars Olsen, menyebut keputusan hakim ini adalah "hari yang bersejarah" bagi rakyat dan sistem hukum di Kamboja. "Para korban telah menunggu 35 tahun untuk pertanggungjawaban hukum ini dan sekarang pengadilan telah menjatuhkan putusan. Ini merupakan tonggak yang jelas," lanjut Olsen seperti dikutip harian The Guardian.
Kerabat korban kekejaman Khmer Merah yang sudah meninggal pun terharu mendengar keputusan hakim. Mereka pun saling berpelukan tanda bersyukur bahwa keadilan telah ditegakkan. Sebaliknya, kedua terhukum tidak menunjukkan reaksi saat Hakim Nil Nonn membacakan vonis pengadilan yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa Bangsa itu.
Usia dua terpidana itu sekarang sudah sangat sepuh. Khieu sekarang 83 tahun dan Nuon 88 tahun. Namun, semasa berkuasa, mereka memerintah rezim yang bengis. Hampir seperempat rakyat Kamboja saat itu habis terbantai oleh para pengikut rezim Khmer Merah.
Khieu Samphan dikenal sebagai "kepala negara" rezim Khmer Merah. Dia mewakili pemimpin rezim, Pol Pot, dalam mengendalikan pemerintahan. Sedangkan Nuon Chea merupakan wakilnya Pol Pot, sehingga disebut sebagai "Saudara Nomor Dua."
Mereka berdua dinyatakan bersalah atas kasus pembunuhan, penyiksaan politis, dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lain. Dengan reaksi dingin, sebelum mendengar vonis, dua orang sepuh itu membantah semua tuduhan.
Persidangan dua pimpinan Khmer Merah itu selama ini mendapat perhatian luas dari rakyat Kamboja. Sebagian besar lahir, setelah Khmer Merah tidak lagi berkuasa, mereka penasaran dengan seberapa besar keterlibatan dua orang yang kini telah tua renta itu dalam kekejaman masa lalu.
Kendati sudah tua, Khieu dan Nuon masih bisa berkilah di persidangan. Mereka mengaku tidak tahu apa-apa atas kejahatan yang disangkakan. Walau menjabat posisi tinggi, Khieu dan Nuon juga menyatakan saat itu tidak punya kuasa untuk menghentikan pembantaian atas sebagian rakyat Kamboja.
Namun, hakim menolak argumen itu. Hakim mengingatkan bahwa, sebagai kepala negara, Khieu pasti tahu kebijakan Partai Komunis Kamboja - nama resmi Khmer Merah - yang berkuasa. Begitu pula dengan Nuon. Hakim melihat dia terbukti sebagai pengambil kebijakan tertinggi dalam kekuasaan partai.
Sementara itu, tim pengacara Nuon dan Khieu bakal mengajukan banding atas hukuman yang diberikan hakim kepada klien mereka. Namun, Majelis Hakim menyatakan bahwa kedua terpidana itu harus tetap ditahan selama pengajuan proses banding mengingat bobot kejahatan yang mereka lakukan.
Sebelumnya, empat tahun lalu, Kamboja juga berhasil mengadili eks petinggi Khmer Merah. Dia adalah Kaing Guek Eav, yang dikenal dengan julukan "Duch."
Sebagai Kepala Penjara Tuol Sleng di Phnom Penh era Khmer Merah, Duch bertanggung jawab menyiksa dan membunuh lebih dari 14.000 tahanan secara keji. Sama seperti yang dialami Khieu dan Nuon, Duch akhirnya dihukum penjara seumur hidup.
Kisah kelam
Pengadilan atas Duch, Khieu dan Nuon itu mengingatkan kembali Kamboja, dan juga masyarakat internasional akan kekejaman Khmer Merah di masa silam. Sebagai kekuatan komunis, Khmer Merah berhasil menang perang saudara pada 1975 dan otomatis berkuasa di negara bekas jajahan Prancis itu.
Selama memerintah 1975-1979, Khmer Merah sangat beringas. Di tangan mereka, sekitar nyawa dua juta jiwa rakyat Kamboja melayang secara kejam.
Menurut The History Channel, dipimpin Pol Pot, Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, Khieu Samphan, dan Partai Komunis Khmer mereka semasa berkuasa menerapkan eksekusi politik, kelaparan, dan kamp kerja paksa bagi para musuh politik maupun kalangan intelektual.
Perintah pertama Khmer Merah kepada penduduk di Phnom Penh saat itu adalah segera tinggalkan kota. Mereka memperdaya penduduk dengan alasan bahwa Phnom Penh akan dibom pesawat Amerika Serikat, sehingga harus mengungsi.
Dalam hitungan jam, Phnom Penh sunyi senyap. Rezim Khmer Merah sengaja memindahkan penduduk ke desa untuk dibuat menjadi kaum tani sekaligus menyingkirkan kaum-kaum tertentu yang mereka anggap sebagai musuh rakyat.
Selama empat tahun berkuasa, rezim Khmer Merah menyiksa dan membantai warga yang berprofesi sebagai guru, kaum profesional, maupun yang tergolong kelas borjuis, atau kapitalis.
Tempat-tempat mereka dieksekusi dikenal sebagai ladang pembantaian (killing field). Ada juga warga dikirim ke kamp kerja paksa, tergantung dari bobot kesalahan, atau latar belakang mereka berdasarkan penilaian subjektif para aparat. Di sana, mereka pun dibiarkan kelaparan.
Rezim Khmer pun menanamkan nilai-nilai revolusioner ekstrem kepada anak-anak melalui suatu kamp khusus dengan tidak lagi mengakui orangtua kandung mereka. Anak-anak pun dikerahkan untuk memata-matai dan mengintimidasi orang-orang dewasa.
Rezim Khmer Merah juga membubarkan pemerintahan kerajaan, walau tetap mengakui Raja Norodom Sihanouk sebagai kepala negara hingga 2 April 1976, saat dia mundur dari jabatannya. Sihanouk berstatus sebagai tahanan rumah di Phnom Penh, sebelum akhirnya berhasil mengungsi ke AS dan akhirnya pindah ke Tiongkok.
Rezim Khmer Merah akhirnya berakhir pada 1979, saat Vietnam menyerang Kamboja dan berkuasa di sana selama sepuluh tahun, sebelum akhirnya tercipta kesepakatan damai. Para pimpinan Khmer Merah, termasuk Pol Pot melarikan diri ke hutan. Namun, sebagian dari mereka saat ini berhasil ditangkap dan tengah diadili untuk kasus kejahatan atas kemanusiaan.
Pol Pot
Sebagai orang yang paling diburu, Pol Pot meninggal dalam pelarian. Dia dinyatakan tewas pada 15 April 1998. Menurut stasiun berita BBC, para jurnalis saat itu menyaksikan jenazahnya yang telah terbujur kaku di suatu desa di Kamboja bagian barat, diberitahu bahwa Pol Pot meninggal karena serangan jantung.
Pol Pot tidak pernah mengungkapkan usianya, namun dia diyakini wafat di usia sekitar 70 tahun. Nama Pol Pot terdengar menyeramkan bagi rakyat Kamboja yang hidup di akhir dekade 1970-an.
Tahun 1997, Pol Pot diberhentikan sebagai pemimpin Khmer Merah. Bahkan, pengadilan khusus Khmer Merah menjatuhkan dia hukuman penjara seumur hidup. Kabar meninggalnya Pol Pot tersiar beberapa jam setelah para petinggi kelompok Khmer Merah bersiap menyerahkan dia kepada pemerintah Kamboja untuk mengakhiri perang saudara.
Namun, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger, yang menjabat saat Khmer Merah berkuasa di Kamboja, menduga bahwa Pol Pot sengaja dibunuh.
Pol Pot memimpin Partai Komunis Kamboja pada tahun 1962, setelah menjadi seorang pengikut Marxis saat belajar Paris, Prancis. Dia dan kelompok perlawanan Khmer Merah yang dibentuknya berkuasa di Kamboja selama periode 1975-1979, setelah perang melawan pasukan pemerintah yang didukung AS.
Semasa memerintah, Pol Pot dan rezimnya membuat kebijakan bahwa warga yang masuk kelompok intelektual adalah musuh negara. Itulah sebabnya banyak warga dari kaum terpelajar disiksa dan dibunuh.(asp)
★ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.