Pulau Thitu Filipina yang berbenah diri melawan agresi China [wikipedia] ★
Situasi di Laut Cina Selatan memanas. Cina semakin berani mengklaim wilayah-wilayah perairan milik negara lain di sana. Berbagai taktik dilakukan mulai dari melarang pencarian ikan, menenggelamkan kapal, hingga membentuk wilayah administrasi baru secara sepihak.
Salah satu insiden yang masih hangat adalah insiden West Capella, bulan lalu di perairan Malaysia. Di tengah pengeboran lepas laut, yang dilakukan kapal West Capella, Cina mengirimkan kapal survei dan coast guard untuk melakukan pemindaian. Menganggapnya sebagai langkah provokasi, Malaysia mengirim kapal Angkatan Laut-nya ke lokasi yang sama.
Dalam insiden tersebut, Amerika ikut terlibat. Dengan kapal perang yang dimiliki, mereka mengawal kapal Angkatan Laut Malaysia, menegaskan dukungan kepada negara-negara ASEAN. Mereka menyebutnya sebagai "presence operation", mengingatkan Cina bahwa ada Amerika juga di Laut Cina Selatan.
Reed B. Werner, Deputy Assistant Secretary of Defense untuk wilayah ASEAN, dari Kementerian Pertahanan Amerika, bercerita banyak soal situasi di Laut Cina Selatan. Tak berhenti di situ, ia juga memperingatkan Indonesia soal Cina yang semakin agresif, bahkan di tengah pandemi Corona (COVID-19). Berikut petikan wawancara eksklusif Istman Musaharun dari Tempo.co dengan Reed B. Werner via sambungan internasional pada pekan lalu.
***
Pantauan kami, Cina semakin agresif dalam mengklaim wilayah-wilayah perairan di Laut Cina Selatan. Apa sikap Amerika, sebagai sekutu negara-negara di Asia Tenggara, soal itu?
Kami memiliki perhatian khusus terhadap situasi di Laut Cina Selatan. Komitmen kami adalah mewujudkan wilayah Laut Cina Selatan yang bebas dari konflik, menghormati wilayah perairan masing-masing, dan menjunjung penyelesaian masalah secara damai.
Apa tidak khawatir dengan langkah Cina yang mulai berani masuk ke wilayah perairan negara lain dan mengklaimnya sebagai milik mereka?
Tentu kami memiliki kekhawatiran terhadap aktivitas Cina di Laut Cina Selatan. Mereka memaksa negara-negara Asia Tenggara (untuk memberikan wilayah perairan mereka) dan menghalangi akses mereka ke sumber daya laut yang penting untuk pertumbuhan ekonomi. Mereka melakukan semua itu di saat mayoritas negara-negara Asia Tenggara sibuk dengan COVID-19.
Kami terus memonitor aktivitas mereka mulai dari pengerahan armada, kapal survey, hingga kapal coast guard. Hal itu termasuk ketika mereka mengganggu pengeboran lepas laut oleh Kapal Malaysia.
Trend aktivitas Cina di Laut Cina Selatan seperti apa?
Ini bagian dari tren yang lebih besar. Sejak Januari, mereka sudah melakukan pengawalan terhadap kapal-kapal (ikan). Selain itu, secara sepihak, mereka juga melarang aktivitas perikanan, membentuk wilayah administrasi baru, dan secara terus menerus melanggar hukum internasional (UNCLOS) seperti yang terjadi di Natuna beberapa waktu lalu. Kami juga sadar aksi mereka menenggelamkan kapal Vietnam di Kepulauan Paracel April lalu.
Manuver militer mereka juga tidak professional. April lalu, kapal perang Cina mengunci senjata radar mereka ke kapal Angkatan Laut Filipina, memberi sinyal seolah-olah mereka akan menenggelamkan kapal itu. Selain itu, juga ada aktivitas pesawat yang tidak perlu. Ini jelas mengkhawatirkan dan kami terus mengawasi mereka.
Parade angkatan laut Cina di Laut Cina Selatan terlihat dari satelit pencitraan, 28 Maret 2018. CNN - Planet Labs
Pantauan Amerika, kenapa Cina tiba-tiba menjadi sangat agresif akhir-akhir ini? Apakah memanfaatkan momen pandemi COVID-19?
Kami tidak tahu pasti apa motif Cina (tiba-tiba semakin agresif) dan apakah hal tersebut berkaitan dengan pandemi COVID-19. Apa yang bisa kami katakan, Cina sadar bahwa negara-ngeara ASEAN disibukkan oleh pandemi COVID-19 dan di saat bersamaan mereka menciptakan ketidakstabilan di Laut Cina Selatan.
Apakah maksud anda mereka bersikap pragmatis terhadap situasi COVID-19?
Saya katakan kembali bahwa kami tidak tahu motif mereka, namun mereka sadar bahwa negara-negara ASEAN tengah sibuk dengan COVID-19. Virus tersebut diyakini berasal dari Cina, mereka juga tengah menanganinya, namun mereka tetap melanjutkan aktivitas di Laut Cina Selatan.
Cina sudah memiliki dua pulau buatan yang siap dengan alutsista. Bisa dikatakan mereka sudah punya posisi kuat di Laut Cina Selatan. Menurut Amerika, bagaimana negara-negara Asia Tenggara harus meresponnya?
Pertama, ingin saya sampaikan bahwa Indonesia sudah bersikap tepat dengan tidak terintimidasi oleh aktivitas Cina dan tetap menjunjung konvensi internasional.
Untuk merespon Cina yang sudah siap siaga di Laut Cina Selatan, penting bagi negara-negara Asia Tenggara untuk bersatu mendorong mundur aktivitas Cina. Itu hal yang sangat kritikal. Setiap kali Cina melanggar hukum internasional, lawanlah.
Foto satelit yang diambil, pada 8 Januari 2016, ini memperlihatkan tanggul dan dermaga yang telah selesai dibangun di Pulau Subi Reef, Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan. Tiongkok terus membangun infrastruktur di pulau yang masih menjadi sengketa tersebut. REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Digital Globe
Amerika bisa membantu apa untuk itu (melawan Militer Cina)?
Kami secara berkelanjutan terus membangun kapasitas militer negara-negara Asia Tenggara. Selain itu, juga membangun kesadaran mereka terhadap wilayah maritim masing-masing. Amerika membantu negara-negara Asia Tenggara untuk hal tersebut.
Amerika membantu Malaysia dengan mengirimkan drone untuk menjaga wilayah perairan mereka. Apakah Indonesia akan mendapat bantuan serupa?
Saya tidak bisa menyampaikan detail kerjasama Pentagon dengan negara lain. Namun, kami akan terus membantu (Indonesia) lewat latihan militer bersama, menyediakan bantuan keamanan, teknologi militer, serta pertukaran informasi soal situasi di Laut Cina Selatan.
Bisa dielaborasi bantuan Amerika untuk Indonesia? Mungkin "Presence Operation" seperti di Malaysia?
Apa yang kami kerjakan dengan Indonesia adalah meningkatkan bantuan keamanan. Misalnya, perihal alutsista, kami sedang berdiskusi untuk pengadaan helikopter Apache dan perlengkapan militer lainnya yang bisa meningkatkan keamanan maritim Indonesia. Soal latihan militer bersama, akan diperluas ke situasi-situasi yang lebih kompleks. Hal itu untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mengawasi dan menjaga wilayah perairan mereka (di Laut Cina Selatan).
Kapan semua itu akan diwujudkan?
Wah, anda menanyakan hal yang susah. Seperti yang anda tahu, sekarang kami sedang menghentikan sementara operasi militer akibat pembatasan perjalanan (efek COVID-19). Jadi, untuk saat ini, masih belum jelas kapan latihan militer bersama akan digelar kembali. Semoga saja bisa sesegera mungkin.
Berarti, menunggu pandemi COVID-19 reda?
Saya percaya kami akan langsung meningkatkan latihan militer bersama (dengan Indonesia) begitu situasi memungkinkan.
Dua kapal induk kelas Nimitz milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS John C. Stennis (kiri) dan USS Ronald Reagan dari Armada 7 di perairan Filipina, 18 Juni 2016. Amerika Serikat menempatkan dua kapal induknya setelah suasana di Laut Cina Selatan memanas. Jake Greenberg/U.S. Navy via Getty Images
Kembali ke penyelesaian masalah di Laut Cina Selatan, bagaimana Amerika akan menyeimbangkan pendekatan militer dan diplomatik? Situasi sudah memanas di Laut Cina Selatan dan sepertinya pendekatan militer tak terhindarkan.
Ada berbagai cara untuk menyelesaikan masalah di Laut Cina Selatan. Amerika terus berkomunikasi dengan Cina. Apabila ada aktivitas mereka yang tidak wajar, kami langsung memberitahu mereka soal kekhawatiran kami. Tentu jalur diplomasi juga diandalkan oleh diplomat Amerika dan Cina.
Khusus soal militer, kami menerapkan strategi Deterrence (Pencegahan Perang). Itulah kenapa kami tetap berpatroli, menerbangkan pesawat, menggelar latihan militer, dan membentuk kerjasama pertahanan di Laut Cina Selatan. Kami juga mengingatkan Cina untuk terus mematuhi Code of Conduct dan jangan menciptakan ketidakstabilan di Laut Cina Selatan.
Saya perlu mengakui bahwa Cina tidak memiliki rekam jejak yang bagus soal mematuhi aturan internasional. Negara-negara Asia Tenggara perlu bekerja sama untuk memastikan Code of Conduct atau aturan internasional dipatuhi Cina.
Anda tadi berbicara soal menjaga komunikasi dengan Cina. Kita semua tahu bahwa hubungan Cina dan Amerika buruk. Bagaimana komunikasi kedua negara saat ini?
Saya hanya bisa mengatakan bahwa kami terus berkomunikasi secara rutin, baik terkait diplomasi maupun militer.
Situasi di Laut Cina Selatan memanas. Cina semakin berani mengklaim wilayah-wilayah perairan milik negara lain di sana. Berbagai taktik dilakukan mulai dari melarang pencarian ikan, menenggelamkan kapal, hingga membentuk wilayah administrasi baru secara sepihak.
Salah satu insiden yang masih hangat adalah insiden West Capella, bulan lalu di perairan Malaysia. Di tengah pengeboran lepas laut, yang dilakukan kapal West Capella, Cina mengirimkan kapal survei dan coast guard untuk melakukan pemindaian. Menganggapnya sebagai langkah provokasi, Malaysia mengirim kapal Angkatan Laut-nya ke lokasi yang sama.
Dalam insiden tersebut, Amerika ikut terlibat. Dengan kapal perang yang dimiliki, mereka mengawal kapal Angkatan Laut Malaysia, menegaskan dukungan kepada negara-negara ASEAN. Mereka menyebutnya sebagai "presence operation", mengingatkan Cina bahwa ada Amerika juga di Laut Cina Selatan.
Reed B. Werner, Deputy Assistant Secretary of Defense untuk wilayah ASEAN, dari Kementerian Pertahanan Amerika, bercerita banyak soal situasi di Laut Cina Selatan. Tak berhenti di situ, ia juga memperingatkan Indonesia soal Cina yang semakin agresif, bahkan di tengah pandemi Corona (COVID-19). Berikut petikan wawancara eksklusif Istman Musaharun dari Tempo.co dengan Reed B. Werner via sambungan internasional pada pekan lalu.
***
Pantauan kami, Cina semakin agresif dalam mengklaim wilayah-wilayah perairan di Laut Cina Selatan. Apa sikap Amerika, sebagai sekutu negara-negara di Asia Tenggara, soal itu?
Kami memiliki perhatian khusus terhadap situasi di Laut Cina Selatan. Komitmen kami adalah mewujudkan wilayah Laut Cina Selatan yang bebas dari konflik, menghormati wilayah perairan masing-masing, dan menjunjung penyelesaian masalah secara damai.
Apa tidak khawatir dengan langkah Cina yang mulai berani masuk ke wilayah perairan negara lain dan mengklaimnya sebagai milik mereka?
Tentu kami memiliki kekhawatiran terhadap aktivitas Cina di Laut Cina Selatan. Mereka memaksa negara-negara Asia Tenggara (untuk memberikan wilayah perairan mereka) dan menghalangi akses mereka ke sumber daya laut yang penting untuk pertumbuhan ekonomi. Mereka melakukan semua itu di saat mayoritas negara-negara Asia Tenggara sibuk dengan COVID-19.
Kami terus memonitor aktivitas mereka mulai dari pengerahan armada, kapal survey, hingga kapal coast guard. Hal itu termasuk ketika mereka mengganggu pengeboran lepas laut oleh Kapal Malaysia.
Trend aktivitas Cina di Laut Cina Selatan seperti apa?
Ini bagian dari tren yang lebih besar. Sejak Januari, mereka sudah melakukan pengawalan terhadap kapal-kapal (ikan). Selain itu, secara sepihak, mereka juga melarang aktivitas perikanan, membentuk wilayah administrasi baru, dan secara terus menerus melanggar hukum internasional (UNCLOS) seperti yang terjadi di Natuna beberapa waktu lalu. Kami juga sadar aksi mereka menenggelamkan kapal Vietnam di Kepulauan Paracel April lalu.
Manuver militer mereka juga tidak professional. April lalu, kapal perang Cina mengunci senjata radar mereka ke kapal Angkatan Laut Filipina, memberi sinyal seolah-olah mereka akan menenggelamkan kapal itu. Selain itu, juga ada aktivitas pesawat yang tidak perlu. Ini jelas mengkhawatirkan dan kami terus mengawasi mereka.
Parade angkatan laut Cina di Laut Cina Selatan terlihat dari satelit pencitraan, 28 Maret 2018. CNN - Planet Labs
Pantauan Amerika, kenapa Cina tiba-tiba menjadi sangat agresif akhir-akhir ini? Apakah memanfaatkan momen pandemi COVID-19?
Kami tidak tahu pasti apa motif Cina (tiba-tiba semakin agresif) dan apakah hal tersebut berkaitan dengan pandemi COVID-19. Apa yang bisa kami katakan, Cina sadar bahwa negara-ngeara ASEAN disibukkan oleh pandemi COVID-19 dan di saat bersamaan mereka menciptakan ketidakstabilan di Laut Cina Selatan.
Apakah maksud anda mereka bersikap pragmatis terhadap situasi COVID-19?
Saya katakan kembali bahwa kami tidak tahu motif mereka, namun mereka sadar bahwa negara-negara ASEAN tengah sibuk dengan COVID-19. Virus tersebut diyakini berasal dari Cina, mereka juga tengah menanganinya, namun mereka tetap melanjutkan aktivitas di Laut Cina Selatan.
Cina sudah memiliki dua pulau buatan yang siap dengan alutsista. Bisa dikatakan mereka sudah punya posisi kuat di Laut Cina Selatan. Menurut Amerika, bagaimana negara-negara Asia Tenggara harus meresponnya?
Pertama, ingin saya sampaikan bahwa Indonesia sudah bersikap tepat dengan tidak terintimidasi oleh aktivitas Cina dan tetap menjunjung konvensi internasional.
Untuk merespon Cina yang sudah siap siaga di Laut Cina Selatan, penting bagi negara-negara Asia Tenggara untuk bersatu mendorong mundur aktivitas Cina. Itu hal yang sangat kritikal. Setiap kali Cina melanggar hukum internasional, lawanlah.
Foto satelit yang diambil, pada 8 Januari 2016, ini memperlihatkan tanggul dan dermaga yang telah selesai dibangun di Pulau Subi Reef, Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan. Tiongkok terus membangun infrastruktur di pulau yang masih menjadi sengketa tersebut. REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Digital Globe
Amerika bisa membantu apa untuk itu (melawan Militer Cina)?
Kami secara berkelanjutan terus membangun kapasitas militer negara-negara Asia Tenggara. Selain itu, juga membangun kesadaran mereka terhadap wilayah maritim masing-masing. Amerika membantu negara-negara Asia Tenggara untuk hal tersebut.
Amerika membantu Malaysia dengan mengirimkan drone untuk menjaga wilayah perairan mereka. Apakah Indonesia akan mendapat bantuan serupa?
Saya tidak bisa menyampaikan detail kerjasama Pentagon dengan negara lain. Namun, kami akan terus membantu (Indonesia) lewat latihan militer bersama, menyediakan bantuan keamanan, teknologi militer, serta pertukaran informasi soal situasi di Laut Cina Selatan.
Bisa dielaborasi bantuan Amerika untuk Indonesia? Mungkin "Presence Operation" seperti di Malaysia?
Apa yang kami kerjakan dengan Indonesia adalah meningkatkan bantuan keamanan. Misalnya, perihal alutsista, kami sedang berdiskusi untuk pengadaan helikopter Apache dan perlengkapan militer lainnya yang bisa meningkatkan keamanan maritim Indonesia. Soal latihan militer bersama, akan diperluas ke situasi-situasi yang lebih kompleks. Hal itu untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mengawasi dan menjaga wilayah perairan mereka (di Laut Cina Selatan).
Kapan semua itu akan diwujudkan?
Wah, anda menanyakan hal yang susah. Seperti yang anda tahu, sekarang kami sedang menghentikan sementara operasi militer akibat pembatasan perjalanan (efek COVID-19). Jadi, untuk saat ini, masih belum jelas kapan latihan militer bersama akan digelar kembali. Semoga saja bisa sesegera mungkin.
Berarti, menunggu pandemi COVID-19 reda?
Saya percaya kami akan langsung meningkatkan latihan militer bersama (dengan Indonesia) begitu situasi memungkinkan.
Dua kapal induk kelas Nimitz milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS John C. Stennis (kiri) dan USS Ronald Reagan dari Armada 7 di perairan Filipina, 18 Juni 2016. Amerika Serikat menempatkan dua kapal induknya setelah suasana di Laut Cina Selatan memanas. Jake Greenberg/U.S. Navy via Getty Images
Kembali ke penyelesaian masalah di Laut Cina Selatan, bagaimana Amerika akan menyeimbangkan pendekatan militer dan diplomatik? Situasi sudah memanas di Laut Cina Selatan dan sepertinya pendekatan militer tak terhindarkan.
Ada berbagai cara untuk menyelesaikan masalah di Laut Cina Selatan. Amerika terus berkomunikasi dengan Cina. Apabila ada aktivitas mereka yang tidak wajar, kami langsung memberitahu mereka soal kekhawatiran kami. Tentu jalur diplomasi juga diandalkan oleh diplomat Amerika dan Cina.
Khusus soal militer, kami menerapkan strategi Deterrence (Pencegahan Perang). Itulah kenapa kami tetap berpatroli, menerbangkan pesawat, menggelar latihan militer, dan membentuk kerjasama pertahanan di Laut Cina Selatan. Kami juga mengingatkan Cina untuk terus mematuhi Code of Conduct dan jangan menciptakan ketidakstabilan di Laut Cina Selatan.
Saya perlu mengakui bahwa Cina tidak memiliki rekam jejak yang bagus soal mematuhi aturan internasional. Negara-negara Asia Tenggara perlu bekerja sama untuk memastikan Code of Conduct atau aturan internasional dipatuhi Cina.
Anda tadi berbicara soal menjaga komunikasi dengan Cina. Kita semua tahu bahwa hubungan Cina dan Amerika buruk. Bagaimana komunikasi kedua negara saat ini?
Saya hanya bisa mengatakan bahwa kami terus berkomunikasi secara rutin, baik terkait diplomasi maupun militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.