Oleh Ade P Marboen
![]()  | 
| Ilustrasi UAV | 
Angkatan
 Laut Amerika Serikat, sebagai contoh, telah lama memakai teknologi itu 
untuk mengendus keberadaan anasir yang mengancam kepentingan Amerika 
Serikat; nun jauh sebelum anasir itu bisa diindera mata dan telinga 
manusia.
Salah
 satunya berupa RQ-8A/B Fire Scout, serupa helikopter mini yang bisa 
lepas landas dari kapal perang. Fire Scout ditempatkan pertama kali di 
dalam hanggar USS Denver pada Januari 2002 dengan kemampuan paling 
berbahaya bertajuk pengintaian (reconnaisanse), peraihan sasaran taktis,
 melacak sasaran, dan pemilihan sasaran secara akurat.
Ada
 lagi yang jauh lebih sangar, seturut Jane's Defence, namanya 
Northrop-Grumman RQ-4A Tier II Plus Global Hawk yang mampu dibekali 
teknolgi Synthetic Aperture Radar, electro-optical, sensor infra merah, 
dan masih banyak lagi. Maklum, arsenal classsified, jadi cuma sedikit 
yang bisa diungkap pabrikan. 
Bisakah
 Indonesia menuju ke sana? Bisa adalah jawabannya namun tidak seketika. 
Sejalan penandatanganan nota kerja sama antara TNI AL dan LAPAN, di 
Markas Besar TNI AL di Cilangkap, Jakarta Timur, kerangka ke arah
 sana sedang dibangun bersama.
Pihak
 penandatangan adalah Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Soeparno, dengan
 koleganya, Kepala LAPAN, Bambang S Tejasukmana, disaksikan para 
petinggi masing-masing pihak dan belasan jurnalis nasional. Dari sisi 
waktu pemberlakuan kerja sama itu, ada skema jangka pendek dan jangka 
panjang.
Intinya,
 kedua pihak saling berbagi pengetahuan dan pengalaman serta saling 
melatih dan meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi-teknologi 
terkait. TNI AL memiliki Dinas Hidrografi dan Oseanografi yang sangat 
mumpuni dalam pengamatan perilaku perairan dan kawasan maritim nasional.
Di
 antara yang paling mudah adalah merekam dan memprakirakan (forecasting)
 data pasang-surut pantai. Data ini akan sangat berguna untuk banyak 
kepentingan, baik pelayaran niaga apalagi pertahanan negara.
LAPAN
 sendiri juga bukan "pemain baru" di dunia kedirgantaraan dan 
keruangangkasaan. Berbagai kerja sama dan kepercayaan serta capaian 
telah diraih sejak masa pemerintahan Soekarno, penggagas LAPAN kala itu.
 Inilah satu-satunya badan di belahan selatan Bumi yang pada masanya 
telah mampu meluncurkan calon satelit mini asli buatan dalam negeri.
LAPAN
 juga memiliki organ yang spesialisasinya di bidang penginderaan jarak 
jauh --contohnya peringatan dini titik-titik panas kebakaran hutan di 
Sumatera dan Kalimantan sehingga bisa cepat diketahui-- yang siap 
dimanfaatkan bagi kepentingan pertahanan nasional.
Membilang
 hal ini, teknologi penginderaan jarak jauh berbasis teknologi satelit 
itu bisa menjelma berupa UAV dengan misi pengintaian dan intelijen 
maritim. Bukan rahasia lagi bahwa keterbatasan anggaran pertahanan 
menjadi "tantangan" untuk berinovasi agar tugas pokok bisa dilakukan 
sebaik mungkin.
Kehadiran
 UAV ini akan menjadi armada tambahan signifikan bagi banyak kapal 
perang dan pangkalan TNI AL untuk membuat perairan Indonesia bertambah 
aman sekaligus mencegah pelanggaran dari pihak-pihak luar negeri. UAV 
mampu terbang jauh di balik cakrawala, memancarkan data dan temuannya 
menuju satelit dan memancarkan ulang ke kapal-kapal perang kita.
Sehingga,
 di ruang kendali operasi (combat situation room) kapal perang, 
keputusan paling tepat bisa diambil berdasarkan perintah bermodal data 
paling akurat. Soeparno mengangankan agar hal itu nanti bisa terjadi 
secara seketika alias real time. UAV ini dioperasikan dari landasannya 
di kapal perang dan kembali ke kapal asalnya untuk kemudian dioperasikan
 lagi.
LAPAN
 memang tidak mengurusi persenjataan fisik berupa perancangan dan 
pembuatan peluru kendali. Terlepas dari unsur manusia pengawak, apalah 
arti peluru kendali tanpa bisa dikendalikan bersandar teknologi state of
 the art? TNI AL tengah membangun postur kekuatannya yang kuat, ramping,
 liat, dan modern; salah satunya berupa kapal perang sekelas KCR Clurit 
ukuran 48 meter yang bisa ngebut di perairan dangkal.
Masih
 ada kapal kelas Kapal Cepat Rudal 60 yang masih mampu berlayar sempurna
 sambil tetap memungkinkan sistem giroskop meriam 57 milimeter dan 
peluru kendali hingga kelas MM-40 Exocet Block II (kelak) diaktifkan 
dari pijakan luncurnya.
Menurut
 Sidang Pleno Ke-VI Komite Kebijakan Industri Pertahanan pada 23 Mei 
2012 lalu, hal ini masih ditambah dengan kapal kelas Perusak Kawal Rudal
 dengan kodifikasi PKR 10514 sepanjang 105 meter dengan harga 220 juta 
dollar AS perunit. "Tampang" kapal yang direncanakan dibuat di galangan 
PT PAL Surabaya ini mirip dengan kapal fregat kelas SIGMA yang penuh 
dengan diamond cut-nya.
Perompakan
 di Selat Malaka, sebagai satu hal, sempat menempatkan nama Indonesia 
sebagai negara yang kurang baik dalam mengamankan wilayahnya sendiri. 
Namun berbagai langkah digiatkan sehingga patroli kerkoordinasi digelar 
di antara negara-negara pihak di perairan yang menguasai sekitar 70 
persen omzet perdagangan dunia itu bisa semakin aman.
Kalau
 sudah begitu nanti, bayangkan capaian yang bisa diraih jika sepertiga 
saja kapal-kapal perang TNI AL dibekali dengan sistem penginderaan jarak
 jauh (baca: UAV) yang lebih mumpuni. Tidak akan mudah pihak luar 
menyodorkan "data pembanding" yang kerap bisa disesuaikan dengan 
kepentingan mereka.
Apalagi
 belakangan dan ke depan nanti isu Kepulauan Spratly di Laut China 
Selatan alias Laut Filipina Barat, di utara Laut Natuna, Provinsi Riau 
Kepulauan, bisa makin menghangat. Indonesia berada persis di 
persimpangan konflik antara China, sebagian negara ASEAN, dan (bisa 
melibatkan) Amerika Serikat.
Indonesia
 perlu mewaspadai secara khusus tiap perkembangan di perairan itu. 
Percepatan pembangunan sistem arsenal militer nasional layaklah menjadi 
prioritas pembangunan demi kemandirian dan kedaulatan bangsa. Di sinilah
 kontribusi TNI AL dan LAPAN kali ini berawal mula.(*)
(Antara)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.