Pengamat: Deradikalisasi Belum Sentuh Kantong Radikalisme
Petugas Olah TKP |
Program deradikalisasi pemerintah untuk mencegah aksi terorisme di Indonesia dinilai belum berjalan secara efektif karena belum menjangkau kantong-kantong tempat berkembangnya pemahaman radikalisasi.
“Selama ini, program deradikalisasi baru menyentuh level primary stakeholder seperti pemerintah daerah. Sementara itu, secondary stakeholder seperti kelompok pesantren, kelompok pengajian dan sebagainya di berbagai daerah yang ada belum tersentuh,” kata Pengamat Intelijen Dynno Chressbon, dalam perbincangan dengan Beritasatu.com, hari ini.
Dynno menambahkan kurangnya sosialisasi juga dianggap sebagai masalah penting yang menghambat berjalannya secara efektif program deradikalisasi tersebut. Banyaknya jumlah orgasisasi masyarakat dan kelompok-kelompok pesantren yang ada dianggap menyulitkan proses sosialisasi.
“Proses sosialisasi program ini kan baru berjalan tiga tahun, jadi belum semua mengerti. Berbeda dengan negara seperti Arab Saudi, Singapura dan Malaysia,” tutur Dynno.
Menurut Dynno, bila program deradikalisasi nasional ingin berjalan secara efektif, pemerintah harus bekerja sama dengan tokoh-tokoh daerah setempat agar mereka ikut menyuarakan serta membatasi aktivitas dan ruang gerak kelompok radikal yang ada di sana.
“Menurut saya publik berhak menilai bahwa sikap pemerintah jauh dari keseriusan, walau pemerintah memiliki berbagai alasan seperti kurangnya sumber daya, dana dan lainnya. Namun, publik berhak mengutarakan kekecewaannya,” tandas Dynno.
Motivasi Bom Bunuh Diri Ditanamkan Turun Temurun
Indoktrinasi dalam ikatan keluarga, sanak saudara atau pertemanan itu dikenal sebagai 'human bonding' dalam istilah ilmu sosial.
Hubungan darah ternyata kerap menjadi penyebab utama seseorang nekat melakukan aksi bom bunuh diri di berbagai wilayah di Indonesia selama ini. Nasehat, mitologi, dan kisah kepahlawanan yang diceritakan secara turun temurun oleh nenek moyang bisa menjadi motivasi ampuh bagi seseorang untuk melakukan tindakan ekstrem tersebut.
“Dari 90 persen tersangka kasus terorisme yang tertangkap, mereka mengaku termotivasi melakukannya karena memiliki hubungan darah dengan orang-orang yang berhubungan dengan cita-cita mendirikan NII (Negara Islam Indonesia), entah dari ibu, paman atau saudara lainnya,” kata Pengamat Terorisme Dynno Chressbon, dalam perbincangan dengan Beritasatu.com, hari ini.
Menurut Dynno, proses indoktrinasi dalam ikatan keluarga, sanak saudara atau pertemanan itu dikenal sebagai 'human bonding' dalam istilah ilmu sosial.
“Proses penurunan ideologinya sudah menjadi bagian dari cara hidup mereka, dengan cara diberikan nasihat-nasihat, mitologi, kisah-kisah kepahlawanan dan sebagainya secara turun temurun. Justru jarang sekali orang yang baru terlibat dalam jangka waktu bulanan (dengan para pelaku terorisme) mau terlibat dalam aksi seperti ini,” papar dia.
Pada Minggu sore lalu (9/9), tersangka kasus terorisme M. Toriq menyerahkan diri ke Polsek Tambora, Jakarta Barat. Di depan penyidik, dia mengungkapkan rencananya untuk melakukan aksi bom bunuh diri di empat sasaran lokasi, yaitu Mako Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, pospol di Salemba, Kantor Densus Polri dan komunitas Buddha.
Menurut penyidikan sebelumnya, Toriq telah menyiapkan lima bom pipa yang sudah dirakit. Lima bom pipa itu berhasil ditemukan petugas Polda Metro Jaya ketika menggeledah rumah ibunya, Iyot, di Jl Teratai 7 RT 02/04, Tambora, Jakarta Barat. Kelima bom pipa tersebut hanya tinggal dipasangi detonator dan kabel penghubung.
Dynno pun mengatakan sesungguhnya pihak kepolisian telah memegang daftar nama orang-orang yang berkomitmen untuk melakukan aksi bom bunuh diri tersebut. Namun, dari ratusan nama yang ada belum ada satu pun yang tertangkap hingga saat ini. Puluhan nama dari kelompok Toriq juga telah ada di tangan, tapi hingga saat ini masih mentok dalam proses pengajaran.
Kemudian, Dynno juga mengatakan orang-orang yang berkomitmen untuk melakukan tindak terorisme tersebut mempunyai beberapa pilihan aksi. Pertama, berjuang di daerah konflik dan meninggal di tangan thogut (pihak yang dianggap memusuhi atau menentang ideologi mereka). Kedua, menjadi martir praktik bom bunuh diri di tempat-tempat yang dianggap sebagai thogut.
“Praktik human bonding pernah dilaksanakan di masa lalu, contohnya aksi meledakkan diri di Masjid Cirebon yang dianggap thogut. Selain itu, umpamanya kantor pemerintahan asing ataupun Indonesia juga dianggap thogut, mereka perbolehkan juga untuk melakukannya karena dianggap sebagai usaha menegakkan cita-cita dari Negara Islam Indonesia. Di situlah mereka di-brain wash,” tandas Dynno.
Pulang dari Rusia, SBY Langsung Rapat Bahas Teroris dan PON
Pesawat Garuda Indonesia yang membawa rombongan presiden tiba di Bandara Halim Perdanakusuma tadi siang.
Sesampainya di tanah air, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memimpin rapat terbatas membahas tentang aksi terorisme yang terjadi di Depok dan Tambora serta persiapan Pekan Olahraga Nasional.
SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono beserta rombongan tiba setelah kunjungan kenegaraan ke Mongolia dan mengahadiri pertemuan puncak APEC di Vladivostok. Pesawat Garuda Indonesia yang membawa rombongan presiden tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, pukul 14.45, siang tadi.
Sesampainya di tanah air, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memimpin rapat terbatas membahas tentang aksi terorisme yang terjadi di Depok dan Tambora serta persiapan Pekan Olahraga Nasional.
SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono beserta rombongan tiba setelah kunjungan kenegaraan ke Mongolia dan mengahadiri pertemuan puncak APEC di Vladivostok. Pesawat Garuda Indonesia yang membawa rombongan presiden tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, pukul 14.45, siang tadi.
SBY pun langsung memimpin rapat untuk mengetahui secara langsung laporan situasi terkini Indonesia. ”Membahas aksi teror di Depok dan Tambora. Beliau sudah mendapat informasi. Juga laporan mengenai PON,” kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, hari ini.
Wakil Presiden Boediono hadir dalam rapat ini beserta anggota Kabinet Indonesia Bersatu II seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Menteri Sekertaris Negara Sudi Silalahi, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Panglima TNI Agus Suhartono dan Kepala Badan Intelejen Negara Letjen Marciano Norman.
Jaringan Teroris di Indonesia Satu Simpul Besar
Jaringan terorisme di Indonesia adalah jaringan yang sangat besar.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan aksi terorisme yang kembali timbul di tanah air di Solo, Depok, dan Jakarta belakangan ini adalah bagian dari simpul jaringan besar yang masih aktif.
Menurut Ansyaad, jaringan terorisme di Indonesia adalah jaringan yang sangat besar. Aksi di Solo adalah bagian dari satu simpul jaringan besar yang bergerak di seluruh Indonesia. Begitu juga dengan ledakan bom di Depok, dan juga penemuan bahan peledak di kediaman Toriq di Tambora, Jakarta Barat.
Ansyaad menjelaskan, mulai dari terjadi Bom Bali I tahun 2002, terungkap jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Setelah JI terungkap dan bubar, para anggotanya terpisah menjadi banyak kelompok yang disebut sel. Mereka pun, lanjut dia, membentuk Jemaah Anshorut Tauhid (JAT) yang merupakan organisasi teroris.
"Sel ini bisa merekrut masing-masing antar sel, saling berhubungan, Mereka terikat pada satu ideologi radikal dan memiliki agenda utama mendirikan suatu kekhalifahan berdasarkan syariat dan memusuhi empat pilar bangsa," papar dia.
Substansi propaganda radikalisasi, menurut Ansyaad, adalah menanamkan kebencian, meyebarkan permusuhan karena perbedaan paham, agama dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, Ansyaad menjelaskan bahwa pendekatan lunak seperti deradikalisasi akan menjadi fokus utama pemerintah dalam penanganan terorisme. Selama ini menurutnya, yang terlihat di publik adalah pendekatan keras (hard approach), di mana terjadi ledakan bom kemudian penembakan dan penangkapan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
"Sebetulnya pendekatan persuasif ini sudah banyak dilakukan instansi terkait, bahkan oleh masyarakat sendiri, seperti ulama. Tapi tidak mengemuka," ujar purnawirawan jenderal polisi itu.
Ansyaad mengakui, saat ini Indonesia memang belum berhasil meredam akar terorisme. Hal itu menurutnya karena ada banyak hal yang memengaruhi, bukan hanya faktor tunggal.
"Korelasi dari semua faktor itu mengkristal menjadi rasa ketidakadilan. Ini yang selalu dieksploitasi dengan menggunakan paham-paham radikalisme, apalagi mengatasnamakan agama. Itulah yang kemudian memicu aksi-aksi terorisme," tuturnya.
Untuk kasus Toriq, Ansyaad mengatakan saat ini aparat kepolisian sedang mendalami perannya, dan apakah dia termasuk "calon pengantin" yang dipersiapkan oleh jaringan (teroris). Seperti diketahui, Toriq adalah terduga pemilik bahan peledak yang ditemukan di Tambora, Jakarta Barat, beberapa hari lalu.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan aksi terorisme yang kembali timbul di tanah air di Solo, Depok, dan Jakarta belakangan ini adalah bagian dari simpul jaringan besar yang masih aktif.
Menurut Ansyaad, jaringan terorisme di Indonesia adalah jaringan yang sangat besar. Aksi di Solo adalah bagian dari satu simpul jaringan besar yang bergerak di seluruh Indonesia. Begitu juga dengan ledakan bom di Depok, dan juga penemuan bahan peledak di kediaman Toriq di Tambora, Jakarta Barat.
Ansyaad menjelaskan, mulai dari terjadi Bom Bali I tahun 2002, terungkap jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Setelah JI terungkap dan bubar, para anggotanya terpisah menjadi banyak kelompok yang disebut sel. Mereka pun, lanjut dia, membentuk Jemaah Anshorut Tauhid (JAT) yang merupakan organisasi teroris.
"Sel ini bisa merekrut masing-masing antar sel, saling berhubungan, Mereka terikat pada satu ideologi radikal dan memiliki agenda utama mendirikan suatu kekhalifahan berdasarkan syariat dan memusuhi empat pilar bangsa," papar dia.
Substansi propaganda radikalisasi, menurut Ansyaad, adalah menanamkan kebencian, meyebarkan permusuhan karena perbedaan paham, agama dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, Ansyaad menjelaskan bahwa pendekatan lunak seperti deradikalisasi akan menjadi fokus utama pemerintah dalam penanganan terorisme. Selama ini menurutnya, yang terlihat di publik adalah pendekatan keras (hard approach), di mana terjadi ledakan bom kemudian penembakan dan penangkapan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
"Sebetulnya pendekatan persuasif ini sudah banyak dilakukan instansi terkait, bahkan oleh masyarakat sendiri, seperti ulama. Tapi tidak mengemuka," ujar purnawirawan jenderal polisi itu.
Ansyaad mengakui, saat ini Indonesia memang belum berhasil meredam akar terorisme. Hal itu menurutnya karena ada banyak hal yang memengaruhi, bukan hanya faktor tunggal.
"Korelasi dari semua faktor itu mengkristal menjadi rasa ketidakadilan. Ini yang selalu dieksploitasi dengan menggunakan paham-paham radikalisme, apalagi mengatasnamakan agama. Itulah yang kemudian memicu aksi-aksi terorisme," tuturnya.
Untuk kasus Toriq, Ansyaad mengatakan saat ini aparat kepolisian sedang mendalami perannya, dan apakah dia termasuk "calon pengantin" yang dipersiapkan oleh jaringan (teroris). Seperti diketahui, Toriq adalah terduga pemilik bahan peledak yang ditemukan di Tambora, Jakarta Barat, beberapa hari lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.