Dua peristiwa besar melibatkan anggota TNI. Pertama kasus pembakaran
Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan yang dilakukan Danyon
Armed Martapura. Ke dua kasus penyerangan Lapas Cebongan, Sleman,
Yogyakarta yang dilakukan Grup 2 Kopassus, Karangmenjangan.
Alasan yang mengemuka dari dua peristiwa itu karena solidaritas jiwa korsa, atau I'sprit de corps. Tentara menyerang Polres UKU dan Kopassus menyerang Lapas Cebongan karena balas dendam setelah kawan mereka terbunuh.
Lalu bagaimana Jiwa Korsa terbentuk begitu kuat?
Sejarawan militer Amerika Joseph S. Rouchek (1935: 164-174) dalam esai berjudul: Social Attitudes of the Soldier in War Time, menyatakan faktor utama yang membedakan warga sipil dengan kombatan, seperti anggota militer terletak pada faktor hilangnya semua kepribadian dan individualisme.
"Saat seorang sipil menjadi militer, maka rasa nyaman berada di ruang pribadi mesti lenyap. Mereka harus menghilangkan inisiatif, sikap mematut diri, dan bekerja sama dengan rekan seperjuangan."
Sementara Willard Waller (1899-1945) dalam bukunya berjudul Willard W. Waller On The Family, Education, and War mengatakan, militer terbiasa memiliki budaya yang berbeda dari golongan masyarakat lain. Mereka memiliki tradisi sendiri yang dibentuk melalui latihan-latihan khusus.
Perwujudan dari budaya itu terbawa dalam diri seorang militer selama dia hidup sampai mati. Hal itu terwakili mulai dari lagu-lagu, rumor, mitos, sampai bahasa-bahasa slank khas tentara.
Menurut dia, jiwa korsa seorang tentara modern tidak hanya mengandalkan patriotisme. Berkaca pada pengalaman Legiun Caesar zaman Romawi dulu, seorang prajurit harus memiliki kepercayaan kuat pada rekan, dan jiwa korsa ini terbukti lebih mudah muncul dibanding semangat tempur.
Sementara itu Ralph Linton, Antropolog Amerika menyebut situasi tersebut sebagai asimilasi. Saat seseorang menjadi seorang personil militer, secara otomatis dia menceburkan diri dan beradaptasi dengan prinsip-prinsip hidup yang sangat kental dengan nuansa militer.
Salah satu penanda bahwa sistem sosial khas tentara ini sukses adalah ketika personil militer dapat menunjukkan esprit de corps, alias solidaritas korps.
Parameter buat mengukur sikap korsa dalam dunia militer tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan tempur. Tentara tidak boleh sekadar terampil, tapi dia juga harus memiliki kebanggaan tergabung dalam sebuah kesatuan.
Lalu apakah dengan alasan solidaritas jiwa korsa tentara boleh melakukan penyerangan seperti itu?
Jiwa korsa tidak untuk langgar hukum
Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto menganggap jiwa korsa yang ditanamkan seorang militer adalah sebuah keniscayaan. Namun hal itu bukanlah dilakukan untuk melanggar hukum, melainkan untuk memenangkan pertempuran.
Seperti yang dilakukan 11 prajurit grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasuro, Jawa Tengah. Mereka menyerang Lapas Cebongan itu jelas perbuatan yang salah.
"Jiwa korsa adalah keniscayaan suatu unit. Tapi dalam peristiwa itu jiwa korsa yang tidak diarahkan tentu melanggar hukum," katanya dalam Silaturahmi Akbar di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung, Sabtu (6/4).
Dia menyadari setiap anggota militer memang ditanamkan betul dalam dirinya untuk memiliki jiwa korsa yang tinggi. Saat satu anggota salah, semua akan menanggung malu. Saat kawanannya ada yang kurang, mereka akan bahu membahu.
"Ini adalah roh kesatuan militer, karena keterampilan saja tidak mampu memenangkan. Tapi loyalitas dan jiwa korsa yang tinggi akan menimbulkan satu kesatuan," jelasnya.
Dalam peristiwa Cebongan yang menewaskan empat tahanan rupanya jiwa korsa menyebabkan dendam. Jelas tindakan tersebut dikatakan dia adalah perbuatan yang melawan hukum meski didasari atas nama loyalitas.
Almarhum Sersan Kepala Santoso yang tewas dikeroyok di Hugo's Cafe memang bukan prajurit sempurna. Namun, bukti kebersamaan membentuk jiwa korsa. Semangat yang selalu mengikat kemiliteran.
Endriartono mengaku TNI selalu mengarahkan jiwa korsa yang positif terhadap prajurit. Misal saat salah satu anggota melanggar lalu lintas dan ditilang polisi kemudian malah diserang serta ditabokin. "Maka itu jiwa korsa yang negatif," katanya.
Yang benar menurutnya, jika jiwa korsa ditanamkan secara positif mereka mendukung proses hukum yang telah dilalui. "Itu mungkin salah satu jiwa korsa yang positif," tandasnya.
Jiwa korsa dilakukan dalam pertempuran
Letjen (Purn) Sutiyoso mengatakan, dalam kesatuan militer memang harus selalu diterapkan jiwa korsa. Namun, hal tersebut jangan sampai diterapkan dalam porsi yang salah. Menurut mantan gubernur DKI Jakarta itu, jiwa korsa haruslah menjadi pelajaran.
"Korsa dilakukan dengan tujuan di dalam pertempuran. Jangan sampai prajurit meninggalkan teman yang tertembak," kata Sutiyoso dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, (6/4).
Sutiyoso menilai kejadian penyerangan Lapas Cebongan terjadi atas dasar sebab akibat. Menurutnya, dengan terbunuhnya Sersan Santoso, mungkin itu penyebab oknum Kopassus melakukan penyerbuan.
"Saya ingin melihat dengan subyektif mungkin. Itu sebab akibat, saya kira terbunuhnya Sersan Santoso. Itu tentu sudah tersebar bagaimana dia terbunuh dan dengan cara apa," ujarnya.
Ketika ditanya bagaimana bisa oknum Kopassus mengambil senjata dengan mudah, Sutiyoso mengatakan, memang sangat sulit mengontrol anggota jika sudah di luar jam latihan.
"Mungkin diambil dari tempat latihan dan pasti ada kerjasama pelaku dengan penjaga tempat gudang senjata," ungkap Sutiyoso.
Oleh sebab itu, dia mengimbau, kepada Kopassus harus memiliki tingkat profesional tinggi. "Pengendalian diri yang tidak kokoh maksimal bisa terjadi lagi seperti ini," tandasnya.
Alasan yang mengemuka dari dua peristiwa itu karena solidaritas jiwa korsa, atau I'sprit de corps. Tentara menyerang Polres UKU dan Kopassus menyerang Lapas Cebongan karena balas dendam setelah kawan mereka terbunuh.
Lalu bagaimana Jiwa Korsa terbentuk begitu kuat?
Sejarawan militer Amerika Joseph S. Rouchek (1935: 164-174) dalam esai berjudul: Social Attitudes of the Soldier in War Time, menyatakan faktor utama yang membedakan warga sipil dengan kombatan, seperti anggota militer terletak pada faktor hilangnya semua kepribadian dan individualisme.
"Saat seorang sipil menjadi militer, maka rasa nyaman berada di ruang pribadi mesti lenyap. Mereka harus menghilangkan inisiatif, sikap mematut diri, dan bekerja sama dengan rekan seperjuangan."
Sementara Willard Waller (1899-1945) dalam bukunya berjudul Willard W. Waller On The Family, Education, and War mengatakan, militer terbiasa memiliki budaya yang berbeda dari golongan masyarakat lain. Mereka memiliki tradisi sendiri yang dibentuk melalui latihan-latihan khusus.
Perwujudan dari budaya itu terbawa dalam diri seorang militer selama dia hidup sampai mati. Hal itu terwakili mulai dari lagu-lagu, rumor, mitos, sampai bahasa-bahasa slank khas tentara.
Menurut dia, jiwa korsa seorang tentara modern tidak hanya mengandalkan patriotisme. Berkaca pada pengalaman Legiun Caesar zaman Romawi dulu, seorang prajurit harus memiliki kepercayaan kuat pada rekan, dan jiwa korsa ini terbukti lebih mudah muncul dibanding semangat tempur.
Sementara itu Ralph Linton, Antropolog Amerika menyebut situasi tersebut sebagai asimilasi. Saat seseorang menjadi seorang personil militer, secara otomatis dia menceburkan diri dan beradaptasi dengan prinsip-prinsip hidup yang sangat kental dengan nuansa militer.
Salah satu penanda bahwa sistem sosial khas tentara ini sukses adalah ketika personil militer dapat menunjukkan esprit de corps, alias solidaritas korps.
Parameter buat mengukur sikap korsa dalam dunia militer tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan tempur. Tentara tidak boleh sekadar terampil, tapi dia juga harus memiliki kebanggaan tergabung dalam sebuah kesatuan.
Lalu apakah dengan alasan solidaritas jiwa korsa tentara boleh melakukan penyerangan seperti itu?
Jiwa korsa tidak untuk langgar hukum
Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto menganggap jiwa korsa yang ditanamkan seorang militer adalah sebuah keniscayaan. Namun hal itu bukanlah dilakukan untuk melanggar hukum, melainkan untuk memenangkan pertempuran.
Seperti yang dilakukan 11 prajurit grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasuro, Jawa Tengah. Mereka menyerang Lapas Cebongan itu jelas perbuatan yang salah.
"Jiwa korsa adalah keniscayaan suatu unit. Tapi dalam peristiwa itu jiwa korsa yang tidak diarahkan tentu melanggar hukum," katanya dalam Silaturahmi Akbar di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung, Sabtu (6/4).
Dia menyadari setiap anggota militer memang ditanamkan betul dalam dirinya untuk memiliki jiwa korsa yang tinggi. Saat satu anggota salah, semua akan menanggung malu. Saat kawanannya ada yang kurang, mereka akan bahu membahu.
"Ini adalah roh kesatuan militer, karena keterampilan saja tidak mampu memenangkan. Tapi loyalitas dan jiwa korsa yang tinggi akan menimbulkan satu kesatuan," jelasnya.
Dalam peristiwa Cebongan yang menewaskan empat tahanan rupanya jiwa korsa menyebabkan dendam. Jelas tindakan tersebut dikatakan dia adalah perbuatan yang melawan hukum meski didasari atas nama loyalitas.
Almarhum Sersan Kepala Santoso yang tewas dikeroyok di Hugo's Cafe memang bukan prajurit sempurna. Namun, bukti kebersamaan membentuk jiwa korsa. Semangat yang selalu mengikat kemiliteran.
Endriartono mengaku TNI selalu mengarahkan jiwa korsa yang positif terhadap prajurit. Misal saat salah satu anggota melanggar lalu lintas dan ditilang polisi kemudian malah diserang serta ditabokin. "Maka itu jiwa korsa yang negatif," katanya.
Yang benar menurutnya, jika jiwa korsa ditanamkan secara positif mereka mendukung proses hukum yang telah dilalui. "Itu mungkin salah satu jiwa korsa yang positif," tandasnya.
Jiwa korsa dilakukan dalam pertempuran
Letjen (Purn) Sutiyoso mengatakan, dalam kesatuan militer memang harus selalu diterapkan jiwa korsa. Namun, hal tersebut jangan sampai diterapkan dalam porsi yang salah. Menurut mantan gubernur DKI Jakarta itu, jiwa korsa haruslah menjadi pelajaran.
"Korsa dilakukan dengan tujuan di dalam pertempuran. Jangan sampai prajurit meninggalkan teman yang tertembak," kata Sutiyoso dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, (6/4).
Sutiyoso menilai kejadian penyerangan Lapas Cebongan terjadi atas dasar sebab akibat. Menurutnya, dengan terbunuhnya Sersan Santoso, mungkin itu penyebab oknum Kopassus melakukan penyerbuan.
"Saya ingin melihat dengan subyektif mungkin. Itu sebab akibat, saya kira terbunuhnya Sersan Santoso. Itu tentu sudah tersebar bagaimana dia terbunuh dan dengan cara apa," ujarnya.
Ketika ditanya bagaimana bisa oknum Kopassus mengambil senjata dengan mudah, Sutiyoso mengatakan, memang sangat sulit mengontrol anggota jika sudah di luar jam latihan.
"Mungkin diambil dari tempat latihan dan pasti ada kerjasama pelaku dengan penjaga tempat gudang senjata," ungkap Sutiyoso.
Oleh sebab itu, dia mengimbau, kepada Kopassus harus memiliki tingkat profesional tinggi. "Pengendalian diri yang tidak kokoh maksimal bisa terjadi lagi seperti ini," tandasnya.
● Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.