Diam-diam Pangeran Bernhard menyokong aksi Westerling. Berambisi jadi raja muda
Aboeprijadi Santoso / Kontributor Amsterdam, Belanda
PERTENGAHAN 1950-an, Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterveld, suami Ratu Belanda Juliana, terjebak di pusaran kemelut panas yang berpotensi dapat menyulut skandal nasional dan internasional.
Kalangan yang dekat dengan PM Willem J. Drees mencium indikasi keterlibatan pangeran yang satu ini dalam sebuah komplot –yaitu rencana rahasia yang dirancang Kapten Raymond Westerling, untuk menjatuhkan Presiden Sukarno pada 23 Januari 1950– nyaris sebulan setelah Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Apabila kecurigaan itu terbukti, skandal tersebut dapat mengguncang dunia; bahkan juga dapat mengancam kelangsungan Dinasti Oranye dari Kerajaan Belanda.
Arsip mengenai peristiwa itu baru dibuka dan tiga tahun lalu menimbulkan kontroversi di Belanda. Apakah sesungguhnya niat Pangeran Belanda yang menggandeng tangan Westerling itu? Hingga akhir 1950-an, Kapten Westerling adalah sebuah nama yang dikagumi di Belanda. Komandan pasukan elit yang patriotik ini menjadi ikon zaman. Di sekolah-sekolah menengah di Hilversum, misalnya, para siswa dan siswi memuji-muji dan setiap pagi menggelar doa bersama demi keselamatannya. Sentimen publik ini mencerminkan betapa kental dan mendalam ikatan emosional dan kepentingan politik masyarakat Belanda di masa itu dengan jajahannya, Indonesia.
Jelas, sulit bagi mereka untuk membayangkan bahwa negerinya, Belanda, sebenarnya telah kehilangan tanah jajahannya yang amat berharga di Asia itu. Raymond Westerling sangat menyadari zeitgeist (suasana zaman) itu.
Demikian pula Pangeran Bernhard, yang dibesarkan oleh seorang ibu –Putri Armgard– yang juga tidak menyukai Sukarno. Namun hanya segelintir orang di Belanda saat itu –bahkan hingga belakangan ini– menyadari bahwa Bernhard, sang suami dari pucuk Kerajaan, memiliki hubungan baik sekali dengan Westerling, sang perwira yang namanya kelak cemar karena rekam-jejaknya sebagai komandan satuan yang pernah melaksanakan hukuman eksekusi-di-tempat (standrechtelijke executies), yang kini lazim disebut extra-legal killings terhadap penduduk beberapa desa di Sulawesi Selatan pada kurun Desember 1946–Februari 1947. Tiga tahun kemudian, pada awal 1950, Westerling tampil sebagai pemeran penting dalam upaya kudeta APRA di Bandung.
Semua itu, menurut sejarawan Harry Veenendal dan wartawan Jort Kelder yang menulis buku ZKH, Hoog Spel aan het hof van Zijne Koninkelijke Hoogheid (Paduka Yang Mulia, Permainan Tinggi Paduka Yang Mulia Pangeran) dan sejarawan-peneliti senior Gerard Aalders penulis buku Bernhard, Zakenprins (Bernhard, Pangeran Bisnis) hanya bisa terjadi berkat peran rahasia Pangeran Bernhard dan jejaring politik dan bisnisnya.
Sejumlah arsip Belanda –arsip Koninkelijke Marechaussee (Marsose), berbagai laporan intelijen asing, dan terutama buku harian Sekretaris Ratu, Gerrie van Maasdijk– menunjukkan betapa Pangeran Bernhard secara efektif berhasil memanfaatkan statusnya sebagai anggota keluarga kerajaan dan persahabatannya dengan Prof. Jan Willem Duyff, untuk mengelola kepentingan-kepentingan politik, diplomatik dan bisnisnya.
J.W. Duyff, guru besar fysiologi pada Universitas Leiden yang juga mantan pejuang melawan pendudukan Nazi, dikenal sebagai “tokoh ambisius yang ingin menjaga agar Hindia-Belanda tetap menjadi bagian dari Kerajaan Belanda”.
Sejak 1940-an Duyff berhubungan erat dengan Panglima Tentara Belanda di Batavia, Jenderal Simon Spoor. Melalui kontak intensif dengan jenderal inilah, Duyff membangun mata rantai dengan Westerling dan Sirdar Iqbal Ali Shah (kode: Ali Baba), seorang diplomat Pakistan asal Afghanistan, pemasok senjata yang menjadi penghubung dengan Darul Islam di Jawa Barat; dan dengan Max Alkadrie alias Sultan Hamid II, putra Pontianak, yang mereka calonkan sebagai pengganti Presiden Sukarno.
Jejaring inilah yang merencanakan serangan bersenjata terhadap pemerintah RIS pada saat kabinet menggelar sidang di Jakarta pada 23 Januari 1950 untuk mecokok Sukarno-Hatta, dan kemudian “langsung mengeksekusi mereka”.
Untuk memastikan sukses operasi itu, Bernhard menulis surat (tertanggal 13 Mei 1948) kepada Presiden Amerika Serikat Dwight Eisenhower yang dititipkannya lewat utusannya, Jan Willem Duyff. Surat itu mengimbau Presiden Eisenhower agar meminta Jen. Douglas MacArthur yang mengkomandoi kapal-kapal perang AS di perairan sekitar Surabaya untuk membantu menjaga keamanan apabila pecah “perang saudara” di Jawa jika ‘kudeta’ tersebut gagal.
Eisenhower tidak pernah menjawab surat Bernhard. Raja Muda Operasi militer Westerling 23 Januari 1950 yang dinamainya aksi APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) itu tetap berlangsung dan dilakukan dengan ceroboh, bahkan tak pantas disebut coup d’etat, meski berdarah.
Sukarno –yang saat itu berada di luar negeri– dan Hatta selamat. Menyusul kegagalan itu, Sultan Hamid II ditahan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sementara Westerling lolos. Namun, rencana makar itu sempat menyulut kontroversi besar di Belanda. Pasalnya, Gerrie van Maasdijk, sekretaris kerajaan yang juga mantan wartawan, mencium kontak-kontak Duyff dan rencananya, dan melaporkannya kepada PM Willem Drees.
Drees yang bertanggungjawab atas perilaku anggota kerajaan, panik, memerintahkan investigasi dan berusaha menutup-nutupi kasus tersebut.
Menurut arsip marsose dan sejumlah laporan intelijen, komplotan Bernhard-Duyff-Westerling itu mengatur penyelundupan senjata dari London, atau Paris, melalui Pakistan ke Yogyakarta.
Beruntung bagi Westerling, investigasi marsose itu tidak menemukan smoking gun yang menunjuk pada peran kuncinya. Demikian juga dengan Bernhard –kecuali perannya menulis surat kepada Presiden Eisenhower. Laporan polisi Belanda agaknya melindungi pangeran ini dengan cara tidak menguraikan secara rinci siapa saja para tokoh yang memprakarsai ‘kudeta’ APRA itu.
Upaya menutup-nutupi peran kunci Bernhard, Duyff dan Westerling kelak juga tampak pada tulisan mutakhir sejarawan yang akrab dengan “Keluarga Oranye”, Prof. Dr. C. Fasseur (2009).
Yang pasti, demikian menurut para sejarawan yang lain, “kudeta” itu merupakan hasil komplotan tingkat tinggi. “Duyff tidak pernah –dan tidak mungkin– bertindak sendiri,” simpul Veenendal, “Dia memerlukan dukungan penuh si Pangeran (Bernhard),” lanjutnya.
Duyff, tulis Aalders, berperan sebagai “intermediair (perantara) atas nama Bernhard”, yang mengatur kontak-kontak dengan pedagang senjata dan pebisnis lain. Peran inilah yang mengaitkan Bernhard lewat Duyff dan Ali Shah –keduanya sering bertandang ke Istana Soestdijk– dengan “kudeta” APRA Westerling, sementara Bernhard sendiri, menurut “biograf Oranye”, Fasseur, “selalu berada di luar kejadian”.
Walhasil, “kudeta” Westerling dan penyelundupan senjata tersebut, pada hakekatnya merupakan bagian dari petualangan Bernhard. Bukan kebetulan, ‘kudeta’, tepatnya aksi militer Westerling itu, terjadi pada periode antara pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 dan bubarnya RIS pada Agustus 1950.
Periode itu merupakan kurun singkat yang genting, bagi RIS tapi juga bagi Belanda. Menurut G. Aalders, aksi Westerling itu bertujuan melumpuhkan tentara Indonesia TNI dan mengganti pemerintah Sukarno-Hatta dengan pemerintah baru yang mendukung formasi federal Indonesia yang terbentuk dari sejumlah negara-bagian.
Aalders, demikian juga sejarawan Frederik Willems (De Volkskrant, 6 Agustus 2012), memastikan pemerintah di Den Haag tahu benar tentang aksi Westerling. Pada 22 Februari 1950 kapten yang dijuluki “Si Turki” ini akhirnya diselamatkan pesawat albatros Catalina milik Marinir Belanda dengan menyelundupkannya ke Singapura. Belanda tidak ingin Westerling jatuh ke tangan Indonesia dan mengganggu hubungan kedua negara.
Sebelumnya, pada 23 Agustus 1948, Bernhard sendiri pernah menyurati Jenderal Simon Spoor di Jakarta agar Westerling mendapat koninkelijke onderscheiding (penghargaan kerajaan), yang menurut Aalders, menunjukkan betapa pangeran ini “mengagumi” perwira kontroversial yang pernah menjadi anggota staf pribadinya ini.
Bernhard jelas memiliki motif politik dan finansial. Penyelundupan senjata itu pasti menghasilkan banyak uang; kelak, pada 1970-an, pangeran Belanda ini juga terlibat skandal uang suap pabrik pesawat terbang AS Lockheed.
Pangeran yang beristrikan Ratu ini tak mungkin menjabat Raja Belanda, maka dia berambisi menjadi Onderkoning (Raja Muda) yang berkuasa di Hindia-Belanda atas nama istrinya, Ratu Juliana. Dengan begitu Bernhard akan sejajar dengan temannya dari Inggris, Lord Mountbatten yang dengan prestise tinggi menjabat Viceroy yang atas nama Ratu Inggris membawahi British-India.
Petualangan Bernhard-Duyff-Westerling menunjukkan betapa sempit wawasan kalangan politik mapan Belanda, khususnya para konspirator tersebut, atas dinamika perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dipandang dari perspektif Indonesia, tampak aneh bahwa para konspirator justru melancarkan “kudeta” pada saat posisi diplomatik Belanda di mata dunia setelah dua kali agresi militer (1947 dan 1948) amat lemah.
Lebih aneh lagi apabila komplotan itu seolah mengandalkan peran dan kolaborasi dengan Darul Islam-nya Kartosuwirjo yang rencananya akan dipasok senjata dan dibantu oleh Kapten Westerling sejak Kartosuwirjo berontak karena kecewa terhadap Persetujuan Renville.
Koneksi Darul Islam Dinas intelejen Amerika CIA yang mencermati perkembangan di Jawa Barat dalam laporannya menulis bahwa Darul Islam bekerjasama dengan Westerling melawan pemerintah Sukarno-Hatta.
CIA menduga disitu terkait peran Belanda. Ali Shah, diplomat Pakistan yang bermitra erat dengan Duyff, memang bertugas menarik minat pimpinan Darul Islam pada peran Belanda in casu Westerling dalam memerangi Sukarno-Hatta. Westerling rupanya mau bekerjasama dengan siapa saja untuk tujuan tersebut, demikian pula Darul Islam, atau apa yang menyebut diri Darul Islam ketika itu.
Banyak sekali indikasi yang menunjuk pada keterlibatan Pangeran Bernhard, akan tetapi berbagai peranannya selama lima tahun yang genting selama dasawarsa 1950-an tersebut, bersama dengan Duyff, saudagar senjata Ali Shah dan Kapten Westerling tadi, tak pernah terungkap secara lengkap dan tuntas.
Semua bahan dan faktanya bersifat “indikasi”, tak pernah ada smoking gun. Sebabnya sederhana: sejumlah investigasi –oleh aparat negara marsose, marinir mau pun oleh sejarawan Istana C. Fasseur– terhadap dirinya selalu berhenti atau dihentikan di tengah jalan.
Kasus-kasus Bernhard, dengan Westerling mau pun dalam kasus yang paralel, yaitu skandal Lockheed kelak (1970-an), terlampau peka sehingga dianggap dapat mengancam nama baik Keluarga Kerajaan Oranye.
Walhasil, di Belanda, Pangeran Bernhard –seperti juga, bahkan mungkin lebih ketimbang Kapten Raymond Westerling– pada dasawarsa 1950-an memang disanjung sebagai ikon zaman, atau helden (pahlawan), namun sejak dasawarsa 1970-an keduanya seringkali dicap sebagai schurken (bandit).
● Historia™
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.