Peristiwa itu
terjadi pada 3 Juli 2003. Kala itu lima pesawat tempur F 18 Hornet
Amerika secara sembarangan bermanuver di angkasa Indonesia dan
mengganggu jalur penerbangan sipil. Sontak dikirimlah 2 pesawat F 16 TNI
Angkatan Udara untuk mencegat dan melakukan identifikasi.
Bukannya
bersikap ramah, pesawat Paman Sam malah mengunci F 16 TNI AU dengan
rudal. Terjadilah dog fight udara. Guna melepaskan diri dari kuncian
rudal F 18 Amerika, awak F 16 TNI AU melakukan beberapa manuver. Antara
lain hard break (berbelok sampai 90 derajat) dan gerakan zig-zag.
Beberapa saat duel berlangsung, salah satu Pilot TNI AU berhasil membuka
komunikasi. Mereka menjelaskan bahwa pesawat Amerika telah melanggar
wilayah Indonesia. Berdasarkan hukum internasional, jika pesawat asing
memasuki suatu negara harus ijin kepada pemerintah setempat. Setelah
mendengar penjelasan itu, pesawat Amerika lantas kembali ke pangkalannya
di Kapal Induk Carl Vinson.
Peristiwa tersebut bisa diambil sebuah kesimpulan: ternyata pilot-pilot TNI AU mampu meladeni penerbang Amerika. Baik dalam kemampuan bertempur maupun kepiawaian berdiplomasi. Tentu hal ini tak lepas dari kualitas pendidikan mereka. Sampai saat ini semua penerbang tempur TNI AU merupakan alumni Akademi Angkatan Udara. Di sinilah calon-calon perwira TNI Angkatan Udara dilahirkan.
Sebenarnya tidak semua lulusan Akademi Angkatan Udara menjadi pilot. Awalnya, setelah lulus AAU dan berpangkat letnan dua semua diseleksi jadi penerbang. Syaratnya harus lulus dengan Indeks Prestasi Komulatif minimal 2,75. Setelah itu ada tes jasmani dan psikologi. Jika dinyatakan lolos, perwira muda ini masuk Sekolah Penerbang (Sekbang). Setelah lulus Sekbang, barulah mereka bertugas di Korps Penerbang.
Memang yang lolos jadi pe-nerbang tidak banyak. Karena disesuaikan dengan kebutuhan. Jumlahnya sekitar 30 orang tiap tahun. Sedangkan AAU tiap tahun menghasilkan 109 lulusan. “Sedangkan yang tidak lolos seleksi penerbang akan ditugaskan di korps lain. Yaitu Navigasi, Pasukan Khas (Paskhas), Teknik, POM, Intel, Elektronika dan Khusus,” kata Gubernur Akademi Angkatan Udara, Marsekal Muda TNI Tabri Santoso.
Sejarah Akademi Angkatan Udara dimulai sejak didirikannya Lembaga Pendidikan Pertama Perwira TNI AU di Maguwo Yogyakarta pada Desember 1945. Ketika itu Komodor Udara Suryadi Suryadarma merencanakan tugas pembentukkan personel Angkatan Udara. Tugas ini kemudian diserahkan kepada Agustinus Adisutjipto. Inilah Lembaga Pendidikan Angkatan Udara pertama yang merupakan embrio Akademi Angkatan Udara dengan menggunakan pesawat latih jenis cureng buatan tahun 1933.
Sistem Pendidikan di Akademi Angkatan Udara menganut sistem Tri Tunggal Terpadu yang meliputi kegiatan pengajaran, jasmani militer, latihan serta pengasuhan secara terpadu. Jadi kurikulum pendidikannya memadukan kultur militer dan paradigma perguruan tinggi yang ilmiah.
Kegiatan pengajaran dan latihan diupayakan dalam bentuk kuliah atau praktikum dengan menerapkan sistem kredit semester (SKS). Beban studi bagi Karbol dan Perwira Siswa sebanyak 120 SKS untuk setiap jurusan.
Dalam kegiatan jasmani kemiliteran (jasmil) dan latihan diupayakan dalam bentuk aplikasi di lapangan. Kegiatan ini ditujukan untuk mengembangkan, memelihara dan mananamkan kesadaran melatih jasmani, menanamkan kedisiplinan dan tata tertib. Karena inilah dasar dalam mengatur sikap lahir dan batin guna mencapai jasmani yang serasi dalam mendukung tugas sebagai Tentara Nasional Indonesia khususnya TNI Angkatan Udara.
Sedangkan pola pengasuhan Karbol di Akademi Angkatan Udara adalah «Tri Tunggal Pusat». Artinya sistem pengasuhan me-ngacu pada tiga sumber pengaruh sentral yang berlangsung secara simultan dan saling memengaruhi dalam proses pertumbuhan individu, yaitu kesatrian, keluarga dan masyarakat. Kegiatan pe-ngasuhan bertujuan membentuk, menumbuhkankembangkan dan memantapkan kepribadian karbol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.