Tonggak sejarah F-5-E/F Tiger II di Indonesia dimulai ketika tanggal 21 April 1980 pesawat C-5A Galaxy yang membawa pesawat F-5E/F mendarat di Lanud Iswahjudi, Madiun. Dari mulut pesawat angkut itu keluarlah moncong pesawat F-5 yang panjang, khan, dan runcing seperti jarum. Satu per satu pesawat diturunkan. Dan akhirnya, pesawat yang dibeli dari pabrik Northrop Co, Amerika Serikat itu dijejerkan di tepi landasan. Hadirnya F-5E/F diharapkan mampu mengembalikan taring MiG-21F yang disegani era 1960-an.
Hadirnya “Si Harimau” memang seakan kembali membawa angin segar bagi terciptanya kekuatan udara TNI AU. Pesawat dengan kecepatan maksimum 1,6 kecepatan suara ini sekaligus juga memberikan wawasan baru dan transfer teknologi bagi para penerbang dan teknisi. Diharap kan F-5E/F Tiger II akan menjadi raja di udara karena isi dilengkapi senjata berupa rudal udara ke udara AIM-9 P-2 Sidewinder yang juga merupakan salah satu rudal udara ke udara jarak pendek terbaik kala itu.
Hadirnya “Si Harimau” memang seakan kembali membawa angin segar bagi terciptanya kekuatan udara TNI AU. Pesawat dengan kecepatan maksimum 1,6 kecepatan suara ini sekaligus juga memberikan wawasan baru dan transfer teknologi bagi para penerbang dan teknisi. Diharap kan F-5E/F Tiger II akan menjadi raja di udara karena isi dilengkapi senjata berupa rudal udara ke udara AIM-9 P-2 Sidewinder yang juga merupakan salah satu rudal udara ke udara jarak pendek terbaik kala itu.
Setelah 31 tahun mengabdi untuk nusa dan bangsa, dalam beberapa tahun kedepan pesawat ini harus sudah punya penerusnya.
Delapan pesawat datang pada gelombang pertama. Pesawat kemudian dirakit di Madiun oleh para teknisi Northrop dibantu teknisi TNI AU dan setelah itu masuk ke jajaran Skadron Udara 14. Uji terbang pertama dijalani pesawat dengan nomor ekor TL-0514 (F-5F) yang diterbangkan pilot uji Kapten Bill Edward dan Kapten Tom Danielson (Golden Moment of Tiger, Djoko Suyanto, 2005). Peresmian menjadi kekuatan Skadron Udara 14 selanjutnya dilakukan oleh Menhankam / Pangab Jenderal TNI M Yusuf pada 5 Mei 1980. F-5E/F “dibaptis” sebagai pesawat buru sergap menggantikan F-86 Avon Sabre. Melengkapi delapan pesawat batch pertama, delapan pesawat berikut nya datang pada gelombang kedua tanggal 5 Juli 1980.
Bagi Skadron Udara 14 yang didirikan pada 1 Juli 1962, F-5 menjadi kekuatan ketiga setelah mengoperasikan MiG-21F (19621970) dan F-86 Avon Sabre (19741980). Sabre sendiri di-grounded tahun 1980 melalui surat keputusan KSAU. Baik F-86 maupun F-5, kedua pesawat telah punya nama di medan peperangan. Bila F-86 pamornya terekspos dalam Perang Korea, maka F-5 banyak berkiprah di Perang Vietnam. Kehadiran Tiger di TNI AU membawa spirit yang besar. Terlebih, bila F-86 merupakan pesawat bekas pakai AU Australia (RAAF), maka F-5 dibeli dari AS secara brand new dari pabriknya.
Walau berbentuk panjang runcing, F-5 sejatinya lahir dari konsep pesawat tempur yang dirancang ringan, supersonik, dan relatif murah sebagaimana kebutunan negara-negara NATO dan SEATO kala itu. Rancangan awal F-5 didesain tahun 1954 dengan kode YJ85-1. Prototipe ini kemudian disempurnakan lagi dengan kode N-156F dan ditawarkan kepada AU Amerika (USAF) tahun 1956, Namun nyatanya USAF lebih membutuhkan pesawat latih pengganti T-33 Bird. Maka, lahirlah T-38 Talon sebagai model pesawat latih dan varian F-5.
Meski demikian, rancangan N-156F tak terbuang percuma begitu saja. Departemen Pertahanan AS kemudian memberikan bantuan modal dan menjadikan rancangan itu sebagai pesawat tempur ringan berharga murah yang kemudian bisa diekspor pula. Nama F-5A Freedom Fighter resmi disematkan tanggal 9 Agustus 1962. Berikutnya menyusul F-5B sebagai versi tandem seater yang bisa digunakan untuk kebutuhan latih juga.
USAF pada akhirnya turut menggunakan F-5. Ini terjadi pada tahun 1972 setelah beberapa prototipe peningkatan versi F-5-A/B yang menggunakan mesin afterburner dan perangkat radar AN/APQ-159 serta gun sight AN/ ASG-31, memuaskan pihak USAF. Maka muncullah seri F-5E dan F-5F double seater. F-5E/F Tiger II selanjutnya berhasil diproduksi hingga akhir tahun 1989 dengan jumlah 727 (F-5E) dan 140 F-5F, serta 12 RF-5E Tiger Eye. F-5 juga diproduksi di luar AS, yakni 90 F-5E/F di Swiss, 68 di Korea Selatan, dan 380 unit di Taiwan. Total, dalam catatan di situs Wikipedia, berhasil diproduksi tipe A/B/C sebanyak 847 unit, sementara tipe E/F sebanyak 1.399 unit.
Dikirim ke AS
Delapan pesawat datang pada gelombang pertama. Pesawat kemudian dirakit di Madiun oleh para teknisi Northrop dibantu teknisi TNI AU dan setelah itu masuk ke jajaran Skadron Udara 14. Uji terbang pertama dijalani pesawat dengan nomor ekor TL-0514 (F-5F) yang diterbangkan pilot uji Kapten Bill Edward dan Kapten Tom Danielson (Golden Moment of Tiger, Djoko Suyanto, 2005). Peresmian menjadi kekuatan Skadron Udara 14 selanjutnya dilakukan oleh Menhankam / Pangab Jenderal TNI M Yusuf pada 5 Mei 1980. F-5E/F “dibaptis” sebagai pesawat buru sergap menggantikan F-86 Avon Sabre. Melengkapi delapan pesawat batch pertama, delapan pesawat berikut nya datang pada gelombang kedua tanggal 5 Juli 1980.
Bagi Skadron Udara 14 yang didirikan pada 1 Juli 1962, F-5 menjadi kekuatan ketiga setelah mengoperasikan MiG-21F (19621970) dan F-86 Avon Sabre (19741980). Sabre sendiri di-grounded tahun 1980 melalui surat keputusan KSAU. Baik F-86 maupun F-5, kedua pesawat telah punya nama di medan peperangan. Bila F-86 pamornya terekspos dalam Perang Korea, maka F-5 banyak berkiprah di Perang Vietnam. Kehadiran Tiger di TNI AU membawa spirit yang besar. Terlebih, bila F-86 merupakan pesawat bekas pakai AU Australia (RAAF), maka F-5 dibeli dari AS secara brand new dari pabriknya.
Walau berbentuk panjang runcing, F-5 sejatinya lahir dari konsep pesawat tempur yang dirancang ringan, supersonik, dan relatif murah sebagaimana kebutunan negara-negara NATO dan SEATO kala itu. Rancangan awal F-5 didesain tahun 1954 dengan kode YJ85-1. Prototipe ini kemudian disempurnakan lagi dengan kode N-156F dan ditawarkan kepada AU Amerika (USAF) tahun 1956, Namun nyatanya USAF lebih membutuhkan pesawat latih pengganti T-33 Bird. Maka, lahirlah T-38 Talon sebagai model pesawat latih dan varian F-5.
Meski demikian, rancangan N-156F tak terbuang percuma begitu saja. Departemen Pertahanan AS kemudian memberikan bantuan modal dan menjadikan rancangan itu sebagai pesawat tempur ringan berharga murah yang kemudian bisa diekspor pula. Nama F-5A Freedom Fighter resmi disematkan tanggal 9 Agustus 1962. Berikutnya menyusul F-5B sebagai versi tandem seater yang bisa digunakan untuk kebutuhan latih juga.
USAF pada akhirnya turut menggunakan F-5. Ini terjadi pada tahun 1972 setelah beberapa prototipe peningkatan versi F-5-A/B yang menggunakan mesin afterburner dan perangkat radar AN/APQ-159 serta gun sight AN/ ASG-31, memuaskan pihak USAF. Maka muncullah seri F-5E dan F-5F double seater. F-5E/F Tiger II selanjutnya berhasil diproduksi hingga akhir tahun 1989 dengan jumlah 727 (F-5E) dan 140 F-5F, serta 12 RF-5E Tiger Eye. F-5 juga diproduksi di luar AS, yakni 90 F-5E/F di Swiss, 68 di Korea Selatan, dan 380 unit di Taiwan. Total, dalam catatan di situs Wikipedia, berhasil diproduksi tipe A/B/C sebanyak 847 unit, sementara tipe E/F sebanyak 1.399 unit.
Dikirim ke AS
Sesuai kontrak pengadaan 16 pesawat F-5E/F maka juga dikirim beberapa penerbang TNI AU ke USAF untuk melaksanakan pendidikan konversi di F-5. Mereka yang ditunjuk dan diberangkatkan oleh TNI AU ke William Air Force Base, Markas F-5E/F USAF, adalah Mayor Holki Basah Kartadibrat (Komandan Skadron Cdara 14 Mayor Budihardio Surono. dan Kapten Lambert Silooy. Akan tetapi, karena Lambert Siloov sakit, akhirnya digantikan oleh Kapten Zeky Ambadar. Holki dan Budihardjo tiba duluan di AS pada Desember 1979, sedangkan Zeky Ambadar tiba pada Januari 1980.
KSAU Marsekal Ashadi Tjahjadi usai terbang menggunakan F-5F dengan pilot Letkol Holki BK. Tampak dalam foto ia tengah berbincang -bincang dengan Kapten Lambert Silooy dan Kapten Zeky Ambadar.
Setelah lulus menjalani berbagai tes, ketiga penerbang TNI AU kemudian berlatih terbang di William AFB, Arizona menggunakan T-38. Tepatnya lagi di Skadron 425th yang dilengkapi 25 F-5E, 2 F-5F, dan 9 F-5B. Di situ penerbang TNI AU dididik bareng dengan penerbang dan negara lain yang menggunakan F-5 sekaligus tempat lahirnya pilot pertama F-5.
Tidak hanya pendidikan konversi saja, pendidikan juga meliputi penguasaan pertempuran udara dan penyerangan terhadap sasaran di daratan. Total mereka menjalani pendidikan selama 39,2 jam yang selesai dalam tempo 85 hari termasuk Basic Fighter Manuever (BFM), Air Combat Maneuver (ACM), dan Air Combat Tactic (ACT). Setelah itu pendidikan dilanjutkan ke tahap pendidikan instruktur sehingga diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada para penerbang lain di dalam negeri masing-masing.
Pendidikan langsung penerbang F-5 di sarangnya merupakan nilai yang amat berharga. Para penerbang dari masing-masing negara dididik terbang dalam kokpit F-5 untuk merasakan langsung bentuk pertempuran udara secara rill. Dapat dibayangkan, bagaimana beban mereka harus bisa menerima semua pelajaran yang diberikan dan mengaplikasikannya kelak termasuk mentransfer ilmunya kepada para penerbang muda. Namun ternyata, lebih dari itu kebanggaan besar didapat Indonesia karena Eagle 03 yakni Kapten Pnb Zeky Ambadar berhasil menjadi lulusan terbaik dan menerima Top Gun Award, sekaligus mengalahkan penerbang-penerbang F-5 dari negara lain.
Setelah lulus menjalani berbagai tes, ketiga penerbang TNI AU kemudian berlatih terbang di William AFB, Arizona menggunakan T-38. Tepatnya lagi di Skadron 425th yang dilengkapi 25 F-5E, 2 F-5F, dan 9 F-5B. Di situ penerbang TNI AU dididik bareng dengan penerbang dan negara lain yang menggunakan F-5 sekaligus tempat lahirnya pilot pertama F-5.
Tidak hanya pendidikan konversi saja, pendidikan juga meliputi penguasaan pertempuran udara dan penyerangan terhadap sasaran di daratan. Total mereka menjalani pendidikan selama 39,2 jam yang selesai dalam tempo 85 hari termasuk Basic Fighter Manuever (BFM), Air Combat Maneuver (ACM), dan Air Combat Tactic (ACT). Setelah itu pendidikan dilanjutkan ke tahap pendidikan instruktur sehingga diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada para penerbang lain di dalam negeri masing-masing.
Pendidikan langsung penerbang F-5 di sarangnya merupakan nilai yang amat berharga. Para penerbang dari masing-masing negara dididik terbang dalam kokpit F-5 untuk merasakan langsung bentuk pertempuran udara secara rill. Dapat dibayangkan, bagaimana beban mereka harus bisa menerima semua pelajaran yang diberikan dan mengaplikasikannya kelak termasuk mentransfer ilmunya kepada para penerbang muda. Namun ternyata, lebih dari itu kebanggaan besar didapat Indonesia karena Eagle 03 yakni Kapten Pnb Zeky Ambadar berhasil menjadi lulusan terbaik dan menerima Top Gun Award, sekaligus mengalahkan penerbang-penerbang F-5 dari negara lain.
Mayor Holki BK (tengah) bersama dengan Mayor Budihardjo Surono (kiri) dan Kapten Zeky Ambadar (kanan) saat berfoto di William Air Force Base. Arizona. Mereka adalah tiga orang penerbang TNI AU pertama yang dikirim ke Amerika untuk mengikuti pendidikan Konversi I pesawat F-5E/F.
Selain mengirimkan penerbangnya, TNI AU juga mengirimkan tenaga teknik yang tidak kalah pentingnya dalam alih teknologi penggunaan pesawat baru ini. Mereka yang dikirim adalah teknisi senior Skadron Udara 14 yang bergabung dengan personel dari satuan lain yang terlibat dalam proyek pembelian F-5E/F Tiger II. Yakni personel dari Depo Senjata (sekarang Depohar 60) dan dari Skadron Avionik 021 (sekarang Depohar 20). Rombongan teknisi Skadron Udara 14 dipimpin Kepala Dinas Pemeliharaan Skadron Udara 14 Kaptek Tek Sutjondro. Sedangkan personel Depo Senjata dipimpin Kapten Tek Miran dan personel Skadron Avionik 021 dipimpin Kapten Lek Wahono.
Pengiriman teknisi jauh lebih awal dari pengiriman penerbang, yakni pada September 1979 dari Bandara Halim Perdanakusuma via Narita Tokyo. Di William AFB para teknisi mendapat pendidikan di FTO 528 yang berada di bawah naungan William AFB. Mereka dididik selama tujuh bulan. Pendidikan berakhir pada Januari 1980 dan setelah itu para teknisi kembali lagi ke Tanah Air.
Mengudara
Selain mengirimkan penerbangnya, TNI AU juga mengirimkan tenaga teknik yang tidak kalah pentingnya dalam alih teknologi penggunaan pesawat baru ini. Mereka yang dikirim adalah teknisi senior Skadron Udara 14 yang bergabung dengan personel dari satuan lain yang terlibat dalam proyek pembelian F-5E/F Tiger II. Yakni personel dari Depo Senjata (sekarang Depohar 60) dan dari Skadron Avionik 021 (sekarang Depohar 20). Rombongan teknisi Skadron Udara 14 dipimpin Kepala Dinas Pemeliharaan Skadron Udara 14 Kaptek Tek Sutjondro. Sedangkan personel Depo Senjata dipimpin Kapten Tek Miran dan personel Skadron Avionik 021 dipimpin Kapten Lek Wahono.
Pengiriman teknisi jauh lebih awal dari pengiriman penerbang, yakni pada September 1979 dari Bandara Halim Perdanakusuma via Narita Tokyo. Di William AFB para teknisi mendapat pendidikan di FTO 528 yang berada di bawah naungan William AFB. Mereka dididik selama tujuh bulan. Pendidikan berakhir pada Januari 1980 dan setelah itu para teknisi kembali lagi ke Tanah Air.
Mengudara
Luar biasa kemampuan para teknisi dalam merakit pesawat F-5 walau masih dibimbing oleh teknisi dari pihak Northrop. Hanya seminggu setelah proses kedatangan F-5 di Madiun, proses perakitan bisa dirampungkan. Setelah itu F-5F nomor TL-0514 (angka ini menunjukkan pesawat F-5, dan Skadron Udara 14 – kode TL saat ini telah berubah menjadi TS) berhasil melakukan penerbangan. Itulah penerbangan pertama yang dilakukan F-5 di negeri bernama Indonesia. Setelah berhasil mengudara, pilot uji dari AS melakukan penerbangan sonic boom tanda bahwa F-5 telah lulus uji terbang.
Tuntas semua perakitan, tiga penerbang F-5 TNI AU yang dikirim ke AS pun mulai melakukan pendidikan konversi kepada penerbang di dalam negeri dibantu instruktur dari AS. Konversi Angkatan Kedua diisi dengan siswa Kapten Pnb Lambert F Silooy yang batal dikirim ke AS karena waktu itu sakit, serta Kapten Pnb Suprihadi. Berikutnya konversi penerbang F-5 dilaksanakan hingga Angkatan ke VIII. Angkatan I sendiri adalah untuk ketiga penerbang pertama yang dikirim ke AS. Para penerbang yang telah lulus, selanjutnya berhak mendapatkan Eagle Number dimulai Eagle 01, 02, 03 dan seterusnya. Sementara Eagle 00 digunakan temporer untuk jabatan komandan skadron yang sedang menjabat.
Dalam waktu satu tahun, pendidikan konversi berhasil menelurkan empat angkatan terdiri dari 12 mantan penerbang F-86 yakni Lambert Silooy, Suprihadi, Rudi Taran, Djoko Suyanto, Toto Riyanto, Ida Bagus Sanubari, M Basri Sidehabi, Tanwir Umar, Eris Herryanto, Drajad Rahardjo, Suryadarma, Imam Sufaat, dan Sumarwoto.
Eagle-eagle baru di Skadron
Tuntas semua perakitan, tiga penerbang F-5 TNI AU yang dikirim ke AS pun mulai melakukan pendidikan konversi kepada penerbang di dalam negeri dibantu instruktur dari AS. Konversi Angkatan Kedua diisi dengan siswa Kapten Pnb Lambert F Silooy yang batal dikirim ke AS karena waktu itu sakit, serta Kapten Pnb Suprihadi. Berikutnya konversi penerbang F-5 dilaksanakan hingga Angkatan ke VIII. Angkatan I sendiri adalah untuk ketiga penerbang pertama yang dikirim ke AS. Para penerbang yang telah lulus, selanjutnya berhak mendapatkan Eagle Number dimulai Eagle 01, 02, 03 dan seterusnya. Sementara Eagle 00 digunakan temporer untuk jabatan komandan skadron yang sedang menjabat.
Dalam waktu satu tahun, pendidikan konversi berhasil menelurkan empat angkatan terdiri dari 12 mantan penerbang F-86 yakni Lambert Silooy, Suprihadi, Rudi Taran, Djoko Suyanto, Toto Riyanto, Ida Bagus Sanubari, M Basri Sidehabi, Tanwir Umar, Eris Herryanto, Drajad Rahardjo, Suryadarma, Imam Sufaat, dan Sumarwoto.
Eagle-eagle baru di Skadron
Udara 14 terus lahir hingga saat ini sudah tercetak 100 Eagle Number. Di sela-sela pelaksanaan in country training Skadron Udara 14 juga tak lepas melaksanakan latihan dan misi yang menjadi bagian dari tugas pokoknya. Latihan pertama dengan negara sahabat dilaksanakan dengan Tentara Udara Diraja Malayisa (TUDM) atau AU Malaysia dalam sandi Elang Malindo VI pada 8-10 September 1980. Kala itu F-5 ter-bang dari pangkalan aju di Medan sementara F-5 TUDM terbang dari Lanud Butterworth, Malaysia. KSAU saat itu Marsekal Ashadi Tjahjadi dan Panglima TUDM Mayor Jenderal (udara) Muhammad Thaib meyakini bahwa latihan yang dilaksanakan sama-sama menggunakan F-5 akan mempererat hubungan kedua negara.
Enam bulan setelah dioperasikan oleh TNI AU, F-5 melakukan penerbangan jelajah pertama ke tanah Papua. Misi yang diemban adalah memperkenalkan armada baru F-5E/F Tiger II mulai dari Medan hingga Papua. Terbang ke pelosok Tanah Air buat para penerbang mungkin bukan menjadi hal yang baru. Akan tetapi, duduk di kokpit yang baru dikenal dan terasa masih “asing” adalah pengalaman tersendiri buat mereka. Pendaratan di Papua sebenarnya sedikit gambling bagi F-5 mengingat syarat untuk take off maupun landing pesawat F-5 adalah sepanjang 1.800 meter.
Sementara di Jayapura, panjang landasannya hanya 1.600 meter. Itulah, entah kehebatan penerbangnya atau nekat, toh pendaratan dan lepas landas di Jayapura tidak ada masalah Pengalaman lain yang tak kalah mengerikan adalah ketika F-5 melakukan penerbangan jelajah menuju Medan. Kala itu November 1980, lima pesawat terbang dari Madiun ke Medan melalui stop over di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tidak ada masalah saat penerbangan ke Halim. Masalah baru tiba manakala kelima pesawat terbang menuju medan. Mereka dihadang cuaca buruk di sekitar Palembang. Holki sebagai leader mengambil inisiatif dan memerintahkan anggotanya untuk menanjak ke ketinggian 37.000 kaki. Mereka naik menggunakan kekuatan maksimun dengan afterburner. Pada saat itulah para penerbang mengetahui bahwa dengan terbang menanjak menggunakan afterburner pada cuaca yang buruk tidak banyak membantu.
Akhirnya Holki memerintahkan untuk menanjak dengan cara normal. Tapi, ini pun tidak efektif karena awan semakin padat dan para penerbang mengalami disorientasi tak tahu posisi masing-masing. Akhirnya formasi pun berpencar. Nasib buruk kemudian menimpa pesawat leader. Ia terombang-ambing dan terkena spin. Pesawat berputar dan meluncur ke bawah, untunglah sebelum jatuh menghujam Bumi, Holki berhasil keluar dari spin dan menguasai pesawat.
Penerbangan dilanjutkan menuju Medan secara terpisah. Ketika mendekati Medan, para penerbang meminta prioritas pendaratan akibat persediaan bahan bakar yang makin menipis. Berkat lindungan Tuhan, kelima pesawat berhasil juga berkumpul di Medan. Seolah tidak terjadi apa-apa, para penerbang F-5 pun melupakan pengalaman buruk yang baru dilewati.
Meski begitu, kejadian serupa kembali dialami ketika mereka pulang dari Medan. Mereka terbang menanjak ke ketinggian 31.000 kaki dan setelah itu ke 35.000 kaki. Di atas Semarang semua penerbang baru menyadari kalau penggunaan bahan bakar di pesawat tidak sesuai dengan perhitungan di darat. Rupanya akibat setting power yang berubah-ubah dan pengaruh kondisi cuaca, menyebabkan penggunaan bahan bakar menjadi lebih boros. Akhirnya, leader memutuskan agar mereka kembali berpencar dan terbang dengan separasi menuju lanud. Kepada petugas Tower Iswahjudi pun, mereka meminta prioritas mendarat dan siaga penanganan bila terjadi apa-apa.
Pengalaman buruk lainnya, dialami Letkol Pnb Holki saat terbang dengan Kapten Pnb Suprihadi. Yaitu ketika kanopi pesawat F-5F tiba-tiba pecah di udara. Kala itu di ketinggian 30.000 kaki, Holki duduk di depan sementara Suprihadi duduk di kursi belakang. Beruntunglah windshield depan tidak pecah sehingga Holki masih bisa mengendalikan pesawat. Dan beruntung pula karena pada saat itu cuaca cerah alias tidak sedang hujan. Bila hujan, akan lebih gawat lagi karena seluruh kelistrikan pesawat harus dimatikan agar tidak terjadi hubungan arus pendek. Dengan tenang Holki menurunkan pesawat ke ketinggian 10.000 kaki. Setelah sampai di darat, kerusakan pun diselidiki. Ternyata pengatur tekanan udara di kokpit tersumbat benda asing sehingga tekanan di dalam kokpit meningkat dan memecahkan kanopi.
F-5E Tiger II saat ditugaskan untuk mendukung kegiatan KTT Non Blok di Jakarta. Sebagai salah satu kekuatan penggetar, F-5E/F berkiprah dalam banyak misi/penugasan.
Enam bulan setelah dioperasikan oleh TNI AU, F-5 melakukan penerbangan jelajah pertama ke tanah Papua. Misi yang diemban adalah memperkenalkan armada baru F-5E/F Tiger II mulai dari Medan hingga Papua. Terbang ke pelosok Tanah Air buat para penerbang mungkin bukan menjadi hal yang baru. Akan tetapi, duduk di kokpit yang baru dikenal dan terasa masih “asing” adalah pengalaman tersendiri buat mereka. Pendaratan di Papua sebenarnya sedikit gambling bagi F-5 mengingat syarat untuk take off maupun landing pesawat F-5 adalah sepanjang 1.800 meter.
Sementara di Jayapura, panjang landasannya hanya 1.600 meter. Itulah, entah kehebatan penerbangnya atau nekat, toh pendaratan dan lepas landas di Jayapura tidak ada masalah Pengalaman lain yang tak kalah mengerikan adalah ketika F-5 melakukan penerbangan jelajah menuju Medan. Kala itu November 1980, lima pesawat terbang dari Madiun ke Medan melalui stop over di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tidak ada masalah saat penerbangan ke Halim. Masalah baru tiba manakala kelima pesawat terbang menuju medan. Mereka dihadang cuaca buruk di sekitar Palembang. Holki sebagai leader mengambil inisiatif dan memerintahkan anggotanya untuk menanjak ke ketinggian 37.000 kaki. Mereka naik menggunakan kekuatan maksimun dengan afterburner. Pada saat itulah para penerbang mengetahui bahwa dengan terbang menanjak menggunakan afterburner pada cuaca yang buruk tidak banyak membantu.
Akhirnya Holki memerintahkan untuk menanjak dengan cara normal. Tapi, ini pun tidak efektif karena awan semakin padat dan para penerbang mengalami disorientasi tak tahu posisi masing-masing. Akhirnya formasi pun berpencar. Nasib buruk kemudian menimpa pesawat leader. Ia terombang-ambing dan terkena spin. Pesawat berputar dan meluncur ke bawah, untunglah sebelum jatuh menghujam Bumi, Holki berhasil keluar dari spin dan menguasai pesawat.
Penerbangan dilanjutkan menuju Medan secara terpisah. Ketika mendekati Medan, para penerbang meminta prioritas pendaratan akibat persediaan bahan bakar yang makin menipis. Berkat lindungan Tuhan, kelima pesawat berhasil juga berkumpul di Medan. Seolah tidak terjadi apa-apa, para penerbang F-5 pun melupakan pengalaman buruk yang baru dilewati.
Meski begitu, kejadian serupa kembali dialami ketika mereka pulang dari Medan. Mereka terbang menanjak ke ketinggian 31.000 kaki dan setelah itu ke 35.000 kaki. Di atas Semarang semua penerbang baru menyadari kalau penggunaan bahan bakar di pesawat tidak sesuai dengan perhitungan di darat. Rupanya akibat setting power yang berubah-ubah dan pengaruh kondisi cuaca, menyebabkan penggunaan bahan bakar menjadi lebih boros. Akhirnya, leader memutuskan agar mereka kembali berpencar dan terbang dengan separasi menuju lanud. Kepada petugas Tower Iswahjudi pun, mereka meminta prioritas mendarat dan siaga penanganan bila terjadi apa-apa.
Pengalaman buruk lainnya, dialami Letkol Pnb Holki saat terbang dengan Kapten Pnb Suprihadi. Yaitu ketika kanopi pesawat F-5F tiba-tiba pecah di udara. Kala itu di ketinggian 30.000 kaki, Holki duduk di depan sementara Suprihadi duduk di kursi belakang. Beruntunglah windshield depan tidak pecah sehingga Holki masih bisa mengendalikan pesawat. Dan beruntung pula karena pada saat itu cuaca cerah alias tidak sedang hujan. Bila hujan, akan lebih gawat lagi karena seluruh kelistrikan pesawat harus dimatikan agar tidak terjadi hubungan arus pendek. Dengan tenang Holki menurunkan pesawat ke ketinggian 10.000 kaki. Setelah sampai di darat, kerusakan pun diselidiki. Ternyata pengatur tekanan udara di kokpit tersumbat benda asing sehingga tekanan di dalam kokpit meningkat dan memecahkan kanopi.
Penembakan sidewinder
Menguji pesawat baru berikut senjatanya yang juga baru dilakukan menggunakan pesawat F-5. Dalam hal ini, penembakan pertama rudal AIM-9 Sidewinder pertama di TNI AU dilakukan oleh Letkol Pnb Suprihadi pada tanggal 3 November 1989 atau sembilan tahun setelah F-5 dioperasikan di TNI AU. Kala itu, Suprihadi yang menjabat sebagai Komandan Skadron Udara 14 terbang menggunakan F-5 kursi tunggal yang dilengkapi target simulasi TDU-11 di sayap sebelah kiri dan rudal AIM-9 P-2 di sayap kanan. Penembakan sasaran dilaksanakan di area latihan lepas Pantai Pacitan, Jawa Timur. Direct hit! Sasaran tembak yang dilepas berhasil dihancurkan oleh rudal Sidewinder.
Tidak hanya sekali, uji penembakan AIM-9 yang kedua dilaksanakan oleh Mayor Pnb Drajad Rahardjo yang menjabat Kadisops Skadron Udara 14 serta yang ketiga oleh Kapten Pnb Sumarwoto. AIM-9 kembali ditembakkan pada saat Latihan Gabungan Laut (Latgabla) II tahun 1989. Kala itu penerbang yang dipercaya melaksanakan penembakan adalah Lettu Pnb M Syaugi yang terbang menggunakan F-5F dengan Letda Pnb Sugeng Hartoyo. AIM-9 P-2 diluncurkan Syaugi sebagai tembakan kedua setelah penembakan pertama oleh rudal Harpoon dari KRI Yos Sudarso. Direct hit! Rudal Sidewinder berhasil menenggelamkan kapal sasaran, yakni KRI Hiu.
Dalam penembakan AIM-9 tersebut, juga dilaksanakan “penerbangan gila” oleh Mayor Pnb Dradjad Rahardjo menggunakan F-5F dengan backseater Letda Pnb Agung Sasongkojati yang bertindak sebagai juru kamera. Mereka mendapat perintah untuk “mengawal” rudal Harpoon yang ditembakkan meluncur menuju sasaran. Dradjad terbang sekitar tiga meter di atas permukaan laut berjarak sekitar 10 meter terhadap rudal Harpoon! Ia terbang dalam kecepatan 0.93 IMN (Indicated Mach Number) atau 1.000 km per jam. Sementara Agung Sasongkojati di kursi belakang merekam peluncuran rudal dengan kemampuan jangkauan 90 km yang mengeluarkan asap putih itu. Sungguh dahsyat.
Penembakan rudal AIM-9 P-2 pertama oleh Letkol Suprihadi pada 3 November 1989
Tidak hanya sekali, uji penembakan AIM-9 yang kedua dilaksanakan oleh Mayor Pnb Drajad Rahardjo yang menjabat Kadisops Skadron Udara 14 serta yang ketiga oleh Kapten Pnb Sumarwoto. AIM-9 kembali ditembakkan pada saat Latihan Gabungan Laut (Latgabla) II tahun 1989. Kala itu penerbang yang dipercaya melaksanakan penembakan adalah Lettu Pnb M Syaugi yang terbang menggunakan F-5F dengan Letda Pnb Sugeng Hartoyo. AIM-9 P-2 diluncurkan Syaugi sebagai tembakan kedua setelah penembakan pertama oleh rudal Harpoon dari KRI Yos Sudarso. Direct hit! Rudal Sidewinder berhasil menenggelamkan kapal sasaran, yakni KRI Hiu.
Dalam penembakan AIM-9 tersebut, juga dilaksanakan “penerbangan gila” oleh Mayor Pnb Dradjad Rahardjo menggunakan F-5F dengan backseater Letda Pnb Agung Sasongkojati yang bertindak sebagai juru kamera. Mereka mendapat perintah untuk “mengawal” rudal Harpoon yang ditembakkan meluncur menuju sasaran. Dradjad terbang sekitar tiga meter di atas permukaan laut berjarak sekitar 10 meter terhadap rudal Harpoon! Ia terbang dalam kecepatan 0.93 IMN (Indicated Mach Number) atau 1.000 km per jam. Sementara Agung Sasongkojati di kursi belakang merekam peluncuran rudal dengan kemampuan jangkauan 90 km yang mengeluarkan asap putih itu. Sungguh dahsyat.
Modernisasi
Betapa banyak kisah yang ditorehkan oleh F-5E Tiger II, sebanyak latihan dan misi yang telah dijalaninya. Memasuki pertengahan dekade 1990-an, Mabes TNI AU merencanakan modernisasi F-5 yang dinilai masih layak digunakan dan mampu bersaing dengan penempur-penempur baru. F-5 hanya dilengkapi peralatan navigasi ADF (Automatic Direction Finder) dan Tacan (Tactical Air Navigation). Sementara untuk penembakanan, F-5 dilengkapi LCOSS (Lead Computer Sight System) yang diintegrasikan dengan radar APQ-159 Versi 3. Teknologi tidak memungkinkan pesawat untuk melakukan operasi penyerangan dengan presisi baik rute maupun penembakannya.
Dalam penyelenggaraan pameran Kedirgantaraan Le Bourget tahun 1993, KSAU Marsekal Rilo Pambudi saat itu, menyampaikan rencana modernisasi F-5E/F itu. Keinginan ini kemudian disambut antusias oleh beberapa industri penerbangan internasional yang kemudian berkompetisi dalam tender.
Setelah melalui seleksi, akhirnya terpilihlah SABCA, perusahaan penerbangan Belgia yang berdiri tahun 1920. Nota Kesepahaman dengan SABCA ditandatangani tahun 1995 dan modernisasi F-5 Skadron Udara 14 pun dimulai Proyeknya bernama MACAN (Modernization of Avionics and Navigation). Dua pesawat pertama yang menjalani proyek MACAN adalah TS-0501 (F-5E) dan TL-0516 (F-5F). Kedua’pesawat dijadwalkan rampung menjalani proyek MACAN selama 18 bulan.
Akan tetapi, beragam permasalahan kemudian timbul dalam proyek MACAN sehingga membuat waktu modernisasi menjadi molor. Namun akhirnya, kedua pesawat selesai juga menjalani proyek MACAN dan tiba di Madiun diangkut menggunakan pesawat AN-124 pada tahun 1999. Usai dirakit ulang, pesawat pun siap diuji. Bertindak selaku pilot uji adalah Mayor Pnb Yuyu Sutisna yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dinas Operasi Skadron Udara 14. Uji terbang dilaksanakan dengan baik. Kedua pesawat akhirnya kembali bergabung dalam kekuatan Skadron Udara 14 dengan kemampuan yang lebih dan “teman-temannya”.
Saat ini, operasionalisasi F-5E/F di TNI AU sudah mencapai usia 31 tahun, yang artinya dalam beberapa tahun ke depan, armada F-5E/F pun sudah harus punya calon pengganti untuk meneruskan estafet taring kekuatan Skadron Udara 14 sebagaimana diawali oleh MiG-21F dan F-86 Avon Sabre.
Selama kurun 31 tahun itu, F-5 juga berhasil mencetak sedikitnya enam penerbang TNI AU yang berhasil menembus angka 2.000 jam terbang. Mereka adalah Letkol Pnb Djoko Suyanto (1991), Letkol Pnb Eris Herryanto (1993), Letkol Pnb Ismono Widjayanto (1997), Letkol Pnb Bonar Hutagaol (1997), Letkol Pnb Yuyu Sutisna (2001), dan Letkol Pnb Nanang Santoso (2002).
Keluarga besar F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 juga patut berbangga karena salah satu penerbangnya, yakni Djoko Suyanto berhasil menjadi KSAU, lalu Panglima TNI, dan kemudian Menkopolhukam.(ron)(foto diposkan Sejarahperang)
Tampak saat F-5E akan melakukan taximenuju ke ujung landasan di Lanud Halim Perdanakusuma.
Dalam penyelenggaraan pameran Kedirgantaraan Le Bourget tahun 1993, KSAU Marsekal Rilo Pambudi saat itu, menyampaikan rencana modernisasi F-5E/F itu. Keinginan ini kemudian disambut antusias oleh beberapa industri penerbangan internasional yang kemudian berkompetisi dalam tender.
Setelah melalui seleksi, akhirnya terpilihlah SABCA, perusahaan penerbangan Belgia yang berdiri tahun 1920. Nota Kesepahaman dengan SABCA ditandatangani tahun 1995 dan modernisasi F-5 Skadron Udara 14 pun dimulai Proyeknya bernama MACAN (Modernization of Avionics and Navigation). Dua pesawat pertama yang menjalani proyek MACAN adalah TS-0501 (F-5E) dan TL-0516 (F-5F). Kedua’pesawat dijadwalkan rampung menjalani proyek MACAN selama 18 bulan.
Akan tetapi, beragam permasalahan kemudian timbul dalam proyek MACAN sehingga membuat waktu modernisasi menjadi molor. Namun akhirnya, kedua pesawat selesai juga menjalani proyek MACAN dan tiba di Madiun diangkut menggunakan pesawat AN-124 pada tahun 1999. Usai dirakit ulang, pesawat pun siap diuji. Bertindak selaku pilot uji adalah Mayor Pnb Yuyu Sutisna yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dinas Operasi Skadron Udara 14. Uji terbang dilaksanakan dengan baik. Kedua pesawat akhirnya kembali bergabung dalam kekuatan Skadron Udara 14 dengan kemampuan yang lebih dan “teman-temannya”.
Saat ini, operasionalisasi F-5E/F di TNI AU sudah mencapai usia 31 tahun, yang artinya dalam beberapa tahun ke depan, armada F-5E/F pun sudah harus punya calon pengganti untuk meneruskan estafet taring kekuatan Skadron Udara 14 sebagaimana diawali oleh MiG-21F dan F-86 Avon Sabre.
Selama kurun 31 tahun itu, F-5 juga berhasil mencetak sedikitnya enam penerbang TNI AU yang berhasil menembus angka 2.000 jam terbang. Mereka adalah Letkol Pnb Djoko Suyanto (1991), Letkol Pnb Eris Herryanto (1993), Letkol Pnb Ismono Widjayanto (1997), Letkol Pnb Bonar Hutagaol (1997), Letkol Pnb Yuyu Sutisna (2001), dan Letkol Pnb Nanang Santoso (2002).
Keluarga besar F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 juga patut berbangga karena salah satu penerbangnya, yakni Djoko Suyanto berhasil menjadi KSAU, lalu Panglima TNI, dan kemudian Menkopolhukam.(ron)(foto diposkan Sejarahperang)
● TNI AU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.