Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Budi Susilo Soepandji, mengatakan saat ini pemahaman, pemaknaan, dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara mengalami penurunan. Bahkan, ada pihak-pihak yang berupaya menggantikan Pancasila.
"Mengenai siapa pihak-pihak yang berupaya menggantikan Pancasila tak perlu disebutkan. Gerakan itu suatu bentuk radikalisasi yang menghambat dan tidak setuju Pancasila disosialisasikan kembali karena Pancasila dinilai sebagai warisan Orde Baru," kata Budi dalam seminar dengan tema "Revitalisasi dan Internalisasi Nilai-nilai Pancasila Guna Membentuk Karakter Bangsa dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional", di Jakarta, Kamis (24/10).
Budi enggan menyebutkan pihak-pihak yang ingin menggantikan Pancasila dengan paham yang lebih modern dan radikal tersebut. Meski ada pihak yang ingin merongrong Pancasila, berdasarkan kajian Lemhannas dan lembaga survei, Pancasila masih merupakan pemersatu bangsa. "Bentuknya masih berupa ekspresi atau statement melalui internet. Secara eksplisit yang mencintai Pancasila jauh lebih besar," tutur Budi.
Dia menjelaskan apa yang ada pada era reformasi, yaitu hadirnya kebebasan yang berlebihan dan melemahnya penegakan aturan karena dianggap mengekang kebebasan, menyebabkan timbulnya konflik kerukunan beragama. Selanjutnya, semakin pudarnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah.
"Kini juga terjadi pudarnya rasa gotong royong dan semakin meningkatnya gerakan kelompok radikal yang memanfaatkan atribut agama merupakan cerminan dari semakin memudarnya pengamalan nilai-nilai Pancasiala dalam kehidupan masyarakat Indonesia," jelas Budi.
Cenderung Ditinggalkan
Gubernur Lemhannas menambahkan nilai-nilai Pancasila telah mengalami marjinalisasi dan cenderung ditinggalkan. Oleh karena itu, diharapkan, ke depan, Pancasila harus dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa yang pluralisme dan multikuturalisme dalam menghadapi multikrisis saat ini.
"Pancasila mesti dijadikan pula sebagai sumber dari segala sumber hukum. Untuk itu, Pancasila harus direvitalisasi sebagai jati diri, karakter, dan pemersatu bangsa sehingga ketahanan nasional dapat terwujud," tandasnya.
Sementara itu, sejarawan Anhar Gonggong mengatakan revitalisasi Pancasila sangat diperlukan. Hal itu dilakukan karena nilai-nilai Pancasila belum semua bisa dilaksanakan dengan baik. Dalam merevitalisasi Pancasila itu, semua stakeholder di Indonesia harus ikut berperan, termasuk partai politik.
"Tanya ke pemerintah apa yang sudah dilakukannya, tanya ke partai politik apa yang sudah dilakukan. Tujuan parpol kan bukan hanya sekadar berkuasa, malah seharusanya mereka juga menyosialisasikan apa itu Pancasila," tutur Anhar.
Sedangkan panitia seminar, Irjen Iza Fadri, mengharapkan dikeluarkannya peraturan presiden (perpres) terkait revitalisasi Pancasila. Namun, perpres tersebut sifatnya bukan doktrin. "Kita upayakan di jajaran eksekutif dulu," kata Iza.
"Mengenai siapa pihak-pihak yang berupaya menggantikan Pancasila tak perlu disebutkan. Gerakan itu suatu bentuk radikalisasi yang menghambat dan tidak setuju Pancasila disosialisasikan kembali karena Pancasila dinilai sebagai warisan Orde Baru," kata Budi dalam seminar dengan tema "Revitalisasi dan Internalisasi Nilai-nilai Pancasila Guna Membentuk Karakter Bangsa dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional", di Jakarta, Kamis (24/10).
Budi enggan menyebutkan pihak-pihak yang ingin menggantikan Pancasila dengan paham yang lebih modern dan radikal tersebut. Meski ada pihak yang ingin merongrong Pancasila, berdasarkan kajian Lemhannas dan lembaga survei, Pancasila masih merupakan pemersatu bangsa. "Bentuknya masih berupa ekspresi atau statement melalui internet. Secara eksplisit yang mencintai Pancasila jauh lebih besar," tutur Budi.
Dia menjelaskan apa yang ada pada era reformasi, yaitu hadirnya kebebasan yang berlebihan dan melemahnya penegakan aturan karena dianggap mengekang kebebasan, menyebabkan timbulnya konflik kerukunan beragama. Selanjutnya, semakin pudarnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah.
"Kini juga terjadi pudarnya rasa gotong royong dan semakin meningkatnya gerakan kelompok radikal yang memanfaatkan atribut agama merupakan cerminan dari semakin memudarnya pengamalan nilai-nilai Pancasiala dalam kehidupan masyarakat Indonesia," jelas Budi.
Cenderung Ditinggalkan
Gubernur Lemhannas menambahkan nilai-nilai Pancasila telah mengalami marjinalisasi dan cenderung ditinggalkan. Oleh karena itu, diharapkan, ke depan, Pancasila harus dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa yang pluralisme dan multikuturalisme dalam menghadapi multikrisis saat ini.
"Pancasila mesti dijadikan pula sebagai sumber dari segala sumber hukum. Untuk itu, Pancasila harus direvitalisasi sebagai jati diri, karakter, dan pemersatu bangsa sehingga ketahanan nasional dapat terwujud," tandasnya.
Sementara itu, sejarawan Anhar Gonggong mengatakan revitalisasi Pancasila sangat diperlukan. Hal itu dilakukan karena nilai-nilai Pancasila belum semua bisa dilaksanakan dengan baik. Dalam merevitalisasi Pancasila itu, semua stakeholder di Indonesia harus ikut berperan, termasuk partai politik.
"Tanya ke pemerintah apa yang sudah dilakukannya, tanya ke partai politik apa yang sudah dilakukan. Tujuan parpol kan bukan hanya sekadar berkuasa, malah seharusanya mereka juga menyosialisasikan apa itu Pancasila," tutur Anhar.
Sedangkan panitia seminar, Irjen Iza Fadri, mengharapkan dikeluarkannya peraturan presiden (perpres) terkait revitalisasi Pancasila. Namun, perpres tersebut sifatnya bukan doktrin. "Kita upayakan di jajaran eksekutif dulu," kata Iza.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.