Teddy Rusdy |
Untuk memperkaya sosok Teddy Rusdy, saya pun mencari info di google. Di mesin pencari info ini ada data yang menyebutkan kalau istri Pak Teddy pernah sebagai pemilik “almarhum” Majalah Matra.
Memori saya pun teringat seorang fotografer yang pernah membantu di majalah tersebut. Mas Anto, kalau saya memanggilnya. Beberapa kali saya telepon ngak diangkat begitu pula SMS ngak dijawab.
Tapi pada 12 Maret 2010, ada jawaban pesan pendek (SMS) dari Mas Anto yang menyanggupi mempertemukan dengan Pak Teddy Rusdy. Waktu ketemuannya jam 5 sore di kantor Pak Teddy, Grha STR Jalan Ampera depan Kantor Medco.
Akhirnya Sore itu, saya sama mas Anto berangkat menuju jalan Ampera. Walaupun hujan, tidak menyurutkan untuk menemui Pak Teddy. Saat memasuki ruangan, security dengan ramah sudah menanyakan maksud kedatangannya.
“Mau ketemu Pak Teddy Rusdy”
“Lantai tiga mas, beliau pemilik grha ini”
“Makasih mas”
Saat berada di lantai tiga, kami bingung karena banyak ruangan, sambil memberanikan diri, saya memencet bel ruang 301. Tiba-tiba muncul perempuan yang menanyakan maksud kedatangannya.
“Mbak, mau ketemu Pak Teddy Rusdy”
“Silahkan duduk mas”
Saat memasuki ruangan kantornya terlihat lukisan dari beberapa pelukis terkenal. Dalam batinku, Pak Teddy ini penggemar seni. Sambil menunggu tamu yang menemuinya, saya terkagum-kagum dengan ruangannya karena desain antara tradisional dan modern.
Jam menunjukkan 17.00 tiba-tiba pria tua, berkacamata, berkumis muncul dari ruangan sebelah.
“Mana Achsin?”
“Saya Pak”
“Masuk ruangan dulu dik”
Pak Teddy ternyata orangnya sangat disiplin banget. Ternyata saya masuk ruangan rapat. Di dalam ruangan nampak foto pesawat pembom TU-16/KS buatan Uni Soviet tidak ketinggalan pula foto beliau bersama Pak Tri Sutrisno saat menunaikan ibadah haji.
Pak Teddy pun bercerita tentang sejarah intelijen Indonesia. Kata Beliau intelijen Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan intelijen TNI. “Ini sejarah dik,” ungkapnya.
Kata Pak Teddy di era perjuangan kemerdekaan intelijen Indonesia banyak menggunakan orang tua atau anak sebagai kurir, biar tidak diketahui musuh.
Salah satu anak-anak yang disebutkan Pak Teddy adalah Pak Benny Moerdani. “Waktu Pak Benny berumur 13 sudah menjadi intel,“ ungkapnya. Mendengar penjelasan ini saya hanya geleng-geleng kepala.
Pak Teddy pun menjelaskan di white board seperti dosen yang mengajar di depan mahasiswa. Ia menerangkan terkait periodisasi pembentukan intelijen di Indonesia.
Sambil menikmati hangatnya kopi dan makanan kecil, suasana “perkuliahan” begitu cair.
Sambil menunjuk ke foto pesawat pembom, ia mengatakan orang yang pertama kali menerbangkan pesawat TU-16/KS. Kata Pak Teddy, pesawat ini mampu membawa rudal untuk serangan dari udara ke darat dan laut.
“Waktu itu, hanya dua negara di luar Uni Soviet yang memiliki pesawat ini yaitu Mesir di bawah Presiden Gamal Abdul Naser dan Pak Karno,” ungkapnya. Saat itu, pak Teddy berpangkat Letnan Udara II, usianya 25 tahun.
“Bukan bermaksud sombong dik, saya satu-satunya special operator pembom tempur karena memiliki keahlian elektronik, aviatik dan pengalaman navigasi”
Ia juga mampu melakukan navigasi dengan radio silent karena pada 1961 pernah mengikuti pendidikan astro navigation di Air Force Flying College India.
Di negerinya Mahatma Gandhi, ia belajar melakukan terbang cross-country sekitar 1500 mil tanpa peta. Selama belajar di India, ia punya pengalaman menarik, ketika kertas sketsa dan peta navigasinya di makan sapi.
“Di India, sapi juga doyan kertas, kalau di Indonesia manusia suka aspal,” katanya sambil tertawa. Guyonan dan sindiran-sindiran politik membuat suasana semakin ramai.
Menurut Teddy era 60-an merupakan masa keemasan TNI AU memiliki pesawat tempur MIG 17, MIG 19, MIG 21, pesawat Pembom II-28, Pesawat Angkut Strategis AN dan Pesawat pembom strategis TU 16-16/KS.
####
Bagaimana Pak Teddy bisa menjadi “tangan kanan” LB Moerdani? Kejadiannya saat ia mengikuti Sesko ABRI 1974 yang memberikan paparan terkait peristiwa Malari di hadapan LB Moerdani.
Ia memaparkan Peristiwa Malari karena terjadi puncak persaingan Letjend Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro.
Letjend Ali Moertopo memandang gerakan berbahaya sedangkan Jenderal Soemitro melihat gerakan mahasiswa sebagai konsekuensi logis semakin terdidiknya masyarakat NKRI.
Dalam paparannya Teddy melihat situasi ini berbahaya bagi Presiden Soeharto karena mendapat dua jenis analisa yang berbeda.
Waktu itu, kata Teddy dalam ruangan hening dan tiba-tiba Pak Benny menyetujui analisanya.
Keesokan harinya, Teddy mendapat telepon KSAU Marsekal Mohammad Saleh Basarah untuk menghadapnya. Saat menghadap dengan Pak Saleh, Teddy diminta untuk membantu Pak Benny Moerdani dengan mendapat tugas di intelijen Hankam.
Pak Teddy Rusdy tidak membayangkan sejak itu, ia akan bersama-sama dengan Pak Benny selama 20 tahun karir militernya.
Tugas pertama Pak Teddy dengan pangkat Letkol sebagai kepala Biro militer pertahanan, enam bulan selanjutnya Pak Benny menetapkannya sebagai Kepala Biro Asia Pasifik.
Di saat sela, saya pun memberanikan bertanya operasi intelijen yang dilakukan Pak Teddy. “Operasi intelijen bisa dibuka setelah 30 tahun,” ungkapnya. OK Tidak apa-apa.
Pak Teddy pun menerawang, seolah-olah mengingat peristiwa masa lalu. “Saya pernah memasok persenjataan kelompok mujahidin Afghanistan,” kenangnya.
“Bagaimana ceritanya pak?”
Pada 1981, Teddy Rusdy mendampingi Pak Benny di Islamabad pertemuan rahasia dengan petinggi intelijen Pakistan yang membahas membantu logistik dan persenjataan Mujahidin Afghanistan.
Kata Teddy, saat itu, para mujahidin Afghanistan membutuhkan senjata yang sama dengan hasil rampasan yaitu buatan Uni Soviet. “Kebetulan senjata buatan Uni Soviet banyak di miliki ABRI saat Trikora dan Dwikora,” ungkap Teddy.
Dengan persetujuan Presiden Soeharto terkumpul senjata-senjata buatan Uni Soviet. Senjata ini dikumpulkan di gudang khusus milik staf Hankam dan Gudang Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.
“Kita hapus nomor seri yang tertera dalam setiap senjata untuk mengaburkan asal sumber senjata tersebut,” sergah Teddy.
Semua senjata dimasukkan di dalam peti dan diberi tanda palang merah, dicampur dengan peti obat-obatan dan selimut.
Kata Teddy, operasi ini tidak melibatkan Atase Pertahanan RI di Pakistan yang waktu itu dijabat Kolonel Harjanto. “Ia tidak dilibatkan untuk menghindari kasus diplomatik apabila operasinya bocor.” Akhirnya operasi ini berjalan dengan mulus.
Pak Teddy juga yang mengirim dua putra terbaik bangsa dari Kopassus: Mayor Inf Luhut B Panjaitan dan Kapten Inf Prabowo Subianto untuk belajar anti teror di markas polisi khusus anti teror Jerman Barat GSG 9.
Menurut Teddy, dalam proses belajar di GSG9, Prabowo sudah dinyatakan DO karena terjatuh dan mengalami cedera saat latihan. Akhirnya Teddy melapor ke LB Moerdani.
Mendengar ini, Moerdani meminta Teddy melobi Commanding Officer GSG 9 Kolonel Ultrich Wagener karena Prabowo mantu seorang Presiden Soeharto.
Teddy pun menemui Ultrich untuk meminta pengertian agar Prabowo masih mengikuti pendidikan dan pelatihan terutama materi yang bersifat teori, karena putra Soemitro ini mahir berbahasa Jerman.
Itulah sekelumit obrolan saya dengan Pak Teddy Rusdy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.