Penulis: Arli Aditya Parikesit*
Bioterorisme adalah upaya menebarkan aksi teror menggunakan agen/senjata biologis. Apa maksudnya agen biologis di sini? Ia adalah makhluk hidup, atau bagian dari makhluk hidup. Contoh disini adalah mikroorganisme, atau jasad renik, seperti bakteri, virus, dan fungi.
Apakah mereka benar-benar berbahaya bagi kita? Balitbang Kemenhan pernah merilis artikel mengenai ancaman bioterorisme di tautan ini. Namun, kita tidak perlu panik karena menurut Kepala Badan Intelijen Negara Letjen TNI Marsiano Norman, belum ada bukti bahwa wabah virus H5N1 yang terjadi merupakan aksi terorisme. Bagaimana melakukan cegah tangkal terhadap bioterorisme ini?
Sejarah singkat bioterorisme
Di zaman modern, Uni Soviet dan Jepang pada era Perang Dunia II diketahui melakukan pengembangan bioterorisme. Dekrit Stalin tahun 1928 merupakan titik tolak pengembangan bioterorisme Uni Soviet, sementara Jepang disinyalir mengembangkan agen bioterorisme di bawah pimpinan Jenderal Shiro Isihi, untuk keperluan perang pasifik.
Hanya saja, pada akhirnya, penggunaan agen bioterorisme selama Perang Dunia II tidak pernah terlalu diekspos, sebab dunia terlalu takjub dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Tidak berhenti di situ, ternyata setelah Perang Dunia II, bioterorisme disinyalir masih dikembangkan. Ken Alibek, seorang ilmuwan yang membelot dari Uni Soviet ke barat, menulis buku Biohazard, yang menunjukkan pengembangan senjata biologis. Tidak hanya itu, pengembangan SDM pakar bioterorisme di Soviet juga dijelaskan. Hanya, setelah Uni Soviet pecah, proyek tersebut mati suri. Amerika Serikat (AS) sendiri telah menghentikan program pengembangan senjata biologis sejak 1972.
Bantuan bioinformatika dan informasi geografis
Sains sangat diperlukan untuk melakukan identifikasi, pencegahan, dan kurasi terhadap agen bioterorisme. Hal ini penting sebab bioterorisme bukan bagian dari sains, melainkan merupakan penyalahgunaan sains untuk pelanggaran yang sangat serius terkait hukum dan kemanusiaan.
Hal ini bisa dianalogikan dengan penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu, ilmu bioinformatika dan informasi geografis mencoba memberikan beberapa kontribusi dalam konteks cegah tangkal bioterorisme ini.
Pusat data genomik dan proteomik bagi agen bioterorisme
Tewari dan kawan-kawan baru saja menerbitkan artikel ilmiah di Bioinformation, pada tautan ini, yang membahas pengembangan database, yang dapat digunakan untuk sumber informasi dalam rangka menangkal dan mitigasi serangan bioterorisme.
Mereka membahas 10 agen mikro-organisme, yang berpotensi digunakan dalam serangan bioterorisme. Salah satu kuman (bakteri) yang sering disebut sebagai kandidat potensial untuk dikembangkan sebagai agen bioterorisme adalah antraks (Bacillus anthracis). Umumnya, bakteri ini menyerang ternak, seperti sapi, dan sesekali dapat menyerang manusia. Namun, dalam perkembangannya, kuman antraks ini akhirnya disalahgunakan untuk aksi teror.
AS pada bulan september 2001 mengalami event terorisme yang boleh dibilang terbesar dalam sejarah mereka. Runtuhnya menara kembar WTC pada 9/11 adalah event yang selalu diingat oleh semua orang. Namun, pada bulan yang sama, AS juga mengalami gelombang serangan bioterorisme, yang agak dilupakan oleh publik.
Di sisi lain, 10 kasus pertama serangan kuman antraks telah dilaporkan di AS. Pada publikasi ini, dijelaskan mengenai gejala infeksi, jenis kelamin, dan rata-rata umur dari pasien. Dengan terapi yang ada, ternyata pasien infeksi antraks lebih memiliki kemungkinan yang besar untuk bertahan hidup.
Pada September 2001, surat-surat yang mengandung kuman antraks dikirimkan melalui kantor pos AS. Surat-surat tersebut dikirim secara sengaja kepada tokoh-tokoh penting di AS, seperti anggota senat dan para pengambil kebijakan lainnya.
Kuman antraks dari surat-surat tersebut diketahui telah mencemari fasilitas publik, dan negara bagian New Jersey telah memublikasi hasil investigasi epidemiologis mereka akan hal itu. Dalam publikasi tersebut di sini, mereka mengembangkan sistem informasi geografis (GIS) untuk mengembangkan daya dukung komputasi dalam rangka investigasi masalah bioterorisme.
Jangan panik dan terpengaruh isu
Contoh yang kami sajikan di atas berdasarkan publikasi ilmiah, yang tentu diverifikasi secara faktual, dan bukan berdasarkan spekulasi politis.
Berhubung bioterorisme sangat erat kaitannya dengan kebijakan publik, maka seyogianya hal ini diserahkan saja kepada pemerintah, dalam hal ini otoritas penegak hukum, untuk menentukan tingkat ancaman bioterorisme.
Mengembangkan wacana bioterorisme untuk membingungkan masyarakat sangatlah tidak bijak karena berpotensi menimbulkan kepanikan. Jika pemerintah tidak mengumumkan terjadinya ancaman bioterorisme, maka seyogianya dipercaya bahwa memang hal itu tidak terjadi.
*Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumnius program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Managing Editor Netsains.net; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di Twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di Facebook, dan www.gplus.to/arli di google+.
Apakah mereka benar-benar berbahaya bagi kita? Balitbang Kemenhan pernah merilis artikel mengenai ancaman bioterorisme di tautan ini. Namun, kita tidak perlu panik karena menurut Kepala Badan Intelijen Negara Letjen TNI Marsiano Norman, belum ada bukti bahwa wabah virus H5N1 yang terjadi merupakan aksi terorisme. Bagaimana melakukan cegah tangkal terhadap bioterorisme ini?
Sejarah singkat bioterorisme
Di zaman modern, Uni Soviet dan Jepang pada era Perang Dunia II diketahui melakukan pengembangan bioterorisme. Dekrit Stalin tahun 1928 merupakan titik tolak pengembangan bioterorisme Uni Soviet, sementara Jepang disinyalir mengembangkan agen bioterorisme di bawah pimpinan Jenderal Shiro Isihi, untuk keperluan perang pasifik.
Hanya saja, pada akhirnya, penggunaan agen bioterorisme selama Perang Dunia II tidak pernah terlalu diekspos, sebab dunia terlalu takjub dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Tidak berhenti di situ, ternyata setelah Perang Dunia II, bioterorisme disinyalir masih dikembangkan. Ken Alibek, seorang ilmuwan yang membelot dari Uni Soviet ke barat, menulis buku Biohazard, yang menunjukkan pengembangan senjata biologis. Tidak hanya itu, pengembangan SDM pakar bioterorisme di Soviet juga dijelaskan. Hanya, setelah Uni Soviet pecah, proyek tersebut mati suri. Amerika Serikat (AS) sendiri telah menghentikan program pengembangan senjata biologis sejak 1972.
Bantuan bioinformatika dan informasi geografis
Sains sangat diperlukan untuk melakukan identifikasi, pencegahan, dan kurasi terhadap agen bioterorisme. Hal ini penting sebab bioterorisme bukan bagian dari sains, melainkan merupakan penyalahgunaan sains untuk pelanggaran yang sangat serius terkait hukum dan kemanusiaan.
Hal ini bisa dianalogikan dengan penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu, ilmu bioinformatika dan informasi geografis mencoba memberikan beberapa kontribusi dalam konteks cegah tangkal bioterorisme ini.
Pusat data genomik dan proteomik bagi agen bioterorisme
Tewari dan kawan-kawan baru saja menerbitkan artikel ilmiah di Bioinformation, pada tautan ini, yang membahas pengembangan database, yang dapat digunakan untuk sumber informasi dalam rangka menangkal dan mitigasi serangan bioterorisme.
Mereka membahas 10 agen mikro-organisme, yang berpotensi digunakan dalam serangan bioterorisme. Salah satu kuman (bakteri) yang sering disebut sebagai kandidat potensial untuk dikembangkan sebagai agen bioterorisme adalah antraks (Bacillus anthracis). Umumnya, bakteri ini menyerang ternak, seperti sapi, dan sesekali dapat menyerang manusia. Namun, dalam perkembangannya, kuman antraks ini akhirnya disalahgunakan untuk aksi teror.
AS pada bulan september 2001 mengalami event terorisme yang boleh dibilang terbesar dalam sejarah mereka. Runtuhnya menara kembar WTC pada 9/11 adalah event yang selalu diingat oleh semua orang. Namun, pada bulan yang sama, AS juga mengalami gelombang serangan bioterorisme, yang agak dilupakan oleh publik.
Di sisi lain, 10 kasus pertama serangan kuman antraks telah dilaporkan di AS. Pada publikasi ini, dijelaskan mengenai gejala infeksi, jenis kelamin, dan rata-rata umur dari pasien. Dengan terapi yang ada, ternyata pasien infeksi antraks lebih memiliki kemungkinan yang besar untuk bertahan hidup.
Pada September 2001, surat-surat yang mengandung kuman antraks dikirimkan melalui kantor pos AS. Surat-surat tersebut dikirim secara sengaja kepada tokoh-tokoh penting di AS, seperti anggota senat dan para pengambil kebijakan lainnya.
Kuman antraks dari surat-surat tersebut diketahui telah mencemari fasilitas publik, dan negara bagian New Jersey telah memublikasi hasil investigasi epidemiologis mereka akan hal itu. Dalam publikasi tersebut di sini, mereka mengembangkan sistem informasi geografis (GIS) untuk mengembangkan daya dukung komputasi dalam rangka investigasi masalah bioterorisme.
Jangan panik dan terpengaruh isu
Contoh yang kami sajikan di atas berdasarkan publikasi ilmiah, yang tentu diverifikasi secara faktual, dan bukan berdasarkan spekulasi politis.
Berhubung bioterorisme sangat erat kaitannya dengan kebijakan publik, maka seyogianya hal ini diserahkan saja kepada pemerintah, dalam hal ini otoritas penegak hukum, untuk menentukan tingkat ancaman bioterorisme.
Mengembangkan wacana bioterorisme untuk membingungkan masyarakat sangatlah tidak bijak karena berpotensi menimbulkan kepanikan. Jika pemerintah tidak mengumumkan terjadinya ancaman bioterorisme, maka seyogianya dipercaya bahwa memang hal itu tidak terjadi.
*Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumnius program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Managing Editor Netsains.net; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di Twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di Facebook, dan www.gplus.to/arli di google+.
● Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.