Kisah Penjaga Angkasa Indonesia
Jakarta - Kegalauan khas anak muda menerpa Wanda Surijohansyah, 33 tahun, ketika itu. Dia sempat diliputi keragu-raguan akan melangkah ke mana setelah tamat SMA. Suatu malam, dia sujud menunaikan salat istikharah agar diberi kemantapan hati.
“Habis salat saya mimpi menerbangkan pesawat di Yogya, tapi saya enggak ada daftar ke (sekolah penerbangan) manapun,” kata dia saat berbicang dengan detikcom menceritakan masa remajanya di Terminal Haji Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Sabtu pekan lalu.
Wanda sempat bimbang, sebab tak pernah ada dalam cita-citanya untuk menjadi penerbang. Maka ia tetap memilih ikut UMPTN dan diterima di Jurusan Planologi ITB. Sepekan setelah dinyatakan lulus PTN, seorang temannya tiba-tiba mengajak masuk ke Akabri. Wanda pun pindah haluan, lalu memutuskan ikut tes.
“Dulu maunya jadi Angkatan Darat, tapi teman sekelas saya bilang jadi penerbang tempur saja, hingga sekarang. Saya masuk Akabri karena mimpi itu, di situlah saya baru pertama kali membuktikan bahwa istikharah itu terbukti,” tuturnya.
Karir Wanda pun terbilang mulus dan kini sudah berpangkat mayor penerbang dengan jumlah total jam terbang 1.800 jam dari tujuh jenis pesawat tempur dan tiga pesawat propeller.
Sepuluh tahun lalu ia ditempatkan di Skuadron I di Pontianak, lalu pindah ke Skuadron XI di Lanud Sultan Hasanuddin di Makassar sejak 2009. Sebelum pindah satuan, ia sempat disekolahkan dulu di Rusia selama dua bulan.
Pada 2010 ia dipercaya jadi instruktur dan mengajar di Sekolah Penerbangan di Yogyakarta selama setahun. Setelah punya basic mengajar ia kembali menimba ilmu jadi instruktur Sukhoi ke Rusia.
“Semua penerbang tempur itu harus jadi instruktur di pesawat Charlie, Bravo dan lain-lain dulu untuk bisa jadi instruktur di pesawat masing-masing,” kata dia.
Selama karirnya Wanda telah mengoperasikan berbagai jenis pesawat. Untuk kategori pesawat tempur ia pernah menerbangkan Hawk 100, Hawk 200, Sukhoi 27 SKM, Sukhoi 30 MK, Sukhoi 30 MK 2, Sukhoi 27 UBK, Sukhoi 27 SK. Sedangkan kategori pesawat propeller antara lain AS-202 Bravo, T-34 Charlie, dan KT-1 Bravo.
Pengalaman dua kali belajar ke negara produsen Sukhoi rupanya meninggalkan kesan tersendiri bagi Wanda. Pria asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, ini mengaku pilot dalam negeri juga luar biasa dan tak kalah saat dibandingkan dengan pilot Sukhoi di negeri Beruang Merah itu.
“Kalau bicara jam terbang, kalah loh jam terbang yang lain. Saya pernah kasih tahu kepada penerbang lain, mereka heran karena jam terbang kita jauh lebih banyak. Dari sisi manuver Indonesia juga jauh lebih hebat,” kata dia.
Hanya saja, memang kelemahan tim penerbang Indonesia, menurut Wanda, adalah tidak didukung dengan perlengkapan yang lengkap. “Ternyata Indonesia itu luar biasa, dibandngkan dengan rata-rata pilot di luar negeri, kita termasuk bagus, untuk tingkat Asia menanglah kita.”
Lompatan dari seorang penerbang pesawat propeller saat di sekolah penerbang, lalu jadi penerbang pesawat Hawk dan terakhir Sukhoi, rupanya menciptakan perubahan bagi Wanda.
Ayah dua anak ini mengaku tuntutan untuk pengoperasian pesawat tempur yang mempunyai kecepatan tinggi itu juga mempengaruhi cara berpikirnya.
“Kalau dulu di pesawat propeller, lalu tiba-tiba di jet yang hanya 1:20, sekarang ini jadi 1:100 lebih cepat, kecepatan berpikir dan mengambil suatu tindakan itu berarti beberapa kali lebih cepat, karena sudah terlatih, tapi bukan berarti asal-asalan,” kata dia membeberkan.
Seorang penerbang apalagi pesawat tempur, ujar Wanda, memang dituntut mampu bertindak cepat mengambil keputusan. Sebab segala sesuatu hal bisa terjadi hanya dalam hitungan sepersekian detik.
“Waktu di taruna, di meja makan ada senior, begitu kita duduk langsung di cek nama ini siapa, itu siapa, dan pada tekanan seperti itu kita dilatih untuk bisa jawab pertanyaan,” ungkap dia.
Model latihan demikian juga dilakukan saat masuk ke kokpit pesawat. “Kita lagi terbang, dikasih waktu berapa detik dan dikasih pertanyaan, kita harus bisa memutuskan.”
Letnan Kolonel Penerbang Setiawan, Komandan Skuadron III Lanud Iswahyudi, Madiun, markas pesawat tempur F-16, memberikan pernyataan senada. Rasa panik bisa saja muncul manakala saat terbang ada terjadi hal yang tidak diinginkan.
Karena itu, dalam mengajar para pilot pemula, Setiawan mengaku selalu mengindoktrinasi tentang perlunya mengutamakan keamanan dan perilaku untuk selalu crosscek.
“Kalau saya boleh menyitir kalimatnya Pangkops 1, terbang itu cuma ada dua, cross check. Kalau bisa cepat, tepat dan sesuai waktunya ya enggak masalah, tapi kalau cross check-nya lambat ya mungkin akan di tempat yang lain,” ujar dia.
Jatuh saat bertugas pun kerap jadi momok menakutkan. Karena itu, secara pribadi, ayah Raffi Ahmad, 7 tahun, ini mengatakan selalu mempersiapkan segala sesuatunya satu atau dua hari sebelum terbang sehingga bisa selalu bergerak cepat.
“Jadi secara motorik akan muncul dengan sendirinya apa yang harus saya lakukan, di samping memang kita harus kuasai sistem pesawat sendiri in case ada susuatu terjadi kita bisa atasi.”
Seorang pilot pesawat tempur memang harus terbiasa memutuskan sesuatu dengan cepat tapi tidak semberono dan terukur. Walau begitu dia menampik jika satuannya disebut sebagai orang hebat.
“Sekali lagi kami bukan manusia hebat atau super, hebat itu karena dilatih bukan berarti harus orang hebat dulu baru bisa jadi pilot. Siapapun bisa, bahkan Mbak juga bisa jadi pilot,” kata dia sembari menunjukkan ke detikcom.
Meski terkesan bahwa tuntutan kemampuan pilot pesawat tempur sangatlah di atas rata-rata, Wanda berujar sebenarnya hal itu bisa dilatih namun diimbangi dengan ketekunan belajar.
“Itu dilatih, memang awalnya susah, tapi karena terbiasa ya bisa, terbang sendiri pun kita bisa mengambil keputusan. Lagipula tingkat mental kita terbentuk karena pengalaman bukan karena kita hebat,” kata dia.
Dia menjelaskan, ketika menerbangkan pesawat tempur yang paling diperlukan adalah kemampuan tetap tenang meski dalam tekanan. Banyak orang yang memang terlanjur sangat excited dan deg-degan.
“Sekarang gimana caranya kita bisa menekan daya excited itu, sebenarya (menerbangkan pesawat) itu gampang, tapi karena deg-degan akhirnya itu jadi menutupi kemampuan kita. Kan ada teorinya sehebat apapun kalau misalnya dalam keadaan tertekan ya bisa lupa.”(brn/brn)
Jakarta - Kegalauan khas anak muda menerpa Wanda Surijohansyah, 33 tahun, ketika itu. Dia sempat diliputi keragu-raguan akan melangkah ke mana setelah tamat SMA. Suatu malam, dia sujud menunaikan salat istikharah agar diberi kemantapan hati.
“Habis salat saya mimpi menerbangkan pesawat di Yogya, tapi saya enggak ada daftar ke (sekolah penerbangan) manapun,” kata dia saat berbicang dengan detikcom menceritakan masa remajanya di Terminal Haji Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Sabtu pekan lalu.
Wanda sempat bimbang, sebab tak pernah ada dalam cita-citanya untuk menjadi penerbang. Maka ia tetap memilih ikut UMPTN dan diterima di Jurusan Planologi ITB. Sepekan setelah dinyatakan lulus PTN, seorang temannya tiba-tiba mengajak masuk ke Akabri. Wanda pun pindah haluan, lalu memutuskan ikut tes.
“Dulu maunya jadi Angkatan Darat, tapi teman sekelas saya bilang jadi penerbang tempur saja, hingga sekarang. Saya masuk Akabri karena mimpi itu, di situlah saya baru pertama kali membuktikan bahwa istikharah itu terbukti,” tuturnya.
Karir Wanda pun terbilang mulus dan kini sudah berpangkat mayor penerbang dengan jumlah total jam terbang 1.800 jam dari tujuh jenis pesawat tempur dan tiga pesawat propeller.
Sepuluh tahun lalu ia ditempatkan di Skuadron I di Pontianak, lalu pindah ke Skuadron XI di Lanud Sultan Hasanuddin di Makassar sejak 2009. Sebelum pindah satuan, ia sempat disekolahkan dulu di Rusia selama dua bulan.
Pada 2010 ia dipercaya jadi instruktur dan mengajar di Sekolah Penerbangan di Yogyakarta selama setahun. Setelah punya basic mengajar ia kembali menimba ilmu jadi instruktur Sukhoi ke Rusia.
“Semua penerbang tempur itu harus jadi instruktur di pesawat Charlie, Bravo dan lain-lain dulu untuk bisa jadi instruktur di pesawat masing-masing,” kata dia.
Selama karirnya Wanda telah mengoperasikan berbagai jenis pesawat. Untuk kategori pesawat tempur ia pernah menerbangkan Hawk 100, Hawk 200, Sukhoi 27 SKM, Sukhoi 30 MK, Sukhoi 30 MK 2, Sukhoi 27 UBK, Sukhoi 27 SK. Sedangkan kategori pesawat propeller antara lain AS-202 Bravo, T-34 Charlie, dan KT-1 Bravo.
Pengalaman dua kali belajar ke negara produsen Sukhoi rupanya meninggalkan kesan tersendiri bagi Wanda. Pria asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, ini mengaku pilot dalam negeri juga luar biasa dan tak kalah saat dibandingkan dengan pilot Sukhoi di negeri Beruang Merah itu.
“Kalau bicara jam terbang, kalah loh jam terbang yang lain. Saya pernah kasih tahu kepada penerbang lain, mereka heran karena jam terbang kita jauh lebih banyak. Dari sisi manuver Indonesia juga jauh lebih hebat,” kata dia.
Hanya saja, memang kelemahan tim penerbang Indonesia, menurut Wanda, adalah tidak didukung dengan perlengkapan yang lengkap. “Ternyata Indonesia itu luar biasa, dibandngkan dengan rata-rata pilot di luar negeri, kita termasuk bagus, untuk tingkat Asia menanglah kita.”
Lompatan dari seorang penerbang pesawat propeller saat di sekolah penerbang, lalu jadi penerbang pesawat Hawk dan terakhir Sukhoi, rupanya menciptakan perubahan bagi Wanda.
Ayah dua anak ini mengaku tuntutan untuk pengoperasian pesawat tempur yang mempunyai kecepatan tinggi itu juga mempengaruhi cara berpikirnya.
“Kalau dulu di pesawat propeller, lalu tiba-tiba di jet yang hanya 1:20, sekarang ini jadi 1:100 lebih cepat, kecepatan berpikir dan mengambil suatu tindakan itu berarti beberapa kali lebih cepat, karena sudah terlatih, tapi bukan berarti asal-asalan,” kata dia membeberkan.
Seorang penerbang apalagi pesawat tempur, ujar Wanda, memang dituntut mampu bertindak cepat mengambil keputusan. Sebab segala sesuatu hal bisa terjadi hanya dalam hitungan sepersekian detik.
“Waktu di taruna, di meja makan ada senior, begitu kita duduk langsung di cek nama ini siapa, itu siapa, dan pada tekanan seperti itu kita dilatih untuk bisa jawab pertanyaan,” ungkap dia.
Model latihan demikian juga dilakukan saat masuk ke kokpit pesawat. “Kita lagi terbang, dikasih waktu berapa detik dan dikasih pertanyaan, kita harus bisa memutuskan.”
Letnan Kolonel Penerbang Setiawan, Komandan Skuadron III Lanud Iswahyudi, Madiun, markas pesawat tempur F-16, memberikan pernyataan senada. Rasa panik bisa saja muncul manakala saat terbang ada terjadi hal yang tidak diinginkan.
Karena itu, dalam mengajar para pilot pemula, Setiawan mengaku selalu mengindoktrinasi tentang perlunya mengutamakan keamanan dan perilaku untuk selalu crosscek.
“Kalau saya boleh menyitir kalimatnya Pangkops 1, terbang itu cuma ada dua, cross check. Kalau bisa cepat, tepat dan sesuai waktunya ya enggak masalah, tapi kalau cross check-nya lambat ya mungkin akan di tempat yang lain,” ujar dia.
Jatuh saat bertugas pun kerap jadi momok menakutkan. Karena itu, secara pribadi, ayah Raffi Ahmad, 7 tahun, ini mengatakan selalu mempersiapkan segala sesuatunya satu atau dua hari sebelum terbang sehingga bisa selalu bergerak cepat.
“Jadi secara motorik akan muncul dengan sendirinya apa yang harus saya lakukan, di samping memang kita harus kuasai sistem pesawat sendiri in case ada susuatu terjadi kita bisa atasi.”
Seorang pilot pesawat tempur memang harus terbiasa memutuskan sesuatu dengan cepat tapi tidak semberono dan terukur. Walau begitu dia menampik jika satuannya disebut sebagai orang hebat.
“Sekali lagi kami bukan manusia hebat atau super, hebat itu karena dilatih bukan berarti harus orang hebat dulu baru bisa jadi pilot. Siapapun bisa, bahkan Mbak juga bisa jadi pilot,” kata dia sembari menunjukkan ke detikcom.
Meski terkesan bahwa tuntutan kemampuan pilot pesawat tempur sangatlah di atas rata-rata, Wanda berujar sebenarnya hal itu bisa dilatih namun diimbangi dengan ketekunan belajar.
“Itu dilatih, memang awalnya susah, tapi karena terbiasa ya bisa, terbang sendiri pun kita bisa mengambil keputusan. Lagipula tingkat mental kita terbentuk karena pengalaman bukan karena kita hebat,” kata dia.
Dia menjelaskan, ketika menerbangkan pesawat tempur yang paling diperlukan adalah kemampuan tetap tenang meski dalam tekanan. Banyak orang yang memang terlanjur sangat excited dan deg-degan.
“Sekarang gimana caranya kita bisa menekan daya excited itu, sebenarya (menerbangkan pesawat) itu gampang, tapi karena deg-degan akhirnya itu jadi menutupi kemampuan kita. Kan ada teorinya sehebat apapun kalau misalnya dalam keadaan tertekan ya bisa lupa.”(brn/brn)
● detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.