Bandung, 24 Maret 1946. Udara dingin malam itu tak menyurutkan semangat dua orang pemuda Republik untuk menguji nyali mereka: membumihanguskan kota tercinta. Berbekal granat tangan, mereka bermaksud meledakkan 1.100 ton bubuk mesiu di gudang persenjataan milik Jepang di daerah Dayeuh Kolot, Bandung selatan. Dua pemuda itulah yang kemudian diabadikan sejarah dengan nama Muhamad Toha dan Muhamad Ramdan.
Pada hari itu Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) telah memutuskan Kota Bandung akan dibumihanguskan supaya tentara sekutu tidak bisa memanfaatkan fasilitas kota yang ditinggalkan warga dan tentara Republik. Keputusan musyawarah tersebut diumumkan oleh Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Panglima Divisi III/ Priangan. Beliau juga meminta sekitar 200 ribu warga Bandung ketika itu untuk meninggalkan kota. Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan diutus untuk melaksanakan tugas heroik itu.
Sebelumnya pada 21 November 1945, tentara sekutu menyampaikan ultimatum pertama agar Bandung utara dikosongkan oleh Indonesia selambat-lambatnya pada 29 November 1945.
Ancaman itu membuat pejuang Republik geram. Sejak itu sering terjadi insiden baku tembak antara pasukan sekutu dan pejuang Republik. Karena kalah persenjataan, tentara republik akhirnya tidak berhasil mempertahankan Bandung utara. Hingga pada 23 Maret 1946, dua hari sebelum peristiwa Bandung Lautan Api, tentara sekutu menyampaikan ultimatum kedua dengan menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan Bandung selatan.
Pada saat itu Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin mendatangi Bandung dan memerintahkan TRI untuk mengosongkan kota. Meski dengan berat hati perintah itu dipatuhi. Namun sebelum meninggalkan Bandung, TRI melancarkan serangan ke pos-pos tentara sekutu.
Di tengah pertempuran hebat pejuang Republik melawan tentara sekutu itulah sosok pemuda 19 tahun, Mohammad Toha dan teman seperjuangannya Mohammad Ramdan berhasil menjalankan misi meledakkan gudang mesiu sehingga menjadikan kota Bandung diselimuti api berkobar. Peristiwa itu disebut Bandung Lautan Api. Keduanya rela mengorbankan nyawa ikut gugur dalam ledakan dahsyat itu.
Seperti apakah sosok Muhammad Toha?
Dilahirkan di Jalan Banceuy, Kota Bandung, pada 1927, Toha tumbuh menjadi anak yatim karena ayahnya, Suganda meninggal dunia. Ibunya, Nariah, kemudian menikah lagi dengan Sugandi, adik ayah Toha. Namun pernikahan itu berakhir cerai. Toha akhirnya diasuh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Jahiri dan Oneng.
Toha masuk Sekolah Rakyat pada usia tujuh tahun hingga kelas 4. Ketika Perang Dunia Kedua pecah, sekolah Toha terpaksa terhenti.
Saat Jepang menjajah, Toha bergabung menjadi anggota pasukan Seinendan. Dia juga sempat bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga dia mampu berbincang dalam bahasa Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Toha kemudian bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakyat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri. BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam laskar ini Toha menjadi Komandan Seksi I Bagian Penggempur.
Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Toha, dan Rachmat Sulaeman, tetangga Toha, dan juga komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki disiplin yang kuat serta disukai oleh teman-temannya. Pada saat itu orang-orang menggambarkan Toha sebagai pemuda pemberani dengan muka lonjong, perawakan sekitar 165 sentimeter dan sorot matanya tajam.
Keberanian dan kerelaan berkorban kedua pemuda belia namun pemberani itu hingga kini dikenang menjadi dua nama jalan di Kota Bandung.(mdk/tts)
Pada hari itu Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) telah memutuskan Kota Bandung akan dibumihanguskan supaya tentara sekutu tidak bisa memanfaatkan fasilitas kota yang ditinggalkan warga dan tentara Republik. Keputusan musyawarah tersebut diumumkan oleh Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Panglima Divisi III/ Priangan. Beliau juga meminta sekitar 200 ribu warga Bandung ketika itu untuk meninggalkan kota. Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan diutus untuk melaksanakan tugas heroik itu.
Sebelumnya pada 21 November 1945, tentara sekutu menyampaikan ultimatum pertama agar Bandung utara dikosongkan oleh Indonesia selambat-lambatnya pada 29 November 1945.
Ancaman itu membuat pejuang Republik geram. Sejak itu sering terjadi insiden baku tembak antara pasukan sekutu dan pejuang Republik. Karena kalah persenjataan, tentara republik akhirnya tidak berhasil mempertahankan Bandung utara. Hingga pada 23 Maret 1946, dua hari sebelum peristiwa Bandung Lautan Api, tentara sekutu menyampaikan ultimatum kedua dengan menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan Bandung selatan.
Pada saat itu Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin mendatangi Bandung dan memerintahkan TRI untuk mengosongkan kota. Meski dengan berat hati perintah itu dipatuhi. Namun sebelum meninggalkan Bandung, TRI melancarkan serangan ke pos-pos tentara sekutu.
Di tengah pertempuran hebat pejuang Republik melawan tentara sekutu itulah sosok pemuda 19 tahun, Mohammad Toha dan teman seperjuangannya Mohammad Ramdan berhasil menjalankan misi meledakkan gudang mesiu sehingga menjadikan kota Bandung diselimuti api berkobar. Peristiwa itu disebut Bandung Lautan Api. Keduanya rela mengorbankan nyawa ikut gugur dalam ledakan dahsyat itu.
Seperti apakah sosok Muhammad Toha?
Dilahirkan di Jalan Banceuy, Kota Bandung, pada 1927, Toha tumbuh menjadi anak yatim karena ayahnya, Suganda meninggal dunia. Ibunya, Nariah, kemudian menikah lagi dengan Sugandi, adik ayah Toha. Namun pernikahan itu berakhir cerai. Toha akhirnya diasuh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Jahiri dan Oneng.
Toha masuk Sekolah Rakyat pada usia tujuh tahun hingga kelas 4. Ketika Perang Dunia Kedua pecah, sekolah Toha terpaksa terhenti.
Saat Jepang menjajah, Toha bergabung menjadi anggota pasukan Seinendan. Dia juga sempat bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga dia mampu berbincang dalam bahasa Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Toha kemudian bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakyat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri. BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam laskar ini Toha menjadi Komandan Seksi I Bagian Penggempur.
Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Toha, dan Rachmat Sulaeman, tetangga Toha, dan juga komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki disiplin yang kuat serta disukai oleh teman-temannya. Pada saat itu orang-orang menggambarkan Toha sebagai pemuda pemberani dengan muka lonjong, perawakan sekitar 165 sentimeter dan sorot matanya tajam.
Keberanian dan kerelaan berkorban kedua pemuda belia namun pemberani itu hingga kini dikenang menjadi dua nama jalan di Kota Bandung.(mdk/tts)
● Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.