Anoa Pindad [def.pk]
Berawal dari pembuatan senjata dan amunisi, Pindad kini sudah berkembang menjadi perusahaan besar yang dipercaya untuk memproduksi kendaraan perang.
Salah satu produk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu yang sempat menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia adalah Anoa. Kendaraan panser amfibi ini adalah hasil pengembangan Pindad yang dilakukan sejak 1993 silam.
Dari data yang ada di laman resmi Pindad, jumlah Anoa yang berhasil dijual hingga saat ini adalah 260 unit, dengan berbagai model serta spesifikasi. Untuk membuat Anoa, Pindad menggandeng Renault sebagai pemasok mesin dan transmisinya.
Renault bukan satu-satunya perusahaan luar yang bekerja sama dengan Pindad. Baru-baru ini, Direktur Umum Pindad, Abraham Mose, meneken nota kesepahaman dengan Tata Motors, pada November tahun lalu.
Tak tanggung-tanggung, kolaborasi ini langsung membidik sasaran besar. Rencananya, Pindad akan menjadi basis produksi untuk kendaraan tempur, dengan skala ekspor. Untuk awalnya, kolaborasi ini akan fokus pada menciptakan kendaraan perang jenis amfibi.
Abraham mengatakan, ada tiga pertimbangan utama yang membuat Pindad tertarik berkolaborasi dengan Tata Motors.
“Yang paling spesifik karena Tata Motors punya satu sasis yang bisa digunakan untuk berbagai macam kendaraan. Kedua, mereka mau berinvestasi. Dan ketiga, mau melakukan pengembangan bersama,” kata Abraham.
Kerja sama ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Salah satunya yakni Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta. Ia menuturkan, kolaborasi dengan Tata perlu dilakukan, jika Pindad ingin sukses merambah pasar dunia.
“Kalau mau besar, ya harus berani kerja sama strategis dengan pemain dunia. India, menurut Global Fire Power, berada pada posisi keempat kekuatan militer terbesar di dunia. Tata Motors telah memiliki pengalaman dalam memproduksi kendaraan militer,” ungkapnya.
Melalui kerja sama itu, Sukamta berharap adanya transfer teknologi. Sehingga, Pindad dapat menguasai semua hal yang dibutuhkan oleh negara-negara penggunanya.
“Selain itu, kami harapkan dengan kerja sama ini, Indonesia bisa memperluas pasar alutsista buatan dalam negerinya,” tuturnya.
Bisnis Alutsista
Perusahaan milik negara yang bergerak dalam bidang industri strategis tidak hanya Pindad. Ada PT Dirgantara Indonesia (DI) yang merakit pesawat dan helikopter dan PT PAL Indonesia yang melayani pembuatan kapal perang.
Selain itu, ada juga PT Dahana sebagai penyedia bahan peledak dan PT INTI serta PT LEN yang bergerak dalam bidang elektronika. Menurut data yang ada di Kementerian BUMN, nilai ekspor alutsista yang didapat dari PAL Indonesia tahun lalu yakni Rp 524 miliar. Angka itu didapat dari penjualan kapal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) sebanyak satu unit.
Pembelinya adalah angkatan bersenjata Filipina. Secara total, Filipina memesan sebanyak dua kapal, dengan nilai penjualan lebih dari Rp 1 triliun.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengatakan salah satu nilai tambah dari SSV yang dijual PT PAL adalah materialnya.
“Bajanya seratus persen Indonesia, dari PT Krakatau Steel,” ujarnya.
Sementara itu, PT DI dikabarkan akan menutup 2016 dengan total penjualan senilai Rp 1,1 triliun. Angka itu berasal dari penjualan pesawat ke Thailand, Korea Selatan dan Senegal, serta penjualan komponen pesawat ke beberapa negara lainnya.
Sayangnya, disebutkan oleh Fajar, penjualan itu adalah dalam bentuk pesawat biasa, bukan untuk kepentingan militer. Sejauh ini, PT DI baru menjual alutsista berupa helikopter ke tiga matra di TNI.
Jika ditotal, nilai penjualan alutsista dari semua industri strategis BUMN diprediksi mencapai Rp 1,8 triliun. Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp 1,2 triliun.
Meski demikian, bila dibandingkan dengan nilai ekspor nonmigas sepanjang 2016, angka itu masih sangat kecil. Dilansir dari Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas 2016 mencapai US$ 144,43 miliar.
Kecilnya angka ekspor alutsista itu juga diakui oleh Fajar. Ia menuturkan, nilai ekspor yang didapat PT Pindad saat masih sangat rendah. “Masih kurang dari 15 persen dari total penjualan Pindad,” ungkapnya.
Persoalan seretnya penjualan alutsista ke luar negeri mendapat perhatian dari pengamat militer Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro. Ia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah masalah kerja sama dengan pihak lain.
Ia mencontohkan, pada 2012 ada kesepakatan antara PAL Indonesia dengan Korea Selatan untuk membuat kapal selam di Indonesia. Sebanyak tiga unit.
Unit pertama akan dibuat di Korea Selatan, unit kedua dikerjakan bersama-sama dan unit ketiga digarap di Surabaya. “Namun ketika dilakukan assesment, PAL Surabaya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, tidak memenuhi syarat dan seterusnya,” jelasnya.
Hal yang tidak jauh berbeda, diungkapkannya, juga terjadi saat kerja sama pembuatan peluru kendali dengan China. “Sampai sekarang macet dan tidak jalan. Karena China sudah menuntut, nanti kalau sudah jadi, kita (Indonesia) diminta ikut bantu jualan,” tuturnya.
Terkait kerja sama Pindad dengan Tata Motors, Kusnanto mewanti-wanti agar perjanjiannya diperjelas. Salah satunya berkaitan dengan transfer teknologi.
Menurutnya, transfer teknologi itu bukan hanya sekedar tenaga ahli Indonesia yang hanya dilatih dan dididik. Tetapi juga berapa banyak komponen lokal yang akan digunakan.
“Karena dalam banyak kasus, kita kerja sama dengan suatu negara, tapi kita hanya dipakai sebagai batu loncatan untuk menjual saja. Pada akhirnya, hanya profit sharing saja,” ujarnya.
Berawal dari pembuatan senjata dan amunisi, Pindad kini sudah berkembang menjadi perusahaan besar yang dipercaya untuk memproduksi kendaraan perang.
Salah satu produk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu yang sempat menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia adalah Anoa. Kendaraan panser amfibi ini adalah hasil pengembangan Pindad yang dilakukan sejak 1993 silam.
Dari data yang ada di laman resmi Pindad, jumlah Anoa yang berhasil dijual hingga saat ini adalah 260 unit, dengan berbagai model serta spesifikasi. Untuk membuat Anoa, Pindad menggandeng Renault sebagai pemasok mesin dan transmisinya.
Renault bukan satu-satunya perusahaan luar yang bekerja sama dengan Pindad. Baru-baru ini, Direktur Umum Pindad, Abraham Mose, meneken nota kesepahaman dengan Tata Motors, pada November tahun lalu.
Tak tanggung-tanggung, kolaborasi ini langsung membidik sasaran besar. Rencananya, Pindad akan menjadi basis produksi untuk kendaraan tempur, dengan skala ekspor. Untuk awalnya, kolaborasi ini akan fokus pada menciptakan kendaraan perang jenis amfibi.
Abraham mengatakan, ada tiga pertimbangan utama yang membuat Pindad tertarik berkolaborasi dengan Tata Motors.
“Yang paling spesifik karena Tata Motors punya satu sasis yang bisa digunakan untuk berbagai macam kendaraan. Kedua, mereka mau berinvestasi. Dan ketiga, mau melakukan pengembangan bersama,” kata Abraham.
Kerja sama ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Salah satunya yakni Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta. Ia menuturkan, kolaborasi dengan Tata perlu dilakukan, jika Pindad ingin sukses merambah pasar dunia.
“Kalau mau besar, ya harus berani kerja sama strategis dengan pemain dunia. India, menurut Global Fire Power, berada pada posisi keempat kekuatan militer terbesar di dunia. Tata Motors telah memiliki pengalaman dalam memproduksi kendaraan militer,” ungkapnya.
Melalui kerja sama itu, Sukamta berharap adanya transfer teknologi. Sehingga, Pindad dapat menguasai semua hal yang dibutuhkan oleh negara-negara penggunanya.
“Selain itu, kami harapkan dengan kerja sama ini, Indonesia bisa memperluas pasar alutsista buatan dalam negerinya,” tuturnya.
Bisnis Alutsista
Perusahaan milik negara yang bergerak dalam bidang industri strategis tidak hanya Pindad. Ada PT Dirgantara Indonesia (DI) yang merakit pesawat dan helikopter dan PT PAL Indonesia yang melayani pembuatan kapal perang.
Selain itu, ada juga PT Dahana sebagai penyedia bahan peledak dan PT INTI serta PT LEN yang bergerak dalam bidang elektronika. Menurut data yang ada di Kementerian BUMN, nilai ekspor alutsista yang didapat dari PAL Indonesia tahun lalu yakni Rp 524 miliar. Angka itu didapat dari penjualan kapal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) sebanyak satu unit.
Pembelinya adalah angkatan bersenjata Filipina. Secara total, Filipina memesan sebanyak dua kapal, dengan nilai penjualan lebih dari Rp 1 triliun.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengatakan salah satu nilai tambah dari SSV yang dijual PT PAL adalah materialnya.
“Bajanya seratus persen Indonesia, dari PT Krakatau Steel,” ujarnya.
Sementara itu, PT DI dikabarkan akan menutup 2016 dengan total penjualan senilai Rp 1,1 triliun. Angka itu berasal dari penjualan pesawat ke Thailand, Korea Selatan dan Senegal, serta penjualan komponen pesawat ke beberapa negara lainnya.
Sayangnya, disebutkan oleh Fajar, penjualan itu adalah dalam bentuk pesawat biasa, bukan untuk kepentingan militer. Sejauh ini, PT DI baru menjual alutsista berupa helikopter ke tiga matra di TNI.
Jika ditotal, nilai penjualan alutsista dari semua industri strategis BUMN diprediksi mencapai Rp 1,8 triliun. Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp 1,2 triliun.
Meski demikian, bila dibandingkan dengan nilai ekspor nonmigas sepanjang 2016, angka itu masih sangat kecil. Dilansir dari Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas 2016 mencapai US$ 144,43 miliar.
Kecilnya angka ekspor alutsista itu juga diakui oleh Fajar. Ia menuturkan, nilai ekspor yang didapat PT Pindad saat masih sangat rendah. “Masih kurang dari 15 persen dari total penjualan Pindad,” ungkapnya.
Persoalan seretnya penjualan alutsista ke luar negeri mendapat perhatian dari pengamat militer Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro. Ia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah masalah kerja sama dengan pihak lain.
Ia mencontohkan, pada 2012 ada kesepakatan antara PAL Indonesia dengan Korea Selatan untuk membuat kapal selam di Indonesia. Sebanyak tiga unit.
Unit pertama akan dibuat di Korea Selatan, unit kedua dikerjakan bersama-sama dan unit ketiga digarap di Surabaya. “Namun ketika dilakukan assesment, PAL Surabaya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, tidak memenuhi syarat dan seterusnya,” jelasnya.
Hal yang tidak jauh berbeda, diungkapkannya, juga terjadi saat kerja sama pembuatan peluru kendali dengan China. “Sampai sekarang macet dan tidak jalan. Karena China sudah menuntut, nanti kalau sudah jadi, kita (Indonesia) diminta ikut bantu jualan,” tuturnya.
Terkait kerja sama Pindad dengan Tata Motors, Kusnanto mewanti-wanti agar perjanjiannya diperjelas. Salah satunya berkaitan dengan transfer teknologi.
Menurutnya, transfer teknologi itu bukan hanya sekedar tenaga ahli Indonesia yang hanya dilatih dan dididik. Tetapi juga berapa banyak komponen lokal yang akan digunakan.
“Karena dalam banyak kasus, kita kerja sama dengan suatu negara, tapi kita hanya dipakai sebagai batu loncatan untuk menjual saja. Pada akhirnya, hanya profit sharing saja,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.