The Outlaw |
KISAH “THE BLACK SPEED-BOAT”
Ⓢetelah
menerima peralihan kendali keamanan di Indonesia dari Inggris (atas
nama Sekutu) di tahun 1946, Pemerintah Sipil Hindia-Belanda atau NICA (Netherland Indie Civil Administration)
segera mengambil langkah-langkah untuk memperkuat pemulihan kembali
Kolonial Hindia-Belanda dan melenyapkan Republik Indonesia. Situasi
penuh patriotisme dan anti Belanda memang kental mewarnai sebagian
wilayah Indonesia, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi,
setelah berkumandang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945. Bermodal senjata-senjata eks-Jepang, para pejuang kemerdekaan
secara heroik menyerang, menyergap dan bertahan menghadapi kekuatan
bersenjata Belanda. Perlawanan tersebut, mendorong Belanda untuk
menerapkan blokade udara dan laut secara total di seluruh wilayah yang
bergolak. Tujuannya, tentu saja, untuk melemahkan kekuatan bersenjata
pejuang Indonesia sekaligus memutus hubungan diplomatis dengan
luar-negeri.
Menghadapi
tekanan yang demikian, pihak pejuang Indonesia kemudian menempuh
berbagai cara untuk dapat menembus blokade Belanda. Upaya tersebut
ditempuh, karena mengingat kondisi persenjataan eks-Jepang yang kian
menyusut akibat banyak yang hilang, dirampas Belanda atau rusak, yang
diperparah kian menipisnya amunisi dan suku-cadang yang sesuai dengan
senjata eks-Jepang. Sementara itu, mendapatkan senjata dari pihak
Belanda, baik melalui pencurian maupun merampas dari personil Belanda
yang tersergap, jelas tidak maksimal. Padahal persenjataan merupakan
modal utama untuk mempertahankan kemerdekaan negeri yang masih berusia
“balita” ini. Oleh sebab itu, alternatif mendapatkan senjata dari
luar-negeri merupakan solusi yang paling tepat. Pertimbangannya, pasca
Perang Dunia Kedua lazim diketahui banyaknya senjata yang berserakan
tanpa tuan, terutama di daerah-daerah yang menjadi lokasi pertempuran
atau pertahanan pihak Jepang. Banyak senjata-senjata “tak bertuan”
tersebut yang beredar di pasar gelap atau masih tersimpan rapi di
bunker-bunker dan gudang senjata. Sekutu, si pemenang perang, tidak
memiliki cukup sumber daya untuk menangani masalah senjata-senjata
peninggalan perang tersebut.
Salah
satu elemen pejuang kemerdekaan Indonesia yang berupaya menembus
blokade Belanda demi mendapatkan suplai senjata dari luar-negeri, adalah
unit-unit kapal cepat Angkatan Laoet Repoeblik Indonesia (ALRI).
Sementara itu untuk memperlancar pengurusan adminstratif kebutuhan
Indonesia sekaligus sebagai mediator transaksi pembelian persenjataan
dan perlengkapan militer, maka di beberapa negara sahabat dibentuk
Perwakilan Loear Negeri RI dan Perwakilan Kementrian Pertahanan RI
Oeroesan Loear Negeri (KPOLN). Salah seorang pejuang ALRI yang berjasa
dalam berbagai kegiatan operasi penembusan blokade laut dan suplay
senjata dari luar-negeri ke Indonesia, adalah Mayor John Lie, yang
memimpin kapal cepat (speed-boat) bernama “The Outlaw”.
- Mission Impossible “The Outlaw”
John Lie, pelaut keturunan Tionghoa kelahiran Manado 9 Maret 1911, sebelum bergabung dengan ALRI adalah mantan awak kapal niaga KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij/ Maskapai Pelayaran Niaga Kolonial Hindia-Belanda) bernama “MV Tosari”. Ketika pecah Perang Dunia Kedua, kapal yang penuh muatan karet dan sarat pengungsi tersebut dilarikan ke Pangkalan Sekutu di Khoramshar, Iran, atas perintah Sekutu. Selama di Iran, John Lie mendapat pelatihan dasar kemiliteran, manuver perang laut, identifikasi jenis kapal perang dan penanganan bahaya ranjau laut. Selama bertugas untuk kepentingan Sekutu, John Lie dan rekan-rekan Indonesianya mendengar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari siaran All Indian Radio, radio pro nasionalis India milik Jawaharlal Nehru. Ketika perang usai, John Lie beserta pelaut-pelaut asal Indonesia dipulangkan ke tanah-airnya.
Setibanya
di Indonesia, John Lie memutuskan meninggalkan karirnya di KPM dan
bergabung dengan ALRI. Sukses terbesar John Lie yang sekaligus
mengangkat pamornya, adalah keberhasilannya membersihkan ranjau laut di
perairan sekitar Pelabuhan Cilacap. Atas keberhasilannya itu, John Lie
mendapat pangkat Mayor ALRI. Tugas berat selanjutnya yang harus diemban
oleh John Lie, adalah memandu kapal dagang Singapura “Empire Tenby”
keluar dari Pelabuhan Cilacap, menuju negerinya. Walau sempat dibayangi
pesawat patroli AL Belanda, namun tidak terjadi insiden apapun. Kesulitan
lain saat memandu kapal “Empire Tenby”, adalah sempat kandas di
perairan sekitar Pulau Nusakambangan. Setelah melalui
kesulitan-kesulitan tersebut, akhirnya kapal tiba di Singapura dengan
selamat pada Agustus 1947. John Lie selanjutnya menyerahkan muatan
kapal, yaitu 800 ton gula, kepada Dr. Saroso dan Mr. Oetojo Ramelan dari
Perwakilan RI Di Loear-Negeri. John Lie sementara waktu menetap di
“negeri singa” tersebut dan diperbantukan di KPOLN, karena situasi
Indonesia kian rawan. Terlebih lagi saat itu, Belanda baru saja
melancarkan agresi militernya yang pertama tanggal 21 Juli 1947. Hasil
penjualan gula tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Perwakilan Indonesia
di Singapura untuk membeli 7 kapal motor cepat (speed-boat) yang akan di-scrap oleh Naval Disposal Board
AL Inggris di Singapura, untuk dimanfaatkan sebagai kapal penerobos
blokade dan penyuplai senjata bagi kepentingan perjuangan melalui
Sumatera Utara dan Aceh.
John
Lie mendapat kehormatan dengan dipercaya sebagai nahkoda salah satu
kapal cepat yang semula bernama ML 833, lalu berganti menjadi PPB 31 LB.
Oleh John Lie kapal penerobos blokade itu dinamakan “The Outlaw”.
Setelah menerima tugas berat tersebut, John Lie kemudian memilih sendiri
para calon awaknya, yaitu Salim (mualim), Thaib Ardy (serang), Roezi
Damaz (jurumudi), Soemaredja (jurumudi), lalu sebagai kelasi Sjahroel
Etek (merangkap clerk), Didi Soenardi, Noer M, Agoes Rakab
(merangkap room-boy), Hamid Trijono (KKM), Hoesein (masinis I), A. Manan
(masinis II), sebagai oiler Sirad dan Soepardjo, Amat (coole),
Hoemala Pohan, Sitompoel, Darmawan, Sjafii, Gazali Ibrahim, Gaabin dan
Djatma. Setelah siap segala sesuatunya, mulailah “The Outlaw”
melaksanakan misi penembusan blokade yang oleh awaknya di sebut “Mission
Impossible”. Sebagai seorang Kristen Protestan yang religius, sebelum
memulai operasinya John Lie senantiasa berdoa dan saat bertugas pun tak
lupa membawa Kitab Injil di tangannya.
- Menantang Bahaya Demi Tanah-Air Indonesia
Tugas pertama yang diemban oleh John Lie, adalah mengirim sejumlah besar senjata dan perlengkapan militer dari Malaysia ke Labuhan Bilik. “The Outlaw” bertolak dari Pulau Pisang, Johor, Malaysia pada bulan September 1947 dengan berbendera Inggris serta membawa beberapa pucuk senjata semi-otomatis dan 1000 pon peluru. Karena sempat dikejar sebuah kapal patroli AL Belanda, kapal berputar arah menuju Pulau Kukup, Selat Johor, lalu berlayar menyusuri Pantai Melayu hingga Een Vadem Bank yang berdekatan di bagian utara Port Swettenham. Di Een Vadem Bank, kapal mengganti bendera menjadi bendera Kuomintang (sekarang Taiwan, red), lalu berlayar melintasi Selat Malaka menuju Delta Labuhan Bilik, Sumatera Timur.
Jam
9 pagi, secara tiba-tiba muncul pesawat patroli maritim AL Belanda yang
sengaja terbang dari pangkalannya di Polonia, Medan, untuk melacak
posisi kapal yang sempat menjadi buronan kapal patroli mereka. Melihat
hal tersebut, John Lie memerintahkan kapal berhenti dan memberitahu via sign-morse
ke pesawat Belanda, bahwa kapalnya kandas. Pada jarak sekitar 50 meter,
tampak jelas oleh John Lie bahwa pilot pesawat serta 2 orang gunners-nya
(seorang Belanda dan seorang asal Maluku) telah mengarahkan
Oerlikon-nya ke arah “The Outlaw”. Seluruh awak sudah pasrah jika,
karena posisi mereka sudah jelas tidak akan mampu menghindar lagi.
Namun, keajaiban muncul, secara tiba-tiba pesawat Belanda berputar arah
kembali ke pangkalannya, tanpa melepaskan tembakan satupun. John Lie
memandang hal tersebut sebagai “keajaiban Tuhan” yang telah menjadikan
kapal tampak “berwibawa” dan bahan bakar pesawat yang diperkirakan telah
menipis. Sedangkan bagi para awak “The Outlaw”, itu adalah kemenangan
bagi sebuah misi tidak mungkin alias mission impossible.
“The
Outlaw” akhirnya tiba dengan selamat di Labuhan Bilik jam 10.00 dan
langsung John Lie menyerahkan kapal berikut muatannya (senjata dan
amunisi) kepada Bupati Oesman Effendi dan Komandan Batalyon Abu Samah.
Setelah itu, “The Outlaw” terdaftar di Djawatan Pelajaran Labuhan Bilik
dengan nomor PPB 31 LB. Misi selanjutnya bagi “The Outlaw” atau PPB 31
LB yang dikomandani Mayor ALRI John Lie, adalah kembali ke Port
Swettenham dengan membawa muatan hasil bumi (karet). Di Port Swettenham,
Malaysia, John Lie membangun Hulp Naval Base of Repoeblic Indonesia
secara gelap. Tugas dari badan ilegal bentukan John Lie ini, antara
lain menyuplai logistik dan bahan bakar, serta senjata dan keperluan
lain yang dibutuhkan Revolusi Perjuangan Indonesia. Menjelang akhir
Desember 1947, John Lie mendapat “tugas yang menakjubkan” dari Kepala
Perwakilan RI di Singapura Mr. Oetojo Ramelan, yaitu membawa Letkol
Soedjono dan isterinya (tengah hamil) serta Kapten Udara Iskandar
beserta rombongan 30 Kadet AURI. Rombongan harus dibawa kembali dari
Kuala Lumpur ke Labuhan Bilik. Tugas berhasil dilaksanakan dengan mulus
oleh John Lie dan rombongan tiba di Labuhan Bilik tanggal 1 Januari
1948.
- The Black Speed-Boat: Dutch’s Hard Target
John
Lie dalam setiap operasi penerobosan blokade lautnya selalu
dilaksanakan pada malam hari, oleh karena itulah oleh BBC London
kapalnya dijuluki “The Black Speed-boat”. Siaran berita tersebut
dipandang sebagai “pelecehan” oleh otoritas keamanan Belanda, sehingga
Dinas Intelijennya, NEFIS (Netherland Forces Intelligence Service) menjadikan “The Outlaw” berikut awaknya sebagai hard target
(target utama) mereka. Imbasnya, seluruh jajaran AL Belanda di Belawan
harus mengenali ciri-ciri “The Black Speed-boat”, jalur-jalur
perlintasannya dan melumpuhkan elemen-elemen pendukungnya, serta
memperketat patroli laut di sekitar Selat Malaka hingga pesisir pantai
Sumatera Timur.
John
Lie yang menyadari diri dan kapalnya telah menjadi target utama
Belanda, terus mengembangkan tehnik dan taktik penerobosan blokade serta
jalur-jalur penyelamatan diri. Pada bulan Januari 1948, “The Outlaw”
bertolak dari Labuhan Bilik dengan memuat karet menuju Selat Barambang
dengan kecepatan rendah, untuk menghindari perahu-perahu nelayan dan
hamparan jaring penangkap ikan. Mendadak muncul di bagian dalam Selat
Barambang sebuah kapal motor (motor sloep) dari korvet Belanda,
yang tampaknya telah mengintainya dan hendak menghadangnya. Bersamaan
dengan kemunculan kapal motor Belanda tersebut, dikeluarkan perintah
berupa sinyal morse dan teriakan melalui pengeras suara berbunyi “Stop!!” ke “The Outlaw”. Seketika, John Lie memerintahkan awaknya untuk mengubah kecepatan kapal menjadi full-speed.
Sambil keluar-masuk “paal-dorpen” (jaring-jaring penangkap ikan) di
Delta Labuhan Bilik, kapal motor Belanda dengan gencar memuntahkan
peluru ke “Outlaw”. Namun di malam kelam tersebut, sekali lagi “The
Outlaw” berhasil meloloskan diri dan terus berlayar menuju Kepulauan
Aruah terus ke Een Vadem Bank. Pada pukul 06.00 “Outlaw” memasuki Port
Swettenham tanpa secuil luka atau kerusakan. Sekali lagi kemenangan bagi
“The Outlaw” dan mulai munculnya obsesi di benak para petinggi Militer
Belanda juga intelijennya, NEFIS.
Gagal
membekuk John Lie dan kapalnya “The Outlaw”, NEFIS kemudian “meminjam”
tangan-tangan penegak hukum Inggris di Port Swettenham, Malaysia, untuk
melakukan segala cara mencegah “Sang Master Penyelundup” kembali ke
laut. Saat berlabuh di Delta Port Swettenham pada Februari 1948, kapal
John Lie diinspeksi oleh kapal patroli polisi Distrik Port Swettenham
dan diperintahkan oleh komandannya (seorang mayor polisi berkebangsaan
Inggris) untuk masuk ke Pelabuhan Swettenham. Di pelabuhan, kapal
langsung ditahan dan John Lie diperiksa secara intensif oleh para hamba
wet Malaysia dengan bermacam pertanyaan tentang dugaan penyelundupan
senjata dan perdagangan ilegal. John Lie bersumpah atas nama Tuhan,
membantah semua tuduhan itu dan kemudian bersedia membayar jaminan US $
3.000 agar ia beserta awaknya tidak ditahan.
Sesaat
setelah proses interogasi dan administrasi jaminan di Markas Polisi
Port Swettenham, John Lie yang dikawal seorang sersan polisi, dihampiri
seorang letnan polisi berkebangsaan Sikh dan disapa dengan ramah.
Rupanya letnan polisi tersebut, adalah kenalan John Lie yang biasa
bertemu di restoran kereta api saat makan siang. Setelah mengetahui
duduk persoalannya, sang letnan polisi berkata kepada sersan polisi yang
mengawal John Lie: “All clear, i take over this matter”.
Seketika itu juga, letnan polisi tersebut menghubungi rekannya, kapten
polisi di markas polisi, untuk membantu John Lie keluar dari masalahnya.
Kepada Marine Superintendent, John Lie berjanji akan membantunya memberantas bajak laut dan meminta senjata (1 Bren-gun dan 2 Sten-gun)
beserta 200 butir pelurunya. Setelah selesai berurusan dengan pihak
kepolisian pelabuhan, John Lie kemudian dihadapkan pada petugas
pemeriksa dari Bea Cukai dan CID (Criminal Investigation Department). Kali ini, jawaban John Lie pun sama seperti di markas kepolisian: “Say No!”
terhadap semua tuduhan yang diajukan kepadanya. Sebagai tambahan, John
Lie menyampaikan bahwa dia tidak melanggar hukum kepabeanan dan
peraturan pelabuhan, serta menghormati his majesty rules and regulation custom officers. Ketegasan jawaban John Lie ditambah semua dokumen resminya tercetak “His Majesty Service Bea Cukai”,
berhasil menggetarkan nyali para pemeriksa dari Bea Cukai. Saat jeda,
John Lie yang diminta menunggu di luar ruangan interogasi, sempat
dihampiri seorang petugas CID bernama Jusuf, dan dengan nada menggertak
berkata bahwa ia telah tertangkap basah dan pasti masuk penjara. John
Lie menjawab dengan penuh kepercayaan diri, bahwa dia belum pernah
dikalahkan karena dalam lindungan Tuhan.
Apa
yang menjadi keyakinan John Lie di hadapan para hamba wet tersebut,
terbukti ampuh. Tak lama kemudian para petugas Bea Cukai dan CID pun
menyatakan bahwa John Lie tidak bersalah dan kapalnya bebas berlayar
kembali. Dengan demikian, sekali lagi upaya NEFIS untuk menjerat awak
“The Black Speed-boat” pupus sudah. Pukul 20.00, “The Outlaw” kembali
berlayar untuk melaksanakan tugas menembus blokade Belanda.
- Kembalinya “The Black Speed-Boat”
Selepas melalui detik-detik penuh ketegangan di Port Swettenham, ketika memasuki Delta Labuhan Bilik, kembali “The Outlaw” harus berhadapan dengan patroli AL Belanda. Tampaknya Belanda telah mendapat informasi bahwa “The Black Speed-boat” telah kembali melaut dan memperkirakan perairan Delta Labuhan Bilik sebagai menjadi tujuan utama kembalinya. Oleh sebab itu, di tempat itu sebuah kapal patroli Belanda telah menanti kehadiran “The Outlaw”.
Melihat
penghadangan tersebut, “Outlaw” segera memutar haluan yang langsung
dikejar oleh kapal patroli Belanda. Hujan tembakan dari Oerlikon
musuh berhasil dihindari “The Outlaw” yang berlayar zig-zag. Setelah
itu, “The Outlaw” langsung melakukan manuver melaju lurus dengan
kecepatan tinggi diiringi tembakan “putus-asa” awak kapal patroli
Belanda yang akhirnya behenti mengejar. Selamat dari hadangan musuh,
“The Outlaw” beristirahat dan membuang sauh di perairan Bagan Siapi-api,
untuk kemudian berlayar kembali menuju ke Muar, Malaysia. Di Malaysia,
John Lie mendapat sokongan US $ 5.000 berupa cek dari Wakil Presiden
Moh. Hatta, karena sudah menerima kiriman senjata dan peluru. Selama
berada di Malaysia, rupanya “The Outlaw” beserta komandannya, Mayor John
Lie, telah menjadi “buah bibir” dan memunculkan beberapa polemik,
seperti apakah kapal patriot bahari Indonesia tersebut bagian dari
kelompok komunis yang tengah aktif di Malaysia. Pada saat itu, John Lie
berhasil meyakinkan bahwa “The Outlaw” atau PPB 31 LB, adalah kapal
perjuangan bangsa Indonesia dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia adalah
revolusi mempertahankan kemerdekaan negara yang telah diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945. Disini, John Lie tampaknya telah tampil sebagai
“Dubes RI Tidak Resmi”, karena keberhasilannya meyakinkan banyak
kalangan di Malaysia dan Singapura akan perjuangan Bangsa Indonesia.
Kehadiran
kembali “The Outlaw” di lautan, memang telah menimbulkan obsesi
tersendiri bagi Belanda. Mereka terus berupaya memburu dan melacak “The
Outlaw” berikut identitas seluruh awaknya. Di sisi lain “The Outlaw”
telah menjadi sebuah fenomena tersendiri, antara lain memajang namanya
secara mencolok dengan menggunakan huruf timbul yang jika disorot lampu
akan tampak jelas sekali. Untuk mengimbangi pamor “The Outlaw”, Belanda
kerap mengembangkan pola propaganda palsu, laporan fiktif atau fitnah
sebagai upaya psy-war mereka. Perjuangan John Lie kian berat
ketika Belanda melancarkan Agresi Militer keduanya yang mengakibatkan
jatuhnya ibukota RI Yogyakarta dan tertangkapnya para pemimpin negara
pada tanggal 19 Desember 1948. Guna mengendalikan operasi satuan armada
dan pasukan gerilyanya, ALRI memindahkan markas besarnya ke Kutaraja,
Aceh. Sementara itu, di awal tahun 1949, John Lie mendapatkan kapal baru
untuk menggantikan kapal lamanya PPB 31 LB, yaitu PPB 51 LB yang
berukuran sama dengan pendahulunya. Kapal inipun oleh John Lie dinamakan
“The Outlaw”. Kemudian untuk menghindari hadangan AL Belanda, John Lie
antara Mei hingga September 1949 memindahkan tujuan operasinya dari
Malaka ke Phuket, Thailand.
- Tipu Muslihat John Lie
Karena
intimidasi dari pendukung Belanda dan patroli yang intens di sekitar
perairan antara Malaysia - Sumatera, John Lie kemudian memindahkan basis
operasinya ke Penang dan Raja Ulak, Tamiang, Aceh Timur. Tak lama
setelah memindahkan basisnya ke Raja Ulak, John Lie menghadapi sebuah
situasi yang sempat memalukan bagi AL Belanda. Suatu malam menjelang
akhir tahun 1948, “The Outlaw” baru saja bertolak dari Raja Ulak membawa
muatan karet akan menuju Penang, tiba-tiba melihat 4 bayangan (silouet)
hitam di perairan bebas di hadapannya. Itulah 4 kapal perang Belanda
yang rupanya telah menanti “The Outlaw”. Seketika komando full-speed
dikeluarkan John Lie kepada jurumudi dan sejurus dengan itu keempat
kapal perang musuh segera membentuk formasi lingkaran pengepungan
disertai tembakan penindasan. Pada saat kritis itu, John Lie mendapat
ide sederhana namun terbukti ampuh. Ia memerintahkan awaknya untuk
mengambil sebuah drum solar dan diikat tambang berdiameter kecil serta
mengikat sebuah lampu senter (flash-light) di atas drum.
Selanjutnya, di belakang lampu diikat sebatang besi. Dengan kilatan
cahaya senter, drum kemudian diceburkan ke laut, sehingga di kegelapan
malam tampak seperti sekoci yang terombang-ambing ombak. Muslihat
sederhana, nyaris tidak masuk akal, namun efektif. Terbukti keempat
kapal Belanda justru sibuk mengepung “kapal jadi-jadian” tersebut. “The
Outlaw” lolos dari kepungan dan tiba dengan selamat di Penang diiringi
sorak kemenangan awaknya.
Tipuan
John Lie lainnya, yang berhasil mengecoh Belanda adalah tehnik
kamuflase. Ketika kembali dari Penang menuju Raja Ulak, kapal John Lie
yang penuh muatan senjata dikejar oleh kapal patroli Belanda sehingga
terpaksa bersembunyi di perairan dangkal Tamiang. Guna mengelabuhi mata
musuh, yang memburunya dari laut dan udara, John Lie menutupi kapalnya
dengan cabang-cabang pepohonan. Tehnik pengelabuhan ini juga diterapkan
ketika “The Outlaw” sedang sandar di sungai-sungai sekitar Tamiang.
- Mukjizat Atau Kebetulan?
Sebagai
telah disampaikan di awal, “The Oulaw” banyak menghadirkan kisah-kisah
yang unik, penuh ketegangan dan keajaiban. John Lie sebagai sosok
religius meyakini bahwa itu adalah pertolongan Tuhan. Memang, diakui
pihak Belanda sendiri masih menyimpan rasa keheranan mengapa buruan
utamanya tersebut selalu luput dan nyaris tak tersentuh, padahal sudah
ada di hadapan mereka? Ketika “The Outlaw” tengah berada di Delta Sungai
Tamiang, sebuah pesawat patroli Belanda terbang melintas tepat di
atasnya untuk melacaknya, ternyata tetap tidak dapat melihatnya.
Kejadian tak masuk akal lainnya, tidak hanya itu, ketika tengah melaju
hendak keluar dari Delta Sungai Tamiang, tiba-tiba baling-baling “The
Outlaw” tersangkut pasir dan patah, sehingga laju menjadi lamban. 5
menit kemudian, tiba-tiba melintas pada jarak dekat sebuah kapal patroli
Belanda, yang anehnya seperti tidak melihat keberadaan “The Outlaw”.
Mukjizatkah atau hanya kebetulan?
Pada
suatu waktu, di Tamiang “The Outlaw” nyaris disergap kapal patroli
sungai Belanda ketika kandas di sungai akibat pasang surut. Untuk
mendepresi kapal “The Outlaw”, kapal patroli Belanda tersebut menembak
peluru meriamnya di kanan - kirinya secara beruntun. Namun ajaib, mendadak
debit air sungai menaik, sehingga “The Outlaw” selamat. Kemudian dalam
pelayaran dari Phuket ke Aceh yang dilakukan pada pagi buta, tiba-tiba
“The Outlaw” berpapasan dalam jarak dekat dengan sebuah kapal patroli
Belanda. Sontak tembakan gencar dilepaskan oleh Belanda, namun uniknya
tak satu butir peluru pun mengenai “The Outlaw” atau awaknya. Bahkan
ketika awak kapal Belanda melepaskan tembakan langsung ke arah John Lie
pada jarak “hanya” 3 meter, secara ajaib peluru melesat 1 meter di atas
kepala John Lie. Karena putus-asa, tembakannya tidak ada yang kena,
kapal Belanda menambah kecepatannya hendak menabrak “The Outlaw”. Sekali
lagi keajaiban terjadi, kapal Belanda tiba-tiba kandas di karang,
sehingga sama sekali tidak dapat bergerak atau menembak. “Mission impossible serta Victory buat kami kapal “The Outlaw”, demikian kenang John Lie dalam memoir pribadi yang ditulis sendiri semasa hidupnya.
- Terkuaknya Sebuah Misteri
Kisah
patriotisme dan perjuangan John Lie bersama kapalnya “The Outlaw”
memang telah menjadi legenda tersendiri di dalam dan luar negeri. Semua
itu berbaur menjadi satu, antara kejeniusan, keuletan dan ketabahan John
Lie berikut ABKnya dengan sebuah keberuntungan atau bahkan mukjizat
Tuhan. John Lie memang sosok yang terkenal sangat religius, Kitab Injil
tak pernah terlepas dari tangannya dalam keadaan apapun.
Perjuangan John Lie yang mengagumkan terkuak ketika Jurnalis Life Magazine
Roy Rowan secara khusus mewawancarai Komandan Kapal “The Outlaw”
tersebut saat sandar di Pelabuhan Phuket, Thailand. Tulisan tersebut
termuat pada edisi 26 Oktober 1949 dengan judul: “Guns And Bibles Are Smuggled To Indonesia”. Berita BBC yang secara rutin menyiarkan keberhasilan “The Outlaw” menerobos blokade Belanda dan ulasan khusus di Majalah Life,
telah memberikan arti tersendiri bagi perjuangan John Lie dan
pejuang-pejuang ALRI penerobos blokade lainnya. John Lie mengakhiri
karirnya sebagai Komandan Kapal “The Outlaw” pada tanggal 30 September
1949 dan memulai tugas baru di Pos Hoeboengan Loear-Negeri di Bangkok,
Thailand. Selanjutnya kapal “The Outlaw” diserahkan kepada Letnan Muda
Koesno, mantan Komandan Kapal “Sea Gull”, yang juga merupakan salah satu
kapal penerobos blokade Belanda. “The Outlaw” yang dinahkodai Letnan
Muda Koesno tertangkap kapal patroli Belanda di perairan Raja Ulak dan
ditahan di Pangkalan AL Belanda di Belawan.(Adi P.S.)
Sumber :
- Roy Rowan, “Guns –And Bibles- Are Smuggled To Indonesia”, Life Magazine edisi 26 Oktober 1949, USA.
- Jahja Daniel Dharma / John Lie, Laksamana Muda (Purn), “Perjuanganku Memepertahankan NKRI”, Jakarta, 1980.
- Dinas Penerangan TNI AL, Sejarah TNI Angkatan Laut (Periode Perang Kemerdekaan 1945-1950) Jilid I, Jakarta, 2005.
- Syahrul Etek, “The Outlaw: Kisah Perjuangan The Black Speed Boat”, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.