Lambang Marinir |
Ⓣidak terbayangkan sebelumnya, bahwa Tuhan mentakdirkan anggota Kompi X
yang berasal dari Lembaga Pendidikan Marinir di Surabaya suatu saat
harus memperingati hari kemerdekaan di tengah hutan Kalimantan. Tetapi
itulah kehidupan manusia, ada “kekuatan” yang menentukan jalan hidup
masing-masing umatnya.
Kami para pelatih dan pembantu pelatih yang biasanya memperingati hari
besar di tengah kota Surabaya atau di medan latihan tempur Purboyo di
daerah Malang selatan, sekarang harus melaksanakan tugas operasi di hulu
S.Siglayan Kalimantan Timur bagian utara dekat dengan wilayah Malaysia,
Sabah sebagai seorang Komandan, saya merasakan situasi kegamangan dan
kesedihan yang cukup menekan perasaan, karena dalam kondisi yang jauh
dari kesatuan induk, berada di lokasi yang sangat terpencil dan terpisah
dari kesatuan lainnya, harus mampu menegakkan disiplin dan sekaligus
memelihara semangat tempur dalam kondisi yang serba terbatas, kalau
tidak mau menyebut sebagai serba kekurangan.
Di tempat ini kami sudah
bertugas selama tiga bulan lebih, dan sebelumnya bertugas di pulau
Nunukan sejak Desember 1965. Saya tahu kalau saat seperti ini khususnya
menjelang 17 Agustus, anak buah tentu sedang membayangkan upacara besar
ini di Jakarta atau Surabaya. Tetapi kesedihan ini tidak lama saya
rasakan, karena kemudian Tuhan telah mengubah dan memberi petunjuk, agar
saya tidak larut dalam kebimbangan. Kondisi seperti ini justru
merupakan tantangan bagi seorang komandan, agar menjadi tegar dan
bagaimana seharusnya dapat memanfaatkan situasi dan kondisi yang
mencekam ini dapat diubah menjadi situasi yang menyenangkan.
Dan yang lebih penting, adalah bagaimana mengembalikan semangat anak
buah yang mulai melemah, karena jenuh dalam lingkungan hutan yang sepi,
agar mereka dapat bergairah lagi menghadapi kenyataan hidup, timbul
kembali semangatnya yang baru serta tetap tegar menghadapi kondisi saat
itu. Saya mempunyai keyakinan bahwa Tuhan telah memberikan petunjuk yang
cukup jelas, dengan menunjukkan cara - cara bagaimana membangun kembali
semangat tempur anggota marinir sebagai pasukan yang memiliki motto
“pantang mundur mati sudah ukur “.
Situasi politik pada awal dan pertengahan tahun 1960-an dipenuhi udara
panas bagi bangsa dan pemerintah Indonesia, karena adanya gagasan
pembentukan negara federasi baru, Malaysia, yang merupakan gabungan
antara Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) yang sudah merdeka sejak tahun
1957 dengan Serawak, Brunei dan Sabah (Kalimantan Utara jajahan Inggris)
Pemerintah Indonesia merasakan adanya upaya sistematis untuk mengepung
NKRI di sebelah utara, sedangkan dari sebelah selatan sudah dijepit oleh
Australia dan Selandia Baru.
Bangsa lndonesia merasakan adanya gerakan yang diprakarsai oleh
Nekolim (Neokolonialis), yang akan merugikan Indonesia sebagai negara
yang menganut politik bebas dan aktif dalam politik luar negerinya.
Bersama Filipina, Indonesia pada saat itu menentang berdirinya negara
baru Malaysia. Filipina mempunyai klaim terhadap Sabah. karena menurut
data yang dimilik pemerintah Filipina, Sabah pada masa lalu adalah
wilayah kerajaan Sulu, yang sekarang merupakan wilayah Filipina.
Itulah mengapa kemudian timbul konfrontasi antara Indonesia disatu
pihak, menghadapi Malaya, Inggris yang dibantu Australia dan Selandia
Baru dipihak lain.
Dalam rangka itulah telah dikirim masing-masing dua Brigade Pendarat
Marinir ke perbatasan Indonesia. Satu Brigade di Pulau Batam (Kepulauan
Riau) dan satu Brigade di Pulau Nunukan dan Sebatik (Kalimantan Timur).
- Kiprah Kompi “X”
Makin mendekati hari Kemerdekaan, saya pikir harus berbuat sesuatu yakni
dengan mencoba menggunakan momen ini untuk menggelorakan semangat
anggota yang sudah mulai lelah. Setelah tiga bulan di hutan, yakni bulan
Mei, Juni dan Juli 1965 semangat anggota kompi X makin menurun. Maklum,
tinggal dalam hutan yang sunyi dan benar-benar terisolasi baik dari
kesatuan induk (Batalyon dan Brigade) maupun terpisah dengan penduduk
setempat, memang terasa seperti memanggul beban yang sangat sangat berat
terutama dari segi mental.
Coba anda rasakan setiap hari hanya memandang pohon - pohon yang
tingginya lebih 30 meter, semak yang sama, bahkan sinar matahari yang
tidak sepenuhnya mampu menembus rimbunnya dedaunan hutan, menciptakan
kesunyian, ketersendirian dan juga kelengangan yang setiap hari makin
memuncak. Udara selalu lembab. Tidak ada aroma lain kecuali bau daun
kering dan daun busuk apalagi pada malam hari, hanya dapat mendengar
suara beruang yang sedang berkelahi, suara monyet dan suara kepakan
sayap kelelawar besar, yang melintas diatas pepohonan, makin menekan
mental masing - masing prajurit.
Dipihak lain kami tahu lawan gabungan pasukan Inggris - Malaysia hanya
dua bulan mampu bertahan di hutan seperti ini dan setiap dua bulan sudah
diganti dengan pasukan baru. Dari segi pengiriman logistik mereka lebih
teratur pula pengirimannya. Kami sering melihat pengiriman logistik
untuk pasukan Inggris di wilayah Sabah dilakukan melalui udara dengan
menggunakan parasut yang dijatuhkan ke tengah hutan di tempat mereka
bertugas. Kami, boro - boro dikirim, tetapi dibebankan pada kompi, yang
setiap bulan sekali harus mengambil sendiri ke Nunukan menggunakan
perahu bermesin tempel 40 PK. Karena itu, setiap bulan, secara bergilir,
ada anggota yang mendapat giliran ‘’cuti” ke Nunukan, sambil belanja
kebutuhan sehari - hari dengan uang lauk - pauk yang sangat terbatas. Bagi
yang mendapat giliran belanja ke Nunukan, rasanya seperti mendapat
kesempatan melihat dunia luar karena dapat bertemu dengan orang lain
termasuk penduduk.
Karena itu, untuk mengurangi beban mental para anggota kompi X,
mereka selama di pedalaman ini berusaha menghibur diri dengan cara
masing - masing antara lain memanjangkan rambutnya. Setelah rambut panjang
ada yang berinisiatif untuk mengikat rambutnya dengan pita seperti
layaknya gaya rambut ekor kuda bagi remaja dan gadis - gadis di Surabaya.
Berbicara sehari - haripun harus pelan dan nyaris berbisik. Karena di
tengah hutan begini sangat dilarang berbicara dengan suara keras, kami
menjadi terbiasa berbicara dengan berbisik - bisik. Hiburan tidak ada sama
sekali. Radio tidak ada. Lain dengan kompi Brahma, kompi sukarelawan
gabungan marinir dan sipil lokal, setiap peleton Sukwan, mereka mendapat
radio Philips transistor. Karena itu saya sering menumpang dengar
berita melalui radio mereka. Sayang sekali untuk mendengar siaran RRI
sangat sulit. Yang paling mudah adalah mendengarkan radio Malaysia.
Tentu saja. isi beritanya sangat berlawanan.
Berita konfrontasi, tentu
menjelek-jelekkan aktivitas pasukan kita. Demikian pula berita
nasionalnya tentu membuat telinga kita bisa menjadi merah karena isinya
mesti menjelek - jelekkan pemerintah RI.
Yang lucu, siaran radio masing - masing pemerintah dalam akhir pidato
atau peryataan resmi pemerintah, selau diakhiri dengan menyatakan: “Tuhan beserta kita” Komentar para anggota yang mendengarkan: “Kasihan,
Tuhan bisa bingung kalau begini, habis masing-masing negara mau
memonopoli Tuhan. Terserah. Mau membela Indonesia atau Malaysia”, karena
setiap pemerintah, baik Indonesia maupun Malaysia ingin agar Tuhan
hanya membela negaranya.
Sampai bulan Agustus, musim hujan masih terus berlangsung hampir tiap
malam turun hujan. Kadang-kadang hujan turun sangat lebat yang disertai
angin kencang. Kalau cuaca sudah begini, kami makin ngeri karena
biasanya kalau sudah ada angin begini banyak pohon tumbang akibat tanah
yang menjadi lembek, atau dahan yang patah, jatuh kebumi. Suaranya
sampai terdengar dari kejauhan.
Rasanya makin nglangut, karena tidak ada yang dapat membantu kalau
terjadi apa-apa. Inilah risikonya terpisah dari induk pasukan Bila sudah
begini yang dapat dilakukan hanya berdoa. Tetapi dengan kekuatan doa
kami, Tuhan rupanya masih menaruh belas kasihan pada kompi X. Selama
enam bulan, mulai Mei sampai Oktober 1965 di tengah hutan dan terpisah
dari masyarakat manusia tidak ada satupun pohon maupun dahan yang jatuh
di barak kami.
Bagi saya selaku pimpinan. maupun anggota pada umumnya. hiburan
satu-satunya yang paling diharapkan adalah kedatangan surat dari
keluarga atau kawan - kawan dari Surabaya. Bagi saya yang mempunyai
kebiasaan membaca terutama sebelun tidur, sangat memerlukan bacaan, dan
bacaan yang saya dapat, baik kiriman dari Surabaya maupun yang saya
peroleh dari markas batalyon, sangatlah mengembirakan. Majalah apapun,
bagi saya merupakan hiburan yang sangat berarti, termasuk majalah
“Mangle” terbitan Bandung yang berbahasa Sunda.
Walaupun saya tidak begitu paham bahasa ini, namun masih dapat
mengerti isinya secara umum, terutama karena jasa baik seorang anggota,
ditolong oleh salah seorang caraka, prajurit marinir Suhanda yang
berasal dari Purwakarta. Jadi kalau ada kata - kata yang saya tidak
mengerti, saya panggil Suhanda untuk menerjemahkan kalimat tertentu.
Kadang-kadang kalau lagi mujur, saya dapat memperoleh majalah bulanan
“Intisari” dari markas batalyon kalau kebetulan ada tamu yang datang
dari Jakarta atau Surabaya. Pada waktu malam, karena hutan yang gelap
namun saya masih berusaha membaca walaupun hanya dari sinar temaram,
dengan penerangan sebatang lilin.
Seminggu menjelang tanggal 17 Agustus tahun 1965 saya minta para
perwira dan bintara yang ada untuk mengadakan pertemuan, dengan fokus
pembicaraan bagaimana caranya agar anggota kompi X dapat merayakan hari
nasional ini walaupun sedang berada di tengah hutan. Saya jelaskan
tujuan pertemuan dan tujuan perayaan, yakni pertama, memperingati hari
kemerdekaan sekaligus mengembalikan semangat perjuangan membela negara
dan bangsa. Akhirnya diputuskan untuk melaksanakan kegiatan sebagai
berikut : Pada tanggal 17 Agustus kompi harus mengadakan perayaan, tetapi
tetap harus waspada terhadap kemungkinan serangan mendadak lawan. Pada
hari itu, semua anggota harus berseragam lengkap sebagaimana seragam
tempur marinir termasuk menggunakan helm, yang selama pasukan di tengah
hutan tidak pernah lagi dikenakan.
Dua pertiga pasukan melakukan upacara penaikan bendera, sedangkan
sepertiga tetap siap tempur menjaga lingkungan upacara. dan pos jaga
masing - masing seperti yang sudah ditentukan sebelumnya, mereka
bertanggungjawab bila ada pendadakan. Sebagai “lapangan upacara” dicari
tempat yang lapang dan rata, yakni dibawah sebatang pohon besar yang
rindang Semak belukar dibawah pohon dibersihkan dan daun-daun kering di
bawah pohon disapu bersih.
Di tengah lapangan upacara didirikan sebatang kayu untuk pengibaran
bendera sang merah putih dengan tali batang rotan yang kecil tetapi
cukup kuat. Sekarang untuk pestanya, selelah upacara selesai, harus ada
suasana baru. Diputuskan, hari istimewa itu seluruh anggota akan makan
ketupat. Bahannya pembungkusnya (sarang ketupat) gampang ambil saja daun
nipah yang masih muda dianyam menjadi sarang ketupat. Sekarang, apa
yang pantas menjadi lauknya. Kami putuskan untuk mendapatkan daging segar. Caranya, kami bentuk empat tim pemburu untuk mencari babi hutan.
Kebetulan pada bulan Juli – Agustus sedang musim buah terutama cempedak
hutan. Babi biasanya mudah ditemui pada musim buah ini.
Dua hari menjelang tanggal 17, empat tim yang sudah ditunjuk
berangkat keempat penjuru untuk mencari dan menembak babi. Untuk
sementara larangan menembak dicabut. Dalam keadaan “normal” letusan
senjata berarti kontak dengan musuh, dan demi kerahasiaan, dilarang
menembak tanpa tujuan yang jelas.
Nasib untung masih berpihak pada kami, pada sore hari ketika tim pemburu
ini kembali, mereka datang sambil memikul empat ekor babi hutan.
Sementara itu pada tanggal 16 Agustus, untuk membuat musuh panik,
saya perintahkan seksi mortir 81 dikawal satu regu untuk menyerang pos
musuh dengan menggunakan mortir 81. Tentu sangat sulit untuk menembakkan
mortir di tengah hutan yang tertutup semacam hutan Siglayan ini. Harus
dapat menemukan lubang agar dapat menembak. Tetapi mereka tidak kurang
akal. Pada suatu medan yang agak terbuka, mereka berhasil menembakan
enam peluru mortir 81 dengan jarak sejauh mungkin, sekitar tiga setengah
kilometer. Setelah berhasil menernbakkan enam butir peluru secara
beruntun, pasukan kembali secepat mungkin agar tidak dapat dibaring dan
dibalas oleh musuh.
Menurut data intel yang kemudian kami peroleh dari penduduk sipil
yang berhasil masuk ke Tawao, serangan ini berhasil mengenai sasaran dan
menewaskan satu orang. Rupanya, lawan juga sudah mengantisipasi
kemungkinan kami menyerang pada sekitar tanggal 17 Agustus ini. Tetapi
karena kami menyerang sehari sebelumnya, mereka panik, dan mengira kami
akan menyerang secara besar - besaran. Buktinya, tepat pada tanggal 17
musuh menembaki seluruh hutan itu dengan mortir selama satu hari penuh.
Kami hanya menyambut dengan santai. Tidak perlu dibalas, karena tembakan
mereka sangat tidak terarah. Maklum tembakan orang lagi panik. Tanggal
17 Agustus pagi kami siap mengadakan upacara penaikan bendera. Jam
delapan, pasukan pengaman sudah menempati pos masing-masing. Seluruh
anggota berpakaian tempur lengkap.
Jam sembilan kurang seperempat, pasukan upacara sudah siap di
lapangan upacara. Jam sembilan kurang lima menit saya selaku pemimpin
upacara memasuki lapangan upacara. Sersan Mayor Zaini, bintara peleton
satu, menjadi komandan upacaranya. Penaikan bendera dimulai dilakukan
oleh Kopral Adam dan seorang prajurit, diiringi lagu Indonesia Raya yang
dinyanyikan oleh seluruh peserta upacara. Tiba-tiba menjelang bendera
sampai kepuncak tiang, rotan tali bendera putus. Lagu kebangsaan
berjalan terus. Terpaksa tiang dicabut, bendera diikatkan di puncak
tiang, tancapkan lagi ditempat semula, Namun upacara tidak terganggu
oleh insiden ini, tetap khidmat Semua anggota merasakan suasana
anggunnya upacara memperingati hari kemerdekaan ini walaupun ada sedikit
gangguan putusnya tali bendera. (kepercayaan yang berkembang, bila tali
bendera putus pada waktu upacara, biasanya akan ada peristiwa yang
gawat, mendebarkan)
Dalam pidato sebagai amanat inspektur upacara, saya mencoba
memberikan semangat dengan menjelaskan mengenai tugas kompi X maupun
anggota Kompi Brahma (satu peleton) sebagai prajurit yang sedang
melaksanakan tugas suci karena mengemban tugas negara walaupun sekarang
sedang berada di tengah hutan di perbatasan Kalimantan Utara, jauh dari
Surabaya sebagai “homebase” kompi X maupun pasukan induk, yang ada di
Pulau Nunukan, tetapi pasukan harus tetap tabah menghadapi situasi dan
kondisi saat ini. Jangan berfikir yang tidak-tidak seperti merasa
dibuang dan seterusnya. Kita adalah ksatria yang pantang menyerah.
Saya perhatikan reaksi para prajurit, mereka rupanya mendengarkan apa
yang saya sampaikan dengan serius. Saya merasa puas. Selesai upacara
diadakan perlombaan lari karung jarak duapuluh meter, diteruskan lempar
gelang rotan. Hadiahnya korned dan abon. Suasana cukup meriah.
Setidaknya sejenak melupakan situasi tegang selama ini. Selesai
perlombaan, semua menikmati makan ketupat dengan lauk daging babi bagi
yang mau, sementara yang tidak mau makan dengan lauk sarden dan “corned
beef” kalengan. Semua masakan sudah dimasak semalam jadi sekarang sudah
dingin. Karena selama barada ditengah hutan, dilarang keras masak pada
siang hari. Namun demikian, suasananya sungguh berbeda. Ada kegembiraan
yang dalam beberapa hari sebelumnya sudah sirna.
Menjelang tanggal 31 Agustus 1965, datang peringatan dari batalyon
melalui radio GRC-9, mengingatkan hari kemerdekaan Malaysia yang akan
jatuh pada tanggal 31Agustus 1965, supaya kompi yang ada di Siglayan
waspada. Sebenarnya peringatan itu tidak begitu perlu. Kami sudah siap
menghadapi mereka kalau memang berani datang menyerang. Pedoman Marinir
“pantang mundur”, terus bergema dibenak masing-masing anggota.
Pertempuran di dalam hutan berarti pertempuran jarak sangat dekat.
Ternyata tanggal 30 dan tanggal 31 Agustus tidak ada kegiatan lawan.
Kami agak mengendorkan kesiagaan.
Tanggal 1 September 1965 sekitar jam sembilan pagi secara tak terduga
kami diserang dengan rentetan tembakan senjata ringan secara serentak.
Dari arah depan kiri. Karena terkejut, ada anggota di lapis depan yang
langsung panik dan saya mendengar ada yang mengatakan : “mundur…”. Saya
segera maju, kupertahanan peleton dua untuk mencari sumber tembakan.
Beberapa anggota sudah ada yang bergerak mundur saya segera bertindak.
Sambil membentak ‘tetap ditempat” diiringi suara kepala regu satu pleton
satu, Sersan Suprapto dibelakang saya “Dengarkan suara tembakan, dari
mana arahnya”. Teriakan ini membuat pasukan menjadi tenang kembali.
Semua siap menghadapi kemungkinan serangan lanjutan.
Semua segera tiarap dengan memegang senjata masing-masing. Dalam
situasi menunggu, saya perintahkan mencari awak mortir 81 untuk segera
masuk seteling. Ternyata mereka tidak ditempat. Kemarin, memang ada
pergantian awak mortir, Karena itu, mereka empat orang dipimpin seorang
kopral sedang mencari kayu untuk mendirikan baraknya. Tidak lama
kemudian mereka muncul sambil terengah - engah “Siapkan mortir siap
menembak” Saya perintahkan segera. Karena mereka hanya ada empat orang
dan harus melayani dua pucuk mortir, mereka gugup dan kewalahan. Saya
perintahkan anggota yang berdekatan, kopral Adri Waroka dan prajurit
lainnya untuk membantu menyiapkan peluru mortir.
Tidak lama kemudian terdengar bunyi peluru meriam mendekat.
Ses-ses-ses……….Dan disusul bunyi ledakan di sebelah kiri petak
pertahanan. Untung peluru pertama musuh jatuh sekitar 500 meter
disamping kami, tidak mengenai seorangpun. Bau mesiu makin merangsang
semangat tempur kami. Kini kami benar-benar sudah siap untuk bertempur.
Segera terjadilah saling tembak yang kurang seimbang. Musuh menggunakan
artileri, jarak tembaknya bisa lebih jauh dan tembakan mortir karena
kami hanya menggunakan dua pucuk mortir.
Saya minta satu pucuk menembak dengan jarak maksimal dengan isian
penuh, satu pucuk melindungi pasukan kawan di seberang sungai, disana
ada dua regu yang menembaki pos di seberang sungai, setiap regu terpisah
satu di sebelah kiri depan kompi, satu lagi regu yang menjaga “Pos
Tanah Merah’’. Pos inilah yang mendapat serangan pertama. Rupanya musuh
masih mempunyai data awal, yaitu terbukti hanya menembaki barak yang
pertama dibuat yang lokasinya lebih ke hulu sungai, persis di belokan
Siglayan, tempat para gerilyawan memasuki Sabah pada tahun 1963. Sedang
kedudukan kami sekarang sudah mundur lebih 500 meter lebih ke belakang.
Pos pertama ini sudah beberapa kali mendapat kiriman peluru meriam
musuh. Karena itu, tembakan musuh jatuh di samping kiri depan kedudukan
kami atau jatuh di depan kami di rawa - rawa, jadilah hari itu tembak
menembak sampai berhenti total jam empat sore. Hanya menjelang peluru
meriam akan jatuh ke tanah, kecepatan peluru sudah lemah dan
mengeluarkan bunyi ses… ses… ses, kami harus waspada. Itu artinya peluru
sudah hampir tiba. Semoga tidak jatuh di daerah posisi sekarang.
Menghadapi ulah peluru demikian, hati menjadi ciut, karena tidak tahu
dimana peluru itu akan kehabisan tenaganya. Dan kami hanya bisa berdoa
Tuhan, lindungi kami. Yang jelas, bagi pasukan yang pernah mendapat
serangan meriam seperti ini, kalau dia selamat, akan menjadi
kenang - kenangan yang indah dalam hidupnya. Sementara itu, musuh
mengirimkan pelurunya secara terus - menerus dan lebih cepat. Mungkin
mereka menembak dengan enam pucuk meriam sedang kami hanya memiliki dua
pucuk mortir 81. Itupun masih kami anggap untung, karena sebelumnya kami
hanya memiliki AK dan RPD saja.
Dengan adanya tembakan balasan dari kami, musuh akhirnya lari
terbirit-birit, tidak jadi mengadakan serangan jarak dekat. Ketika besok
paginya saya mengadakan patroli pengejaran mulai di sekitar pos Tanah
Merah, sesuai jejak yang kami temukan, ternyata pada kemarin malamnya,
musuh bermalam tidak jauh dari pos Tanah Merah, sekitar 500 meter, di
seberang lembah. Rupanya musuh tidak tahu, ada satu regu menduduki medan
di depan mereka.
Setelah pertempuran selesai, saya cek jumlah anggota, ada dua anggota
hilang. Saya bersama yang lain terus mencari mungkin mereka terluka
atau gugur. Untung sebelum gelap, dua prajurit ini muncul dan segera
memeluk saya. Karena girangnya rupanya begitu musuh membrondong mereka,
mereka sempat loncat ke tebing di atas sungai Siglayan dan kebetulan di
sana ada sebuah lubang mirip gua, sehingga kedua prajurit ini dapat
bersembunyi dengan aman dan mereka tak dapat diketemukan musuh yang
berada di atasnya. Melihat bekas tembakan serentak musuh, lokasi di mana
terjadi tembak - menembak, semak belukarnya sudah rata seperti dibabat
dengan parang.
Karena itu saya menduga, dua orang ini sudah gugur atau tertangkap
musuh. Ternyata keduanya selamat, tak ada sehelai bulunya yang tanggal.
Dasar nyawanya masih betah tinggal di tubuhnya, dan rupanya belum mau
pindah ke akhirat.
Dari penelitian selanjutnya, ternyata masih ada satu
orang lagi yang hilang, yakni Prajurit dua Marinir Panut, caraka
komandan peleton dua. Empat hari kemudian, jenasahnya diketemukan
mengambang di sungai. Malam itu saya menemani regu yang mendapat
serangan musuh pada siang harinya, untuk mendorong semangat tempur regu
itu. Selamat jalan Panut. Apakah ini arti tali bendera putus waktu menaikan bendera? Jenasah Prajurit Marinir Panut dimakamkan juga di TMP
Jayasakti Nunukan.
Sumber :
- Kisah Kompi X di Rimba Siglayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.