Ⓜengapa argumen: “Winning the peace through people-centered approach”
is harder than being said?. Bagi kita yang pernah menjalani tugas misi
perdamaian, akan semakin jelas bahwa memetakan akar permasalahan dari
suatu konflik yang terjadi bukanlah hal yang mudah. Apa sebenarnya yang
terjadi di Lebanon? Mengapa deployment pasukan PBB
di Lebanon sejak tahun 1978 tidak / belum memberikan hasil yang maksimal
sampai saat ini? Apakah para peacekeepers tidak memberikan usaha
terbaiknya untuk mewujudkan damai?.
Tugas misi perdamaian merupakan tugas yang mulia. Betapa tidak?
Peacekeepers meninggalkan keluarga mereka dalam mengemban misi. Resiko
nyawa yang selalu menghantui karena “business environment” yang serba menakutkan. Sehingga sangat wajar apabila allowance peacekeepers sangatlah besar karena alasan konsekuensi tugas yang sangat tinggi tersebut.
Saya teringat kejadian tewasnya 5 orang Prajurit kontingen Spanyol
di Lebanon Selatan akibat bom pinggir jalan yang terjadi tepat pada hari
penganugerahan medali PBB bagi kontingen Spanyol (yang artinya soon mereka akan segera pulang).
Isn’t it ironic?. Masih banyak kisah-kisah heroik
para peacekeepers di belahan dunia lainnya. Mereka yang rela
mengorbankan nyawa untuk mewujudkan perdamaian di suatu tempat yang
bukan merupakan bagian dari tanah airnya.
Dengan demikian, premis yang menyatakan bahwa peacekeepers tidak
memberikan usaha terbaiknya di medan operasi, tentunya tidak dapat
dipertahankan. Pengorbanan nyawa para penjaga perdamaian membuktikan
upaya tersebut. Peacekeepers telah berusaha namun mengapa perdamaian
tidak juga tiba?
Sebagian dari kita mungkin akan merespons bahwa masih banyak aspek
lain yang harus dipikirkan dalam menjawab pertanyaan di atas.
Stakeholders yang terkait tidak hanya peacekeepers, namun konflik yang
terjadi perlu dianalisa secara komprehensif dari berbagai aspek meliputi
politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya. Semua ini
membuat kita semakin yakin bahwa sebenarnya perdamaian tidak akan
pernah datang.
Analisa yang seakan-akan membangunkan kita dari mimpi bahwa sangat
sulit untuk mewujudkan dunia yang damai bagi anak cucu kita. Namun
apakah pemikiran ini, menghentikan peacekeepers dalam
mengemban tugasnya?.
Saya tergabung dalam kontingen Garuda XXIII-A/UNIFIL
di Lebanon Selatan sekitar 5 tahun yang lalu. Masyarakat Lebanon
Selatan di wilayah operasi Indonesia sangat antusias dalam menerima
pasukan Indonesia saat itu. Dengan kelebihan prajurit-prajurit
Indonesia, saya teramat yakin bahwa tidak ada masyarakat Lebanon Selatan
yang tidak terbantu dengan kehadiran kita di tengah-tengah mereka.
Sebagai sesama Muslim, kontingen Indonesia mendapatkan tempat tersendiri
di hati mereka. Saat ini, lebih dari 5 tahun saya telah meninggalkan
bumi Lebanon.
Dari website Indonesian Peacekeepers
ini, saya selalu bangga melihat upaya yang telah dilakukan oleh
kontingen Garuda dari tahun ke tahun untuk perbaikan bumi Lebanon.
Kedekatan prajurit kita dengan masyarakat Lebanon tercipta secara alami.
Terkadang saya berpikir: Apakah sebenarnya masyarakat Lebanon menaruh harapan besar bahwa Indonesia dapat menghadirkan perdamaian bagi mereka?.
Mampukah kita selaku peacekeepers mewujudkan mimpi mereka?
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah pembicaraan yang terjadi
antara saya dengan seorang perwira berpangkat Letkol dari Ghana di UNIFIL
HQ, Naqoura. Beliau menyatakan telah 4 kali ke Lebanon sebagai Danton,
Danki, Perwira Staf Sektor dan saat itu sebagai Perwira Staf Unifil HQ.
Ternyata Ghana dan India merupakan dua negara yang tak pernah absen
dalam mengirimkan pasukannya ke Lebanon sejak tahun 1978 (pertama kali
misi UNIFIL digelar). Akankah kontingen Garuda
mengikuti jejak Ghana dan India yang telah mengirimkan kontingennya
secara berturut-turut setiap tahunnya sejak tahun 1978 namun tak kunjung
menghadirkan perdamaian?
Perdamaian memang multi faceted. Tapi kalau kita
sadari bahwa konflik yang terjadi di daerah misi bukanlah konflik kita.
Sama halnya dengan mendatangi rumah teman yang sedang konflik dengan
istrinya dan kita berusaha menengahinya. Konflik tersebut bukanlah
konflik kita. Penanganan konflik wajib mengedepankan empati terhadap
masyarakat. Inilah esensi people-centered approach dalam memenangkan perdamaian.
It’s not our wars so we have to put more efforts by placing
our feet on their ground. It’s not about us. It’s about them and what
they need to survive in this life.
Setelah berempati, maka akan semakin lengkap penderitaan seorang
peacekeepers. Seseorang yang jauh dari keluarga, bekerja dalam situasi
berbahaya dan masih harus memikirkan orang lain di negara yang sedang
konflik dimana konflik tersebut tidak ada kaitannya dengan kita. Bahkan
terkadang, keluarga sering terabaikan akibat tugas yang silih berganti
di daerah operasi. Mengapa peacekeepers mau melakukannya?.
Cause humanity…and peacekeepers are humans. Semakin
dalam kita menganalisa, semakin banyak pertanyaan yang muncul dan
semakin kita yakin bahwa waktu yang akan menjawab segala. Flying high my
Garuda in Lebanon, we certainly hope that you could provide the peace
that they have been waiting for. Though it’s hard but yet it is
so close.
p.s.: Although far but memory remains. For the land of Lebanon,
the beauty of its people and its environment. For you are truly the
diamonds of the Mediterranean. I am truly missing you.
Kapten Kav Ossy Dermawan
Former LO Konga XXIII-A/UNIFIL
Former LO Konga XXIII-A/UNIFIL
Sumber :
- pralalangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.