“Sekolah setinggi-tingginya. Posisikan diri jadi intelektual,
bukan tukang jotos. Kehidupan generasi sekarang sudah lebih mudah, maka
jangan sampai terlena. Belajarlah betul-betul. Kejayaan suatu negara
tergantung dari warganya.”
Muhadi sebagai Prajurit |
PERBUKITAN
TIRTOMOYO, Wonogiri, akhir tahun 1948. Lima belas orang pemuda tanggung
berseragam tentara menerabas semak belukar. Mereka mendapat instruksi
untuk menyisir hutan, mencari bekas-bekas persenjataan tentara Jepang
yang konon ditimbun di bawah tanah dan disembunyikan di dalam sumur.
Muhadi, kala itu 16 tahun, mengendap-ngendap sambil memegang karabennya erat-erat. Sunyi senyap. Hutan itu bekas arena pembantaian pejabat pamong praja, polisi, dan ulama, dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pertama, 4 Oktober 1948. Ia setengah berharap melihat sisa-sisa tengkorak atau tulang belulang manusia, yang untungnya sudah tak ada.
Namun, demikian juga dengan persenjataan sisa tentara Jepang. Semua raib.
Para anggota Tentara Pelajar Kompi I Detasemen II Brigade 17 itu berniat kembali ke Solo kota. Apa daya, ada kabar Belanda sudah masuk. Tak ada jalan lain kecuali bertahan di Wonogiri. Muhadi mengenang masa-masa itu dengan kegelian tersendiri, khususnya soal makanan. Sebagai anak kota yang terbiasa makan nasi, pertama kali makan tiwul—sejenis singkong yang diparut dan dikeringkan—campur kuah sayur, ia sama sekali tidak doyan.
“Saya sempat berpikir, ini makanan untuk kuda,” Muhadi terkekeh. “Tapi rakyat baik sekali pada kami. Mereka sendiri tidak pernah makan nasi.”
Muhadi berusia 13 tahun ketika pertama kali jadi pengungsi dari Semarang ke Salatiga. Tahun 1947, ketika Belanda masuk ke Salatiga, ia mengungsi lagi ke Solo, kali ini bersama pamannya. Tapi, saat Agresi Militer Belanda II terjadi, ia tak mau lagi ikut mengungsi. Ada rasa malu bila terus-terusan lari dari Belanda.
“Jadi, waktu teman-teman mengajak bergabung dengan Tentara Pelajar, saya langsung mau,” ia mengenang. “Waktu itu rasanya gagah jadi tentara. Lagipula masak teman-teman berjuang, saya tidur-tiduran di rumah. Malu.”
Ia belajar membongkar-pasang senjata dengan cepat. Teknik menembak pun segera dikuasainya. Tetap saja, sewaktu pertama kali menembaki tentara Belanda, Muhadi merasa grogi. Ia ingat betul, suatu sore, mereka bersembunyi di sebuah bukit daerah Wonogiri Selatan, menunggu truk tentara Belanda lewat. Tembakan para Tentara Pelajar (satu orang dapat jatah satu sabuk peluru yang isinya lebih kurang 35 butir), disambut dengan berondongan senjata oleh tentara Belanda. Persenjataan mereka memang jauh, lebih canggih.
Meski ngeri, Muhadi dan kawan-kawan bertahan sampai sekitar pukul enam sore. Karena hari sudah gelap, tentara Belanda mundur, meninggalkan perbekalan dan amunisi mereka. Tentara Pelajar ramai-ramai membongkarnya dengan gembira. Warga kampung dipanggil, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, mereka melihat dengan mata kepala sendiri makanan kaleng bernama corned beef.
“Sejak saat itu kami dan warga kampung makan enak,” kata Muhadi. “Ada juga pakaian untuk ganti, yang sangat berguna karena kami waktu itu hanya punya satu kemeja dan satu celana. Istilahnya thokji mbiji, kathok siji klambi siji (Jawa: celana satu baju satu-pen.). Saat mandi di kali, ya, kami telanjang saja beramai-ramai.”
Pada hari ketiga, bertepatan dengan tandasnya corned beef kalengan, tentara Belanda kembali dan menyerang kampung habis-habisan. Muhadi lupa apa nama kampungnya, yang jelas letaknya dekat perkampungan yang sekarang menjadi Kecamatan Baturetno, Wonogiri Selatan, perbatasan Pacitan, Jawa Timur. Para anggota Tentara Pelajar bertahan sebisanya menghadapi Belanda yang mengamuk. Seorang kawan Muhadi gugur di sini.
Muhadi, kala itu 16 tahun, mengendap-ngendap sambil memegang karabennya erat-erat. Sunyi senyap. Hutan itu bekas arena pembantaian pejabat pamong praja, polisi, dan ulama, dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pertama, 4 Oktober 1948. Ia setengah berharap melihat sisa-sisa tengkorak atau tulang belulang manusia, yang untungnya sudah tak ada.
Namun, demikian juga dengan persenjataan sisa tentara Jepang. Semua raib.
Para anggota Tentara Pelajar Kompi I Detasemen II Brigade 17 itu berniat kembali ke Solo kota. Apa daya, ada kabar Belanda sudah masuk. Tak ada jalan lain kecuali bertahan di Wonogiri. Muhadi mengenang masa-masa itu dengan kegelian tersendiri, khususnya soal makanan. Sebagai anak kota yang terbiasa makan nasi, pertama kali makan tiwul—sejenis singkong yang diparut dan dikeringkan—campur kuah sayur, ia sama sekali tidak doyan.
“Saya sempat berpikir, ini makanan untuk kuda,” Muhadi terkekeh. “Tapi rakyat baik sekali pada kami. Mereka sendiri tidak pernah makan nasi.”
Muhadi berusia 13 tahun ketika pertama kali jadi pengungsi dari Semarang ke Salatiga. Tahun 1947, ketika Belanda masuk ke Salatiga, ia mengungsi lagi ke Solo, kali ini bersama pamannya. Tapi, saat Agresi Militer Belanda II terjadi, ia tak mau lagi ikut mengungsi. Ada rasa malu bila terus-terusan lari dari Belanda.
“Jadi, waktu teman-teman mengajak bergabung dengan Tentara Pelajar, saya langsung mau,” ia mengenang. “Waktu itu rasanya gagah jadi tentara. Lagipula masak teman-teman berjuang, saya tidur-tiduran di rumah. Malu.”
Ia belajar membongkar-pasang senjata dengan cepat. Teknik menembak pun segera dikuasainya. Tetap saja, sewaktu pertama kali menembaki tentara Belanda, Muhadi merasa grogi. Ia ingat betul, suatu sore, mereka bersembunyi di sebuah bukit daerah Wonogiri Selatan, menunggu truk tentara Belanda lewat. Tembakan para Tentara Pelajar (satu orang dapat jatah satu sabuk peluru yang isinya lebih kurang 35 butir), disambut dengan berondongan senjata oleh tentara Belanda. Persenjataan mereka memang jauh, lebih canggih.
Meski ngeri, Muhadi dan kawan-kawan bertahan sampai sekitar pukul enam sore. Karena hari sudah gelap, tentara Belanda mundur, meninggalkan perbekalan dan amunisi mereka. Tentara Pelajar ramai-ramai membongkarnya dengan gembira. Warga kampung dipanggil, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, mereka melihat dengan mata kepala sendiri makanan kaleng bernama corned beef.
“Sejak saat itu kami dan warga kampung makan enak,” kata Muhadi. “Ada juga pakaian untuk ganti, yang sangat berguna karena kami waktu itu hanya punya satu kemeja dan satu celana. Istilahnya thokji mbiji, kathok siji klambi siji (Jawa: celana satu baju satu-pen.). Saat mandi di kali, ya, kami telanjang saja beramai-ramai.”
Pada hari ketiga, bertepatan dengan tandasnya corned beef kalengan, tentara Belanda kembali dan menyerang kampung habis-habisan. Muhadi lupa apa nama kampungnya, yang jelas letaknya dekat perkampungan yang sekarang menjadi Kecamatan Baturetno, Wonogiri Selatan, perbatasan Pacitan, Jawa Timur. Para anggota Tentara Pelajar bertahan sebisanya menghadapi Belanda yang mengamuk. Seorang kawan Muhadi gugur di sini.
Muhadi dan rekan satu regu Tentara Pelajar |
PENUGASAN
KEDUA regu Muhadi adalah di Solo Kota. Mereka bermarkas di daerah
Banyuanyar, dekat Stadion Manahan. Saat Serangan Umum Surakarta (7-10
Agustus 1949) berlangsung, regu pelajar Muhadi tidak diberi tugas di
garda depan. Menurut dia, saat itu tugas Tentara Pelajar lebih ke
memprovokasi lawan. Tapi, mereka ikut meruntuhkan Jembatan Nusukan, yang
dijaga tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). “Ambon-Ambon
baret hijau yang jago menembak,” cetus Muhadi. Mereka bertahan dari
ba’da Isya sampai sekitar pukul dua belas malam.
Setelah gencatan senjata, Tentara Pelajar diberi tugas patroli. Suatu kali, regu Muhadi yang sedang berpatroli tanpa sengaja bertemu dengan tentara Belanda yang sama-sama sedang patroli. Tentara Pelajar berdebar-debar. Kalau sampai bentrok, celakalah, sebab perbekalan senjata tak seimbang. Apa akal? Teman Muhadi yang piawai berbahasa Belanda dan cukup bernyali, maju ke depan.
“Berapa kekuatanmu?” Salah seorang tentara Belanda bertanya.
“Satu kompi!” Jawaban terdengar cukup yakin.
Ternyata, tentara Belanda percaya. Mereka mundur. Padahal, saat itu kekuatan Tentara Pelajar dan tentara Belanda kurang lebih sama-sama 15 orang. Dalam perang, Muhadi belajar, tak penting berapa usia dan persenjataanmu, asal urat nyali setebal baja.
Ia juga belajar tentang kesetiaan. Suatu kali, di Kaliyoso, Muhadi melihat wajah familiar di antara tentara Belanda yang sedang berpatroli: seorang kawan dari Siliwangi. Dengan kepala tertunduk, sang kawan berkata bahwa ia terpaksa bergabung dengan penjajah karena tekanan ekonomi.
“Jadi, jangan kira dalam tentara Belanda tidak ada orang kita,” kata Muhadi. “Tapi saya maklum saja. Waktu itu pendidikan susah, masih banyak orang buta huruf. Kemiskinan dan kebodohan membuat Belanda gampang merekrut mereka. Pelarian dari Jakarta Raya banyak yang bergabung di HAMOT.”
HAMOT adalah singkatan dari Hare Majesteits Ongeregelde Troepen, gerombolan “bandit” (dalam istilah sejarawan Australia, Robert Cribb, di buku Gangster and Revolutionaries. The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949, tahun 1991) asal Indonesia yang bekerja untuk pemerintahan Belanda pasca Proklamasi 1945.
Tiga hari sebelum pengakuan kedaulatan, tepatnya 24 Desember 1949, Muhadi dan kawan-kawan dipindahkan ke Semarang naik truk Belanda. Tugas Tentara Pelajar adalah mengambil alih kota-kota yang sebelumnya dikuasai Belanda. Bagi Muhadi, ini seperti pulang kampung. Ia mengitari kota Semarang dengan perasaan senang habis menang perang.
Ia mengambil potret dirinya yang berseragam di studio Yonathan, dekat Pasar Johar, milik seorang warga Tionghoa peranakan. Waktu itu pangkat Muhadi Prajurit I, dengan gaji 60 perak. Ia sudah bisa beli kemeja Arrow seharga 16 perak. “Wah, zaman dulu kalau sudah pakai kemeja Arrow, rasanya well-dressed sekali,” ia tergelak. Karena jasa-jasanya sebagai Tentara Pelajar, mulai tahun 1983 Muhadi mendapat pensiun sebesar Rp 450.000, yang jumlahnya tak pernah berubah sampai sekarang (“Untuk bayar telepon saja tidak cukup!”).
Tahun 1950, Muhadi kembali bersekolah. Mula-mula di Hogere Burger School (HBS) di daerah Siranda, lalu pindah ke Bodjong, yang sekarang bernama SMUN 3 Semarang. Mula-mula ia canggung dengan perubahan dari bedil ke buku. Tak semua kawannya mau kembali ke bangku sekolah. Banyak yang gagal. Maka itu, ketika ditanya pesan apa yang hendak ia titipkan untuk generasi muda agar bisa menghadapi Indonesia 70 tahun ke depan, Muhadi menjawab mantap.
“Sekolah setinggi-tingginya. Posisikan diri jadi intelektual, bukan tukang jotos. Kehidupan generasi sekarang sudah lebih mudah, maka jangan sampai terlena. Belajarlah betul-betul. Kejayaan suatu negara tergantung dari warganya.”
Muhadi menikahi Sumarti Sastrowardoyo, adik penyair Subagio Sastrowardoyo, dan tinggal di New York, Amerika Serikat, selama 21 tahun. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana dan master jurusan ilmu sosial di New York University. Kini, pasangan Muhadi dan Sumarti menghabiskan masa tua mereka di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. ***
Setelah gencatan senjata, Tentara Pelajar diberi tugas patroli. Suatu kali, regu Muhadi yang sedang berpatroli tanpa sengaja bertemu dengan tentara Belanda yang sama-sama sedang patroli. Tentara Pelajar berdebar-debar. Kalau sampai bentrok, celakalah, sebab perbekalan senjata tak seimbang. Apa akal? Teman Muhadi yang piawai berbahasa Belanda dan cukup bernyali, maju ke depan.
“Berapa kekuatanmu?” Salah seorang tentara Belanda bertanya.
“Satu kompi!” Jawaban terdengar cukup yakin.
Ternyata, tentara Belanda percaya. Mereka mundur. Padahal, saat itu kekuatan Tentara Pelajar dan tentara Belanda kurang lebih sama-sama 15 orang. Dalam perang, Muhadi belajar, tak penting berapa usia dan persenjataanmu, asal urat nyali setebal baja.
Ia juga belajar tentang kesetiaan. Suatu kali, di Kaliyoso, Muhadi melihat wajah familiar di antara tentara Belanda yang sedang berpatroli: seorang kawan dari Siliwangi. Dengan kepala tertunduk, sang kawan berkata bahwa ia terpaksa bergabung dengan penjajah karena tekanan ekonomi.
“Jadi, jangan kira dalam tentara Belanda tidak ada orang kita,” kata Muhadi. “Tapi saya maklum saja. Waktu itu pendidikan susah, masih banyak orang buta huruf. Kemiskinan dan kebodohan membuat Belanda gampang merekrut mereka. Pelarian dari Jakarta Raya banyak yang bergabung di HAMOT.”
HAMOT adalah singkatan dari Hare Majesteits Ongeregelde Troepen, gerombolan “bandit” (dalam istilah sejarawan Australia, Robert Cribb, di buku Gangster and Revolutionaries. The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949, tahun 1991) asal Indonesia yang bekerja untuk pemerintahan Belanda pasca Proklamasi 1945.
Tiga hari sebelum pengakuan kedaulatan, tepatnya 24 Desember 1949, Muhadi dan kawan-kawan dipindahkan ke Semarang naik truk Belanda. Tugas Tentara Pelajar adalah mengambil alih kota-kota yang sebelumnya dikuasai Belanda. Bagi Muhadi, ini seperti pulang kampung. Ia mengitari kota Semarang dengan perasaan senang habis menang perang.
Ia mengambil potret dirinya yang berseragam di studio Yonathan, dekat Pasar Johar, milik seorang warga Tionghoa peranakan. Waktu itu pangkat Muhadi Prajurit I, dengan gaji 60 perak. Ia sudah bisa beli kemeja Arrow seharga 16 perak. “Wah, zaman dulu kalau sudah pakai kemeja Arrow, rasanya well-dressed sekali,” ia tergelak. Karena jasa-jasanya sebagai Tentara Pelajar, mulai tahun 1983 Muhadi mendapat pensiun sebesar Rp 450.000, yang jumlahnya tak pernah berubah sampai sekarang (“Untuk bayar telepon saja tidak cukup!”).
Tahun 1950, Muhadi kembali bersekolah. Mula-mula di Hogere Burger School (HBS) di daerah Siranda, lalu pindah ke Bodjong, yang sekarang bernama SMUN 3 Semarang. Mula-mula ia canggung dengan perubahan dari bedil ke buku. Tak semua kawannya mau kembali ke bangku sekolah. Banyak yang gagal. Maka itu, ketika ditanya pesan apa yang hendak ia titipkan untuk generasi muda agar bisa menghadapi Indonesia 70 tahun ke depan, Muhadi menjawab mantap.
“Sekolah setinggi-tingginya. Posisikan diri jadi intelektual, bukan tukang jotos. Kehidupan generasi sekarang sudah lebih mudah, maka jangan sampai terlena. Belajarlah betul-betul. Kejayaan suatu negara tergantung dari warganya.”
Muhadi menikahi Sumarti Sastrowardoyo, adik penyair Subagio Sastrowardoyo, dan tinggal di New York, Amerika Serikat, selama 21 tahun. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana dan master jurusan ilmu sosial di New York University. Kini, pasangan Muhadi dan Sumarti menghabiskan masa tua mereka di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. ***
Penulis, Muhadi, dan Sumarti Sastrowardoyo |
Andina adalah jurnalis dan mahasiswa pascasarjana Ilmu Komunikasi,
Universitas Indonesia. Surat menyurat via andinadwifatma@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.