Hasilnya, menurut laporan lembaga itu, Indonesia termasuk negara berkategori flawed democracy (demokrasi bercacat) di peringkat ke-53. Secara keseluruhan, peringkat Indonesia di bawah negara-negara Asia dan Afrika, seperti Korea Selatan, Cape Verde, Afrika Selatan, Taiwan, India, Jamaika, serta Trinidad dan Tobago.
Dari lima indikator, skor tertinggi ada pada kebebasan sipil (7,65) dan partisipasi politik (7,50). Indikator lain fungsi pemerintahan (6,92), proses pemilu dan pluralisme (6,76), serta kultur politik (5,63).
Data EIU itu merefleksikan bahwa ada problem dalam demokrasi Indonesia. Rendahnya skor kultur politik ini berkaitan dengan persoalan tingginya kebebasan sipil dan partisipasi politik. Dalam hal ini, data itu ada hubungannya dengan wajah demokrasi Indonesia yang dekat dengan kekerasan.
Asumsi tersebut terkonfirmasikan dengan data IDI yang menyebutkan bahwa IDI pada tahun 2009 tercatat di angka 67,3 persen dan di tahun 2010 turun menjadi 63,17 persen karena kekerasan yang semakin meningkat.
Meskipun data itu telah berumur tiga tahun, setidaknya yang ditampilkan menunjukkan ada implikasi yang tegas dari peningkatan jumlah kekerasan terhadap demokrasi.
Jumlah kekerasan yang besar juga tak bisa dilepaskan dari masifnya titik konflik di Indonesia. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR September 2012 tahun lalu, Kapolri, Jenderal Polisi Timur Pradopo, menyebutkan bahwa ada setidaknya 1.600 titik rawan konflik tersebar di seluruh Indonesia. Kapolri juga menambahkan terjadi peningkatan jumlah kasus bentrokan dan konflik dari tahun 2011 sampai 2012.
Dalam konteks politik lokal, wajah kekerasan juga mencoreng demokrasi Indonesia. Kurang lebih satu bulan sekali terjadi kasus konflik berbau kekerasan.
Di Palopo, Sulawesi Selatan, akhir Maret lalu, rangkaian kegiatan Pemilu Kepala Daerah diwarnai pembakaran sejumlah tempat publik seperti kantor wali kota, kecamatan, Panwaslu, dan salah satu media massa lokal. Aksi kekerasan muncul karena ketidakpuasan dari salah satu pasangan calon terhadap proses penghitungan suara.
Akhir April lalu, di Rupit, Musi Rawas, Sumatra Selatan, terjadi tindak kekerasan yang telah memakan korban. Sedikitnya empat warga tewas dalam bentrok berdarah itu.
Bentrok itu diduga dipicu oleh keinginan sekelompok warga di Musi Rawas untuk membentuk kabupaten baru, yaitu Musi Rawas Utara (Muratara). Selain empat warga tewas, bentrok tersebut mengakibatkan 17 orang luka-luka dan dua kantor Polsek hangus terbakar, yaitu Polsek Muara Rupit dan Polsek Karang Gapo.
Setelah di Musi Rawas, di bulan Mei, ada juga kasus berkelahinya dua pengurus Partai Amanat Nasional (PAN) di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Wakil Sekretaris DPD PAN Kabupaten Muna, Amiluddin Kunsi, dan Sekretaris DPD PAN Muna, Ihlas Muhammad. Perkelahian keduanya diduga karena persoalan "rebutan" nomor urut dalam daftar calon di Pemilu. Akibat perkelahian itu, Amiluddin Kunsi meninggal dunia.
Belakangan, pengurus DPW PAN Sulawesi Tenggara membantah kematian Amiluddin Kunsi terjadi akibat perkelahian dengan sesama kader PAN. Ketua Perkaderan DPW PAN Provinsi Sultra, Suwandi Andi, menegaskan Kunsi tewas akibat serangan jantung. Akan tetapi, pihak kepolisian menyebutkan bahwa tewasnya Kunsi diduga terkena benda tumpul di sekitar bahu hingga leher korban.
Kasus di Palopo, Musi Rawas, dan Muna, hanya sedikit contoh betapa kekerasan "menghantui" demokrasi Indonesia. Kesamaan tiga kasus itu kekerasan yang merupakan ujung dari konflik akibat "perjuangan" meraih kekuasaan. Pertanyaannya kemudian, mengapa kekerasan sebagai buntut dari konflik akibat perebutan kekuasaan marak?
Itu tak bisa dilepaskan dari nature dan hakikat dari politik sebagai konflik. Austin Ranney (1989) menyebutkan bahwa "politics is conflict" karena politik bisa diartikan salah satunya sebagai persaingan untuk merebut kekuasaan.
Dalam konteks itu, gesekan atau konflik tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Yang jadi soal adalah cara masyarakat
menyelesaikan konflik. Henry B Mayo telah lama menegaskan bahwa masyarakat yang demokratis menyelesaikan konflik dengan cara damai dan melembaga. Kondisi kekinian Indonesia dapat diartikan belum sampai pada masyarakat yang demokratis.
Tak hanya itu, seperti sedikit disinggung sebelumnya, demokrasi juga tak jarang diartikan secara sempit hanya sebagai kebebasan dan jaminan atas hak politik individu. Tanggung jawab atas hak individu agar memperhatikan juga hak orang lain sering dikesampingkan.
Hal lain yang tak kalah pentingnya ialah lemahnya rule of law. Adrian Little, dalam bukunya, Democratic Piety: Complexity, Conflict, and Violence (2008), membuat penjelasanmengenai relasi antara demokrasi, konflik dan kekerasan. Menurut dia, konflik adalah ciri khas dari politik tidak demokratis, dan perwujudan dari konflik itu dapat mengarah pada kekerasan. Little juga mengatakan bahwa ketika terjadi kekerasan dalam sistem politik yang demokratis, perlu memusatkan analisis pada rule of law di negara itu.
Rule of law itu merupakan prinsip bahwa seluruh rakyat dan institusi di dalam sebuah negara adalah subjek dan bertanggung jawab di bawah hukum yang diterapkan dan ditegakkan dengan adil. O’Donnell (2005) menambahkan ketika rule of law diterapkan, tidak ada, termasuk pejabat yang menduduki posisi tertinggi di sebuah negara sekalipun, yang lebih tinggi dari hukum.
Dalam kasus-kasus konflik berbau kekerasan mana pun, pelakunya harus dihukum tanpa kecuali agar ada efek jera supaya masyarakat lain tidak berani bertindak kekerasan. Meminjam istilah Ferejohn dan Pasquno (2003), rakyat harus melihat konsekuensi hukum dari tindakan yang mereka lakukan. Pelaku kekerasan yang dihukum berat dan setelahnya di-publish oleh media massa dapat mengurangi peluang kekerasan terulang. Selain tegas dan tanpa pandang bulu, penegak hukum harus berwibawa dan disegani.
Untuk mencapai masyarakat yang demokratis, masih diperlukan waktu. Namun harus dirintis dari sekarang dengan memberi dan mendiseminasikan pendidikan politik antikekerasan oleh partai politik, DPR, KPU, pemerintah pusat dan daerah.
Terkait rule of law yang lemah, penegakan hukum menjadi mutlak. Hukum harus menjadi penguasa, bukan politik. Ke depan, kekerasan tidak boleh hidup. Kekerasan harus menjadi musuh bersama. Pelaku atau kelompok yang sering menerapkan kekerasan harus dihadapi bersama.
Oleh Ikhsan Darmawan
Penulis adalah dosen Ilmu Politik FISIP UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.