Kisah Penjaga Angkasa Indonesia
Jakarta - Letnan Satu (Pnb) Muhammad Idris Kurniawan. menjadi salah satu pilot muda Sukhoi dari Skuadron Udara XI Lapangan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Menjadi pilot pesawat tempur tentu membanggakan.
Namun, di sisi lain Idris sadar terselip kecemasan karena pekerjaan ini penuh risiko yang ditakutkan keluarganya. Jalan hidup sebagai pilot pesawat tempur sempat membuat Idris jauh dari ibunda yang berada di Sengkang, Sulawesi Selatan.
Sebagai anak tunggal, Idris sangat dekat dengan ibunya. Ia pun harus kuat jauh dari sosok Ibu ketika menjadi pilot pesawat tempur Hawk 100/200 di Skuadron I Lapangan Udara Supadio Pontianak, Kalimantan.
Kondisi itu berubah ketika Idris diperintahkan masuk jajaran pilot Sukhoi di Skadron XI Lanud Sultan Hasanuddin. Ia punya kesempatan tidak berjauhan dengan ibunya.
Namun, risiko lain ia harus berjauhan dengan istri yang berdomisili dan bekerja sebagai traffict control penerbangan di Pontianak.
Satu yang dilakukan Idris sebelum terbang adalah memberitahukan dulu kepada ibu dan istrinya , minta didoakan supaya diberi kelancaran.
“Prinsip saya sebelum terbang selalu ingat yang di Atas. Saya sayang keluarga. Intinya setelah terbang, bagaimana kita bisa berkomunikasi dan bertemu keluarga,” kata Idris kepada detikcom, Sabtu (17/8) lalu di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke 68 pekan lalu, Idris diberi kesempatan menunjukkan kemampuannya di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan masyarakat.
Meski ikut terbang sebagai pilot back set, ia merasa bangga bisa diberikan kesempatan di hari bersejarah bangsa. Baginya pilot front set dan back set punya mutual support yang saling membantu untuk menerbangkan shukoi jenis 30 MK2.
Hingga sekarang, pria kelahiran Bangka Belitung, 14 Juni 1985 ini sudah memiliki pengalaman 650 jam terbang mengawaki pesawat tempur. Termasuk sebelumnya menerbangkan Hawk 100/200.
Lulusan Akademi Angkatan Udara 20007 ini punya target ke depan sering menjadi pilot utama menerbangkan pesawat Shukoi. Di usia yang masih 28 tahun, ia berharap punya kesempatan meningkatkan jam terbang di pesawat buatan Rusia ini.
Salah satu pengalman yang paling diingat Idris adalah sekali ikut terbang dalam latihan Pitch Black setahun lalu di Darwin, Australia. “Tahun lalu itu saya paling junior. Tapi, senang karena merasakan sekali terbang di ajang latihan pesawat tempur terbesar di Asia Pasifik itu,” ujarnya.
Untuk meningkatkan rasa percaya dirinya, ia juga sering kali berkomunikasi dengan para pilot senior termasuk komandannya. Hal ini dilakukan untuk menerima masukan dan saran dari para pilot senior yang rata-rata memiliki pengalaman di atas 1800 jam terbang.
Setiap latihan rutin terutama operasi patroli di wilayah perbatasan, ia mengaku selalu mendapat nasehat dari mentornya. “Intinya, udara ini bukan habitat kita. Ada hal di luar nalar yang hanya bisa kita tahu sebagai pilot. Segala masukan dari para senior ya sangat bagus,” tuturnya.(erd/erd)
Letnan Satu (Pnb) Muhammad Idris Kurniawan (Foto - Istimewa) |
Namun, di sisi lain Idris sadar terselip kecemasan karena pekerjaan ini penuh risiko yang ditakutkan keluarganya. Jalan hidup sebagai pilot pesawat tempur sempat membuat Idris jauh dari ibunda yang berada di Sengkang, Sulawesi Selatan.
Sebagai anak tunggal, Idris sangat dekat dengan ibunya. Ia pun harus kuat jauh dari sosok Ibu ketika menjadi pilot pesawat tempur Hawk 100/200 di Skuadron I Lapangan Udara Supadio Pontianak, Kalimantan.
Kondisi itu berubah ketika Idris diperintahkan masuk jajaran pilot Sukhoi di Skadron XI Lanud Sultan Hasanuddin. Ia punya kesempatan tidak berjauhan dengan ibunya.
Namun, risiko lain ia harus berjauhan dengan istri yang berdomisili dan bekerja sebagai traffict control penerbangan di Pontianak.
Satu yang dilakukan Idris sebelum terbang adalah memberitahukan dulu kepada ibu dan istrinya , minta didoakan supaya diberi kelancaran.
“Prinsip saya sebelum terbang selalu ingat yang di Atas. Saya sayang keluarga. Intinya setelah terbang, bagaimana kita bisa berkomunikasi dan bertemu keluarga,” kata Idris kepada detikcom, Sabtu (17/8) lalu di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke 68 pekan lalu, Idris diberi kesempatan menunjukkan kemampuannya di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan masyarakat.
Meski ikut terbang sebagai pilot back set, ia merasa bangga bisa diberikan kesempatan di hari bersejarah bangsa. Baginya pilot front set dan back set punya mutual support yang saling membantu untuk menerbangkan shukoi jenis 30 MK2.
Hingga sekarang, pria kelahiran Bangka Belitung, 14 Juni 1985 ini sudah memiliki pengalaman 650 jam terbang mengawaki pesawat tempur. Termasuk sebelumnya menerbangkan Hawk 100/200.
Lulusan Akademi Angkatan Udara 20007 ini punya target ke depan sering menjadi pilot utama menerbangkan pesawat Shukoi. Di usia yang masih 28 tahun, ia berharap punya kesempatan meningkatkan jam terbang di pesawat buatan Rusia ini.
Salah satu pengalman yang paling diingat Idris adalah sekali ikut terbang dalam latihan Pitch Black setahun lalu di Darwin, Australia. “Tahun lalu itu saya paling junior. Tapi, senang karena merasakan sekali terbang di ajang latihan pesawat tempur terbesar di Asia Pasifik itu,” ujarnya.
Untuk meningkatkan rasa percaya dirinya, ia juga sering kali berkomunikasi dengan para pilot senior termasuk komandannya. Hal ini dilakukan untuk menerima masukan dan saran dari para pilot senior yang rata-rata memiliki pengalaman di atas 1800 jam terbang.
Setiap latihan rutin terutama operasi patroli di wilayah perbatasan, ia mengaku selalu mendapat nasehat dari mentornya. “Intinya, udara ini bukan habitat kita. Ada hal di luar nalar yang hanya bisa kita tahu sebagai pilot. Segala masukan dari para senior ya sangat bagus,” tuturnya.(erd/erd)
● detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.