Baru-baru ini Inggris telah melakukan uji coba kedua pesawat perang tak berawak, atau drone.
Pesawat yang mempunyai nama Taranis ini mampu menjalankan pengawasan, mengumpulkan informasi intelijen, dan menargetkan serangan tempur di darat maupun udara.
Dilansir Livescience, Rabu 23 Juli 2014, menurut BAE Systems, perusahaan kedirgantaraan Inggris yang bertanggung jawab dalam produksi Taranis, mengatakan pada 15 Juli lalu, burung besi itu telah menyelesaikan serangkaian ujicoba kedua penerbangannya.
Dalam uji coba itu, para operator menilai Taranis memiliki kecerdasan sebagai pesawat perang karena didukung dengan sistem komunikasi yang aman, mesin yang terintegrasi, hingga mempunyai teknologi siluman yakni memungkinkan Taranis dapat menghindari deteksi radar musuh.
Pesawat tak berawak ini mempunyai keunggulan lainnya yaitu mampu secara mandiri untuk lepas landas, mengarah ke area pencarian sasaran, mendeteksi target yang diincar sehingga dapat melakukan perencanaan mencari yang diincarnya, dan kendaraan ini mempunyai penilaian simulasi kerusakan saat menyerang dan pasca-serangan, sebelum melakukan pendaratan otomatis.
Selain itu, Taranis mempunyai kemampuan melakukan sasaran geo-lokasi dengan mengandalkan peta elektronik onboard yang bisa mendeteksi posisi target saat GPS sinyalnya macet.
"Taranis merupakan puncak dari teknik dan desain yang dirancang oleh penerbangan Inggris," ujar BAE Systems.
Berbentuk Panah
Kepala BAE Systems pengembangan bisnis Future Combat Air System (FCAS), Martin Rowe-Willcoks, mengatakan meskipun Taranis adalah program rahasia tapi untuk beberapa rincian tentang pesawat perang itu telah dirilis ke publik.
Hal ini, karenakan perusahaan Inggris masih dalam tahap pembangunan sebagian besar teknologinya, sehingga kata BAE Systems, perusahaan AS seperti General Electric dan Triumph Group berkontribusi dalam sistem penerbangan.
Taranis berbentuk seperti panah dengan lebar sayap yang membentang secara keseluruhan sekitar 10 meter.
Program perancangan Taranis ini mengeluarkan biaya sekitar US$316 juta, atau setara Rp 3,6 triliun sejak pertama kali resmi diluncurkan pada Juli 2010.
Pada kesempatan Farnborough International Airshow pada pertengahan Juli lalu, Inggris telah melakukan kerja sama dengan Pemerintah Prancis untuk melanjutkan pekerjaan pada Future Combat Air System dengan enam industrinya, yang salah satunya adalah BAE Systems.
Program tersebut akan menggelontorkan biaya US$205 juta, atau Rp 2,3 triliun.
Namun, ketika disinggung apakah kerja sama tersebut termasuk mendemonstrasikan teknologi prototipe, mereka enggan mengkonfirmasikannya.
Pesawat yang mempunyai nama Taranis ini mampu menjalankan pengawasan, mengumpulkan informasi intelijen, dan menargetkan serangan tempur di darat maupun udara.
Dilansir Livescience, Rabu 23 Juli 2014, menurut BAE Systems, perusahaan kedirgantaraan Inggris yang bertanggung jawab dalam produksi Taranis, mengatakan pada 15 Juli lalu, burung besi itu telah menyelesaikan serangkaian ujicoba kedua penerbangannya.
Dalam uji coba itu, para operator menilai Taranis memiliki kecerdasan sebagai pesawat perang karena didukung dengan sistem komunikasi yang aman, mesin yang terintegrasi, hingga mempunyai teknologi siluman yakni memungkinkan Taranis dapat menghindari deteksi radar musuh.
Pesawat tak berawak ini mempunyai keunggulan lainnya yaitu mampu secara mandiri untuk lepas landas, mengarah ke area pencarian sasaran, mendeteksi target yang diincar sehingga dapat melakukan perencanaan mencari yang diincarnya, dan kendaraan ini mempunyai penilaian simulasi kerusakan saat menyerang dan pasca-serangan, sebelum melakukan pendaratan otomatis.
Selain itu, Taranis mempunyai kemampuan melakukan sasaran geo-lokasi dengan mengandalkan peta elektronik onboard yang bisa mendeteksi posisi target saat GPS sinyalnya macet.
"Taranis merupakan puncak dari teknik dan desain yang dirancang oleh penerbangan Inggris," ujar BAE Systems.
Berbentuk Panah
Kepala BAE Systems pengembangan bisnis Future Combat Air System (FCAS), Martin Rowe-Willcoks, mengatakan meskipun Taranis adalah program rahasia tapi untuk beberapa rincian tentang pesawat perang itu telah dirilis ke publik.
Hal ini, karenakan perusahaan Inggris masih dalam tahap pembangunan sebagian besar teknologinya, sehingga kata BAE Systems, perusahaan AS seperti General Electric dan Triumph Group berkontribusi dalam sistem penerbangan.
Taranis berbentuk seperti panah dengan lebar sayap yang membentang secara keseluruhan sekitar 10 meter.
Program perancangan Taranis ini mengeluarkan biaya sekitar US$316 juta, atau setara Rp 3,6 triliun sejak pertama kali resmi diluncurkan pada Juli 2010.
Pada kesempatan Farnborough International Airshow pada pertengahan Juli lalu, Inggris telah melakukan kerja sama dengan Pemerintah Prancis untuk melanjutkan pekerjaan pada Future Combat Air System dengan enam industrinya, yang salah satunya adalah BAE Systems.
Program tersebut akan menggelontorkan biaya US$205 juta, atau Rp 2,3 triliun.
Namun, ketika disinggung apakah kerja sama tersebut termasuk mendemonstrasikan teknologi prototipe, mereka enggan mengkonfirmasikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.