Gagalnya Indonesia menjadi anggota Dewan International Civil Aviation Organization (ICAO) Part III periode 2016-2019, menimbulkan beragam pertanyaan, sebenarnya apa saja yang harus diperbaiki dalam sistem kedirgantaraan Indonesia?
Ada hal mendasar yang ternyata belum dipunyai Indonesia, khususnya di bidang keudaraan dan penerbangan. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU yang mengatur tentang kedaulatan negara, khususnya di ruang udara.
"Yang sudah ada sekarang adalah UU Negara RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang berbeda dengan UU kedaulatan negara. UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan bukan juga UU kedaulatan negara. Jadi sangat kecil bagaimana mengelola kedaulatan negara di udara," ujar pengamat pertahanan dan penerbangan Marsda TNI (Purn) Subandi Parto.
Hal ini disampaikan Subandi sebagai pembicara dalam seminar nasional yang membahas permasalahan di bidang kendaraan dan penerbangan di Persada Executive Club, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (26/10/2016).
Subandi mengatakan Indonesia memiliki keuntungan yang besar karena berada di tepat di garis khatulistiwa. Indonesia juga berada di posisi silang, yang artinya segala moda transportasi akan ada dan aktif di sana, tak hanya darat, namun juga laut dan udara.
"Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Tak hanya memiliki kedaulatan darat dan lautan, tapi juga memiliki wilayah kedaulatan udara. Wilayah udara Indonesia sendiri adalah 81 persen dari total wilayah udara ASEAN," kata dia.
Subandi menjelaskan akibat tak adanya UU yang mengatur tentang kedaulatan ruang udara, pihak lain dapat masuk ke dalam wilayah territorial kita tanpa harus takut dengan hukum dan aturan di negara tersebut.
"Saat ini yang yang ada baru UU wilayah dan baru soal penguasaan, saat ditanya mana pagarnya? Belum ada. Jadi orang bisa nyerobot ke sana ke sini. Kita mengibaratkan wilayah udara seperti ladang berpindah. Pagarnya saja belum ada, apalagi sertifikatnya," kata dia memberikan perumpamaan.
"Sehingga kita harus bikin sertifikatnya dengan cara membuat UU kedaulatan negara di ruang udara. Lalu setiap perbatasan dengan negara luar dipagari sama ADIZ (Air Defense Identification Zone-red), karena kalau ada ADIZ-nya semua pesawat yang terbang 5 menit sebelum masuk ADIZ harus mengidentifikasi identitasnya, kalau tidak ditembak, seperti di Korea," sambung Subandi.
Apabila Indonesia memiliki kedaulatan negara di udara, maka negara bisa membentuk majelis mahkamah militer peradilan tentang kejahatan kedaulatan di ruang udara. Dengan keputusan pidananya hukuman mati, penjara, kurungan atau denda.
"Kalau kita punya UU kedaulatan negara di udara, kita bisa bikin peradilan kejahatan di udara yang penyidiknya TNI AU. UU ini harus di-declare di dunia internasional biar mereka tahu ada kedaulatan negara di ruang negara," ujarnya.
Dia juga meminta kepada TNI AU sebagai pihak yang dianggap tepat untuk menjadi insiator terbentuknya UU kedaulatan negara ini. Apabila memiliki UU kedaulatan di ruang udara, Indonesia dapat memasang batas prohibited, restricted dan danger area.
"Nantinya Indonesia dapat mengadakan latihan operasi udara sepanjang tahun dan dapat melindungi dan mengontrol alur laut kepulauan Indonesia (ALKI)," kata Subandi. (rii/nwk)
Ada hal mendasar yang ternyata belum dipunyai Indonesia, khususnya di bidang keudaraan dan penerbangan. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU yang mengatur tentang kedaulatan negara, khususnya di ruang udara.
"Yang sudah ada sekarang adalah UU Negara RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang berbeda dengan UU kedaulatan negara. UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan bukan juga UU kedaulatan negara. Jadi sangat kecil bagaimana mengelola kedaulatan negara di udara," ujar pengamat pertahanan dan penerbangan Marsda TNI (Purn) Subandi Parto.
Hal ini disampaikan Subandi sebagai pembicara dalam seminar nasional yang membahas permasalahan di bidang kendaraan dan penerbangan di Persada Executive Club, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (26/10/2016).
Subandi mengatakan Indonesia memiliki keuntungan yang besar karena berada di tepat di garis khatulistiwa. Indonesia juga berada di posisi silang, yang artinya segala moda transportasi akan ada dan aktif di sana, tak hanya darat, namun juga laut dan udara.
"Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Tak hanya memiliki kedaulatan darat dan lautan, tapi juga memiliki wilayah kedaulatan udara. Wilayah udara Indonesia sendiri adalah 81 persen dari total wilayah udara ASEAN," kata dia.
Subandi menjelaskan akibat tak adanya UU yang mengatur tentang kedaulatan ruang udara, pihak lain dapat masuk ke dalam wilayah territorial kita tanpa harus takut dengan hukum dan aturan di negara tersebut.
"Saat ini yang yang ada baru UU wilayah dan baru soal penguasaan, saat ditanya mana pagarnya? Belum ada. Jadi orang bisa nyerobot ke sana ke sini. Kita mengibaratkan wilayah udara seperti ladang berpindah. Pagarnya saja belum ada, apalagi sertifikatnya," kata dia memberikan perumpamaan.
"Sehingga kita harus bikin sertifikatnya dengan cara membuat UU kedaulatan negara di ruang udara. Lalu setiap perbatasan dengan negara luar dipagari sama ADIZ (Air Defense Identification Zone-red), karena kalau ada ADIZ-nya semua pesawat yang terbang 5 menit sebelum masuk ADIZ harus mengidentifikasi identitasnya, kalau tidak ditembak, seperti di Korea," sambung Subandi.
Apabila Indonesia memiliki kedaulatan negara di udara, maka negara bisa membentuk majelis mahkamah militer peradilan tentang kejahatan kedaulatan di ruang udara. Dengan keputusan pidananya hukuman mati, penjara, kurungan atau denda.
"Kalau kita punya UU kedaulatan negara di udara, kita bisa bikin peradilan kejahatan di udara yang penyidiknya TNI AU. UU ini harus di-declare di dunia internasional biar mereka tahu ada kedaulatan negara di ruang negara," ujarnya.
Dia juga meminta kepada TNI AU sebagai pihak yang dianggap tepat untuk menjadi insiator terbentuknya UU kedaulatan negara ini. Apabila memiliki UU kedaulatan di ruang udara, Indonesia dapat memasang batas prohibited, restricted dan danger area.
"Nantinya Indonesia dapat mengadakan latihan operasi udara sepanjang tahun dan dapat melindungi dan mengontrol alur laut kepulauan Indonesia (ALKI)," kata Subandi. (rii/nwk)
♖ detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.