Jakarta - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto
mengatakan Indonesia harus memprioritaskan pembangunan alat utama
sistem persenjataan (alutsista) agar disegani negara lain.
"Indonesia memiliki potensi untuk membangun alutsista, paling tidak memenuhi standar minimal essential force, asalkan ada kemauan politik yang kuat," kata Endriartono di hadapan sekitar seratus mahasiswa peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) di Depok, Jawa Barat, Kamis (15/11).
Endriartono menjadi pembicara utama pada pelatihan PPSDMS yang diikuti mahasiswa perguruan tinggi negeri dari Jakarta, Depok dan Bogor atas undangan pimpinan lembaga tersebut.
Ia menjelaskan, Indonesia adalah negara besar dengan penduduk sekitar 243 juta jiwa, memiliki sekitar 17.000 pulau besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke serta wilayah laut terpanjang di dunia. "Namun Indonesia sering dilecehkan oleh negara-negara lain, termasuk oleh negara tetangga," katanya.
Endriartono yang menduduki jabatan sebagai Panglima TNI pada 2002-2006 ini menjelaskan, ketika terjadi Tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, ia memerintahkan untuk mengerahkan tank Scorpion milik TNI ke lokasi bencana.
Menurut dia, pengerahan tank Scorpion produksi Inggris ke lokasi bencana untuk memberikan bantuan kepada korban hidup yang terisolasi. "Namun hal ini dilarang Inggris dengan alasan melanggar kontrak kerja sama," katanya.
Endriartono kemudian memerintahkan PT Pindad untuk memproduksi panser yang bisa dioperasikan di lokasi bencana. Dia memberikan tenggat waktu hanya tiga bulan. "Dalam kondisi terdesak PT Pindad mampu merealisasikannya, meskipun hasilnya masih seadanya. Panser tersebut dibuat dengan bahan baku antara lain dari sasis produksi Jepang," katanya.
Endriartono menilai, jika hanya dalam waktu tiga bulan PT Pindad mampu memproduksi panser meskipun masih sekadarnya, maka jika diberi waktu lebih lama tentu bisa memproduksi panser yang lebih baik. Ia kemudian memerintahkan lagi PT Pindad untuk memproduksi panser yang baik tanpa batasan waktu.
"Hasilnya PT Pindad mampu memproduksi panser Anoa, yang kemudian diminati oleh sejumlah negara," katanya.
Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengakui panser Anoa produksi PT Pindad memenuhi persyaratan untuk operasional PBB. Endriartono menambahkan, demikian juga untuk senjata serbu, semula PT Pindad memproduksi senjata jenis SP1 yang digunakan ketika perang melawan Fretilin di Timor-Timur.
"Setelah diketahui banyak kelemahan, PT Pindad memperbaikinya dengan memproduksi senjata jenis SS1 dan kemudian SS2, yang memiliki tingkat akurasi sangat tinggi," katanya.
Endriartono menegaskan, dari pengalaman-pengalaman tersebut, sesungguhnya mampu memproduksi alutsista secara mandiri, paling tidak untuk memenuhi standar minimal "essensial force". Jika Indonesia memprioritaskan pembangunan alutsista, menurut dia, maka disegani negara lain.
"Indonesia memiliki potensi untuk membangun alutsista, paling tidak memenuhi standar minimal essential force, asalkan ada kemauan politik yang kuat," kata Endriartono di hadapan sekitar seratus mahasiswa peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) di Depok, Jawa Barat, Kamis (15/11).
Endriartono menjadi pembicara utama pada pelatihan PPSDMS yang diikuti mahasiswa perguruan tinggi negeri dari Jakarta, Depok dan Bogor atas undangan pimpinan lembaga tersebut.
Ia menjelaskan, Indonesia adalah negara besar dengan penduduk sekitar 243 juta jiwa, memiliki sekitar 17.000 pulau besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke serta wilayah laut terpanjang di dunia. "Namun Indonesia sering dilecehkan oleh negara-negara lain, termasuk oleh negara tetangga," katanya.
Endriartono yang menduduki jabatan sebagai Panglima TNI pada 2002-2006 ini menjelaskan, ketika terjadi Tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, ia memerintahkan untuk mengerahkan tank Scorpion milik TNI ke lokasi bencana.
Menurut dia, pengerahan tank Scorpion produksi Inggris ke lokasi bencana untuk memberikan bantuan kepada korban hidup yang terisolasi. "Namun hal ini dilarang Inggris dengan alasan melanggar kontrak kerja sama," katanya.
Endriartono kemudian memerintahkan PT Pindad untuk memproduksi panser yang bisa dioperasikan di lokasi bencana. Dia memberikan tenggat waktu hanya tiga bulan. "Dalam kondisi terdesak PT Pindad mampu merealisasikannya, meskipun hasilnya masih seadanya. Panser tersebut dibuat dengan bahan baku antara lain dari sasis produksi Jepang," katanya.
Endriartono menilai, jika hanya dalam waktu tiga bulan PT Pindad mampu memproduksi panser meskipun masih sekadarnya, maka jika diberi waktu lebih lama tentu bisa memproduksi panser yang lebih baik. Ia kemudian memerintahkan lagi PT Pindad untuk memproduksi panser yang baik tanpa batasan waktu.
"Hasilnya PT Pindad mampu memproduksi panser Anoa, yang kemudian diminati oleh sejumlah negara," katanya.
Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengakui panser Anoa produksi PT Pindad memenuhi persyaratan untuk operasional PBB. Endriartono menambahkan, demikian juga untuk senjata serbu, semula PT Pindad memproduksi senjata jenis SP1 yang digunakan ketika perang melawan Fretilin di Timor-Timur.
"Setelah diketahui banyak kelemahan, PT Pindad memperbaikinya dengan memproduksi senjata jenis SS1 dan kemudian SS2, yang memiliki tingkat akurasi sangat tinggi," katanya.
Endriartono menegaskan, dari pengalaman-pengalaman tersebut, sesungguhnya mampu memproduksi alutsista secara mandiri, paling tidak untuk memenuhi standar minimal "essensial force". Jika Indonesia memprioritaskan pembangunan alutsista, menurut dia, maka disegani negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.