17 Mei 1962, Letnan Udara Manuhua memimpin anak buahnya terjun di Klamono, Irian Barat. Mereka adalah salah satu pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara Republik Indonesia yang tergabung dalam Operasi Serigala.
Sama seperti operasi lain, pasukan ini pun kesulitan saat mendarat. Rata-rata pasukan mendarat di puncak pohon setinggi 50 meter. Banyak yang ditemukan dalam kondisi lemah dengan tulang yang patah.
Dari pasukan yang diterjunkan, hanya 15 orang yang bisa berkumpul di belantara Papua. Kondisi kesehatan pasukan tak begitu baik dan kekurangan makanan.
Hal ini dikisahkan dalam buku 52 Tahun Infiltrasi PGT di Irian Barat, Bertahan dan Diburu di Belantara Irian. Buku Terbitan Majalah Angkasa ini ditulis Beny Adrian dan diluncurkan di Jakarta, Jumat (25/4) lalu di Jakarta.
Letnan Manuhua membagi pasukannya jadi dua tim. Yang pertama untuk misi sabotase, sisanya stand by menunggu perintah.
Tim sabotase dipimpin Manuhua dibantu Sutarmono. Pengawalnya Angkow, Muis, Hamid Umar, Kusaeri, Suyatno dan Silitibun.
Mereka bergerak dalam hutan. Setelah berhari-hari, mereka menemukan kampung kecil berisi beberapa rumah dan gereja.
Pasukan kecil itu beristirahat semalam di sebuah gubuk di pinggir desa. Keesokan harinya seorang penduduk meminta mereka dengan ramah untuk pindah ke tempat yang katanya lebih aman. Manuhua dan pasukannya pun diberi makanan berupa pisang dan sagu.
Tanpa curiga mereka pindah ke tempat baru. Baru beristirahat sebentar, seorang anggota curiga. Lewat celah dinding dia melihat beberapa serdadu Belanda mendekat. Benar saja. Ini jebakan.
Pasukan Belanda memberondong gubuk itu dengan ratusan peluru. Rupanya gubuk itu sengaja disiapkan sebagai killing ground. Saking gencarnya, Sutarmono mengingat tembakan Belanda ibarat air yang disemprotkan dengan deras dari selang.
Prajurit Udara I Sugiyanto tewas dalam serangan ini. Kopral Muis tertembak di kaki.
Sutarmono menyelamatkan diri keluar gubuk. Dia melihat dua tentara Belanda memberondong gubuk dengan bren. Prajurit Udara I itu meraih senapan G3 miliknya. Dibidiknya dua Belanda itu.
Dor! Dor! Keduanya roboh ditembus peluru 7,62 mm dari senapan G3.
Sutarmono melihat seorang Belanda lain di dekatnya. Serdadu itu pun berhasil dihabisi. Sutarmono kemudian mengambil bren milik Belanda.
Namun kegembiraannya tak lama. Dia melihat komandannya Letnan Manuhua yang sudah terluka terus diberondong peluru oleh Belanda hingga tewas.
Walau berat Sutarmono terpaksa meninggalkan tempat itu. Dia menutupi tubuhnya dengan tanah dan daun-daunan. Demikian ahlinya Sutarmono hingga tak ketahuan Belanda yang lewat di dekatnya.
Sutarmono bisa bergabung dengan tim kedua yang stand by. Dia kembali masuk hutan. Namun beberapa hari kemudian pertempuran pecah. Dua orang rekan Sutarmono tewas, sementara dirinya dan tiga rekan ditangkap Belanda.
Dalam tahanan di Sorong, Sutarmono mengaku bernama Sutardjo. Namun kemudian dia ketahuan juga. Seperti tahanan lain, Sutarmono disiksa.
Dia mengingat yang paling kejam adalah polisi Belanda dari Jombang, Jawa Timur yang beristrikan wanita Belanda. Dia mengingat tak semua jahat, ada juga tentara Belanda yang bersimpati pada para gerilyawan.
Sutarmono baru dibebaskan dan dikembalikan ke tanah air tahun berikutnya saat tercapai gencatan senjata Indonesia-Belanda di bawah PBB.[ren]▪
♞ Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.