KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna (Foto: Jabbar/detikcom) ♚
Presiden Joko Widodo mengarahkan Indonesia menjadi negara poros maritim dunia. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam trisakti dan nawacita.
Dalam rangka mewujudkan negara poros maritim dunia, TNI AU menggelar Seminar Kedirgantaraan. Bertempat di Persada Purnawira Halim Perdanakusuma acara dibuka oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna.
Agus Supriatna menyampaikan dalam seminar ini akan dianalisa dan didiskusikan kekuatan dan posisi TNI AU. Sehingga dapat dilihat batas kekuatannya dalam mendukung tujuan poros maritim dunia.
"Sistem pertahanan maritim mampu menentukan Angkatan Laut yang kuat dan juga perlu kekuatan Angkatan Udara yang kapabel," ujar Agus Supriatna pada sambutannya, Senin (25/4/2016).
"Berarti kan, TNI AU ini harus dapat mengkover semua kegiatan-kegiatan naval forces. Dengan seminar ini, nantinya semua peserta dapat menganalisa, dapatkah kekuatan yang ada sekarang ini mendukung atau bagaimana peran TNI AU mewujudkan poros maritim dunia ini?," lanjutnya.
Karena dalam perwujudan poros maritim dunia, Indonesia juga perlu memperhatikan aspek regional. Di antaranya ialah konflik perbatasan dan isu kedaulatan negara, kepentingan akan sumber daya alam baik sumber daya air, tanah maupun energi juga menyangkut pelanggaran melintasi wilayah udara dan laut NKRI oleh pesawat atau kapal asing di wilayah NKRI.
Agus Supriatna mengutip pokok kebijakan Panglima TNI 2014 yang menyatakan bahwa peran TNI AU untuk dapat menunjukan superioritasnya di udara untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara maritim. Namun ia mengakui bahwa dalam aspek penguasaan laut, TNI AU masih kurang.
"Jika kita tinjau dari aspek penguasaan laut, secara jujur belum bisa dilakukan dengan optimal. Sebab perlatan alutsista yang dipunya masih belum sebanding dengan wilayah yang harus diawasi," tuturnya.
TNI AU Akui Belum Bisa Awasi Perairan Indonesia Lewat Udara Secara Optimal
Indonesia memiliki wilayah daratan dan lautan yang luas. Namun dalam aspek penguasaan laut, pengawasan belum dapat dilakukan dengan optimal.
Hal ini disampaikan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna dalam Seminar Kedirgantaraan yang digelar di Persada Purnawira Halim Perdanakusuma, Jakarta. Menurutnya, alutsista yang dipunya saat ini belum sebanding dengan luas wilayah yang diawasi.
"Jika kita tinjau dari aspek penguasaan laut, secara jujur belum bisa dilakukan dengan optimal. Sebab perlatan alutsista yang dipunya tidak sebanding dengan luas wilayah yang diawasi," ujar Agus kepada wartawan di lokasi, Senin (25/4/2016).
Agus menyebutkan, untuk mengatasi pelanggaran udara dan laut yang dilakukan oleh negara asing, Indonesia masih masih mengandalkan radar dan pesawat tempur.
Sementara, Indonesia memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang begitu luas. ALKI ialah alur pelayaran dan penerbangan yang digunakan sebagai perlintasan berdasarkan konvensi hukum laut internasional.
"Sehingga, seperti yang saya sampaikan juga, sementara untuk mendukung poros maritim dunia dengan ALKI 1, 2, 3 yang begitu luas, berarti kan harus ada kekuatan udara yang bisa cepat hadir dimana saja," ucap jenderal bintang empat ini.
Agus mencontohkan untuk ALKI I yang melingkupi wilayah Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda dibutuhkan minimal 4 pesawat untuk melaksanakan operasi pengawasan.
Tentang pesawat yang dimaksud, Agus mengatakan TNI AU memerlukan pesawat intai maritim taktis. Yaitu pesawat yang bisa berfungsi ganda, contohnya pesawat amfibi seperti Albatros dan Catalina.
"Diperlukan satu alutsista yang bisa menjangkau blindspot dengan cepat. Diperlukan pesawat intai maritim taktis. Sejarah telah membuktikan TNI AU pernah mengoperasikan pesawat amfibi sejak tahun '50 hingga '80. Baik untuk kepentingan militer, angkut maupun SAR," ucapnya.
Soal rencana ini, menurut Agus, TNI AU menyerahkan model pesawat yang dibutuhkannya kepada Kementerian Pertahanan. TNI AU hanya akan memberikan spesifikasi teknis pesawat yang dibutuhkan untuk menunjang kinerja pengawasan laut tersebut.
"Masalah hasilnya pesawatnya apa, nanti tanyakan ke Kemhan. Kalau kita hanya spektek. Kemampuannya seperti apa, bisa bawa senjata, ya harus bisa bawa senjata. Untuk keamanan laut kan memang harus bisa bawa senjata juga. Nah itu nanti dilihat, misalnya dari negara mana bisa dibolehkan bawa senjata gak? Kalau gak boleh kan berarti gak bisa," ungkap Agus. (rvk/rvk)
Presiden Joko Widodo mengarahkan Indonesia menjadi negara poros maritim dunia. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam trisakti dan nawacita.
Dalam rangka mewujudkan negara poros maritim dunia, TNI AU menggelar Seminar Kedirgantaraan. Bertempat di Persada Purnawira Halim Perdanakusuma acara dibuka oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna.
Agus Supriatna menyampaikan dalam seminar ini akan dianalisa dan didiskusikan kekuatan dan posisi TNI AU. Sehingga dapat dilihat batas kekuatannya dalam mendukung tujuan poros maritim dunia.
"Sistem pertahanan maritim mampu menentukan Angkatan Laut yang kuat dan juga perlu kekuatan Angkatan Udara yang kapabel," ujar Agus Supriatna pada sambutannya, Senin (25/4/2016).
"Berarti kan, TNI AU ini harus dapat mengkover semua kegiatan-kegiatan naval forces. Dengan seminar ini, nantinya semua peserta dapat menganalisa, dapatkah kekuatan yang ada sekarang ini mendukung atau bagaimana peran TNI AU mewujudkan poros maritim dunia ini?," lanjutnya.
Karena dalam perwujudan poros maritim dunia, Indonesia juga perlu memperhatikan aspek regional. Di antaranya ialah konflik perbatasan dan isu kedaulatan negara, kepentingan akan sumber daya alam baik sumber daya air, tanah maupun energi juga menyangkut pelanggaran melintasi wilayah udara dan laut NKRI oleh pesawat atau kapal asing di wilayah NKRI.
Agus Supriatna mengutip pokok kebijakan Panglima TNI 2014 yang menyatakan bahwa peran TNI AU untuk dapat menunjukan superioritasnya di udara untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara maritim. Namun ia mengakui bahwa dalam aspek penguasaan laut, TNI AU masih kurang.
"Jika kita tinjau dari aspek penguasaan laut, secara jujur belum bisa dilakukan dengan optimal. Sebab perlatan alutsista yang dipunya masih belum sebanding dengan wilayah yang harus diawasi," tuturnya.
TNI AU Akui Belum Bisa Awasi Perairan Indonesia Lewat Udara Secara Optimal
Indonesia memiliki wilayah daratan dan lautan yang luas. Namun dalam aspek penguasaan laut, pengawasan belum dapat dilakukan dengan optimal.
Hal ini disampaikan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna dalam Seminar Kedirgantaraan yang digelar di Persada Purnawira Halim Perdanakusuma, Jakarta. Menurutnya, alutsista yang dipunya saat ini belum sebanding dengan luas wilayah yang diawasi.
"Jika kita tinjau dari aspek penguasaan laut, secara jujur belum bisa dilakukan dengan optimal. Sebab perlatan alutsista yang dipunya tidak sebanding dengan luas wilayah yang diawasi," ujar Agus kepada wartawan di lokasi, Senin (25/4/2016).
Agus menyebutkan, untuk mengatasi pelanggaran udara dan laut yang dilakukan oleh negara asing, Indonesia masih masih mengandalkan radar dan pesawat tempur.
Sementara, Indonesia memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang begitu luas. ALKI ialah alur pelayaran dan penerbangan yang digunakan sebagai perlintasan berdasarkan konvensi hukum laut internasional.
"Sehingga, seperti yang saya sampaikan juga, sementara untuk mendukung poros maritim dunia dengan ALKI 1, 2, 3 yang begitu luas, berarti kan harus ada kekuatan udara yang bisa cepat hadir dimana saja," ucap jenderal bintang empat ini.
Agus mencontohkan untuk ALKI I yang melingkupi wilayah Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda dibutuhkan minimal 4 pesawat untuk melaksanakan operasi pengawasan.
Tentang pesawat yang dimaksud, Agus mengatakan TNI AU memerlukan pesawat intai maritim taktis. Yaitu pesawat yang bisa berfungsi ganda, contohnya pesawat amfibi seperti Albatros dan Catalina.
"Diperlukan satu alutsista yang bisa menjangkau blindspot dengan cepat. Diperlukan pesawat intai maritim taktis. Sejarah telah membuktikan TNI AU pernah mengoperasikan pesawat amfibi sejak tahun '50 hingga '80. Baik untuk kepentingan militer, angkut maupun SAR," ucapnya.
Soal rencana ini, menurut Agus, TNI AU menyerahkan model pesawat yang dibutuhkannya kepada Kementerian Pertahanan. TNI AU hanya akan memberikan spesifikasi teknis pesawat yang dibutuhkan untuk menunjang kinerja pengawasan laut tersebut.
"Masalah hasilnya pesawatnya apa, nanti tanyakan ke Kemhan. Kalau kita hanya spektek. Kemampuannya seperti apa, bisa bawa senjata, ya harus bisa bawa senjata. Untuk keamanan laut kan memang harus bisa bawa senjata juga. Nah itu nanti dilihat, misalnya dari negara mana bisa dibolehkan bawa senjata gak? Kalau gak boleh kan berarti gak bisa," ungkap Agus. (rvk/rvk)
♚ detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.