China Banjiri Bantuan, Indonesia dalam Konflik Laut China Selatan Harus Netral
SEBAGAI
upaya menandingi pengaruh Amerika Serikat di Indonesia, China
membanjiri Indonesia dengan berbagai program bantuan. Menurut Country
Manager-Indonesia IHS Jane’s Defense, Risk & Security, Alman Helvas
Ali, Indonesia tidak boleh memihak pada salah satu negara tersebut.
"Indonesia
harus jadi kekuatan penyeimbang di antara dua kekuatan besar yang kini
tengah bersaing dikawasan Asia Pasifik itu," kata Alman Helvas Ali di
jakarta, Jumat (6/7).
Menurutnya,
banjir bantuan yang ditawarkan oleh China kepada Indonesia di bidang
pertahanan merupakan bagian dari upaya negeri tirai bambu untuk
menandingi pengaruh Amerika Serikat di Indonesia. Bagi Alman, pandangan
China yang strategis terhadap Indonesia tidak hanya karena faktor posisi
geografis Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Peran Indonesia di ASEAN
dan kawasan Asia Pasifik pun menjadi alasan China merangkul Indonesia,
apalagi jika mengingat kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.
"Dengan
kondisi ini, China ingin menjadikan Indonesia sebagai security bumper
terhadap Amerika Serikat. Konstruksi seperti ini harus dipahami betul
oleh Indonesia, khususnya dalam menjalin kerja sama pertahanan dengan
China," ujarnya.
Namun
begitu, menurut Kepala Seksi Amerika Subdit Bilateral Kerja sama
Internasional Kemhan RI Letkol Laut (KH) Abdul Rivai Ras menilai,
Indonesia pun dapat mengambil keuntungan dari kondisi ini. "Indonesia
dapat memainkan peran di kawasan untuk mewujudkan dynamic equilibrium
melalui kerja sama yang pragmatis dan realistik," kata Rivai.
Rivai
memaparkan, Indonesia dapat mendorong kerja sama keamanan dalam konteks
ASEAN-Cina (Defence Diplomacy on SCS), memanfaatkan keunggulan Cina
melalui Defence Industry for Navy, mengembangkan model kerja sama
keamanan maritim yang berbasis pada konsep MDA, penegakan hukum dan MCS,
serta membangun forum interaksi pertukaran informasi dan studi maritim
dan mengefektifkan Navy to Navy Talk. Indonesia pun dapat melakukan
latihan bersama dalam bidang HADR (non traditional security
cooperation).
Konflik Laut China Selatan Dinilai Rusak Stabilitas Kawasan
COUNTRY
Manager-Indonesia, IHS Jane’s Defense, Risk & Security Alman Helvas
Ali menyatakan, perkembangan lingkungan strategis di Laut China Selatan
dewasa ini cenderung kurang kondusif bagi penciptaan stabilitas
kawasan. Hal itu didasari sikap China yang tak bisa kompromi yang
direspon oleh negara lawan.
Menurut
Alman, klaim China atas Laut Cina Selatan yang berdasarkan pada alasan
sejarah merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh negara-negara lain
di kawasan.
"Asertivitas
China atas klaimnya tersebut dapat dikatakan tidak mengenal kompromi
dan memaksakannya kepada negara-negara lain di sekitar perairan itu.
Bahkan dalam perkembangan terakhir China menolak adanya suatu CoC (Code
of Conduct) yang mengikat secara hukum karena dianggap sebagai suatu
perjanjian internasional yang mengkompromikan klaim negeri itu atas
seluruh Laut China Selatan,"kata Alman Helvas Ali di Jakarta, Jumat
(6/7).
Menurutnya,
sikap China ini menimbulkan kontribusi negatif terhadap stabilitas
kawasan dan memunculkan skeptisme banyak kalangan terhadap efektivitas
CoC nantinya.
Selain
itu, sikap China ini membuat Filipina dan Vietnam menjadi lebih keras
baik dalam tingkat operasional maupun diplomatik. Kedua negara ini juga
aktif mengundang peran pihak ketiga guna memperkuat posisinya, baik pada
aspek pertahanan maupun ekonomi.
Dia
mencontohkan, Amerika Serikat telah memberikan dua fregat buatan 1967
eks cutter US Coast Guard kepada Angkatan Laut Filipina lewat program
Excess Defense Article (EDA). Pada 2 Juli 2012 Filipina juga
menandatangani kerjasama pertahanan dengan Jepang yang difokuskan pada
keamanan maritim.
Menurut
Alman, peran Amerika Serikat ini merupakan bagian dari upaya untuk
menghadang kebangkitan China. Kebijakan pertahanan Amerika Serikat yang
diumumkan oleh Presiden Obama pada 5 Januari 2012 menetapkan bahwa
negara itu akan segera meningkatkan kehadiran militernya di kawasan ini.
"Salah
satu implementasinya adalah rencana penempatan 60 persen kekuatan
Angkatan Laut Amerika Serikat di kawasan pada 2020 sebagaimana
dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta pada 2 Juni 2012 di
Singapura dalam The Shangri-La Dialogue,"jelasnya.
Selain
itu, India juga ikut meningkatkan kehadirannya di kawasan Laut China
Selatan baik secara militer maupun secara ekonomi. India setiap tahunnya
secara rutin menyebarkan flotila Angkatan Laut ke perairan itu untuk
melakukan kunjungan muhibah dan latihan bersama dengan Angkatan Laut di
sekitar Laut China Selatan dan Asia Timur.
Alman
mencontohkan, Angkatan Laut India bersama dengan Angkatan Laut Amerika
Serikat setiap tahun menggelar Latihan Malabar di sekitar Laut Filipina
yang berbatasan dengan Laut China Selatan.
Alman
pun menilai, adanya perbedaan kepentingan daribeberapa negara ASEAN
dalam merespon konflik Laut China Selatan membuat organisasi kawasan ini
sulit untuk menyatukan sikap. "ASEAN terbelah sikap tentang apakah
harus bersikap kooperatif atau konfrontatif menghadapi asertivitas China
di Laut Cina Selatan,"ujarnya.
Menurutnya,
ketidaksolidan ASEAN secara tidak langsung menjadi pintu masuk bagi
aktor non ASEAN untuk masuk guna menyisipkan agenda kepentingan
nasionalnya masing-masing.
Pengamat: Klaim China dapat Ganggu Kedaulatan Indonesia
COUNTRY
Manager-Indonesia, IHS Jane’s Defense, Risk & Security Alman Helvas
Ali menyatakan, kerja sama pertahanan Indonesia-China dapat dinilai
sebagai kerja sama pertahanan yang sangat signifikan bagi kepentingan
Indonesia dibandingkan kerja sama serupa dengan negara-negara lain.
Namun
begitu, klaim sepihak China mengganggu kedaulatan Indonesia. Indonesia
pun memiliki kepentingan terhadap sengketa di Laut China Selatan.
Menurut
Alman, Indonesia yang tidak turut mengklaim wilayah di perairan Laut
China mulai terganggu oleh klaim sepihak China pada 1993 ketika
menerbitkan peta unilateral Laut China Selatan. Peta berupa sembilan
garis putus-putus di Laut China Selatan atau yang dikenal dengan Nine
Dotes Lines, U Shape Lines atau Nine-Dash Line, mencaplok pula Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di utara Kepulauan Natuna.
"Padahal
di wilayah perairan ZEE Indonesia itu ada kandungan gas yang kini
dieksploitasi oleh Indonesia bersama dengan kontraktor beberapa negara
maju,"kata Alman di Jakarta, Jumat (6/7).
Alman
memaparkan kepentingan Indonesia terhadap sengketa Laut China Selatan
mencakup atas keutuhan wilayah, stabilitas kawasan dan ekonomi.
Kepentingan
atas keutuhan wilayah terkait dengan batas klaim China atas wilayah
Laut China Selatan yang tidak dapat didefinisikan, sehingga
dikhawatirkan akan menyentuh wilayah perairan teritorial Indonesia di
Laut Natuna. "Menyangkut stabilitas kawasan, sengketa di perairan itu
bila tidak dapat ditangani dengan baik akan berdampak terhadap
stabilitas keamanan Indonesia dan kawasan,"ucap Alman.
Adapun
kepentingan ekonomi Indonesia menyangkut hak berdaulat atas sumberdaya
alam di ZEE Indonesia di Laut China Selatan, baik dari aspek energi
maupun perikanan.
Dia
mengatakan, tiga kepentingan tersebut tidak dapat dikompromikan oleh
Indonesia. "Sebagian dari kepentingan Indonesia itu tergolong sebagai
shared interest bersama negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik,
khususnya kepentingan terhadap stabilitas kawasan,"ujarnya.
Bagi
Alman, shared interest itu bukan saja telah menjadi kesadaran bersama
bagi negara-negara kawasan, tetapi telah diimplementasi dalam berbagai
bentuk khususnya pada ranah diplomatik. Dia mencontohkan, ASEAN bersama
China untuk membahas Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan dan
pertemuan rutin kawasan seperti AMM, ARF, ADMM dan lain sebagainya yang
juga menjadikan isu Laut China Selatan sebagai bagian dari topik
pembicaraan bersama.
Sumber : Jurnas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.