Perseteruan
mengenai pengadaan alat utama sistem senjata (Alutsista) antara
Pemerintah/TNI dan DPR harus segera diakhiri. Sebab, masalah pengadaan
yang selalu berkepanjangan ini akan berdampak pada citra dan pertahanan
Indonesia di masa mendatang.
Kepada itoday, Kamis (6/7), pengamat pertahanan Muradi menilai, perseteruan antara DPR dan Pemerintah/TNI mengenai pengadaan Alutsista TNI justru akan menjadi bumerang bagi DPR, karena lembaga perwakilan rakyat akan dilihat tidak konsisten dengan apa yang disepakati sebelumnya.
“Dalam jangka pendek, DPR mungkin diuntungkan dengan mendapat fee. Tapi secara jangka panjang, Indonesia bisa dianggap sebagai negara yang tidak layak atau tidak pantas mendapatkan alutsista langsung dari negara produsen, “ jelasnya.
Pengamat yang juga dosen di FISIP Universitas Padjajaran ini menjelaskan betapa kuatnya rezim pengadaan Alutsista. Pelaku akan berhubungan dengan pihak lainnya. Jika indonesia gagal membeli dari suatu negara, maka hal tersebut akan tersebar ke pihak lainnya.
Muradi juga menganalisis, perseteruan antara Pemerintah/TNI dan DPR ini terjadi karena tiga kemungkinan. Pertama, perseteruan itu terjadi untuk membuat citra adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelek. “Tapi kalau itu alasannya, maka itu berlebihan, karena efeknya besar sekali untuk konteks pertahanan negara indonesia, “ tuturnya.
Kedua, lebih kepada DPR tidak dilibatkan dalam proses 'informal' pengadaan Alutsista, sehingga tidak mendapatkan akses mendapatkan income. Dan ketiga, jika situasi kedua hal di atas terjadi, maka DPR telah melakukan kekonyolan dengan melakukan sesuatu yang merusak citra mereka sendiri.
Tak hanya masalah citra politik di 2014, Muradi juga menambahkan, jika sampai hubungan G to G dengan Indonesia dianggap tidak layak dijadikan pasar karena tidak konsisten dan biaya tinggi. Maka Indonesia akan mengalami kesulitan, dan ketika itu terjadi, dalam jangka panjang, pengadaan akan menggunakan broker lagi yang memiliki jaringan.*
Kepada itoday, Kamis (6/7), pengamat pertahanan Muradi menilai, perseteruan antara DPR dan Pemerintah/TNI mengenai pengadaan Alutsista TNI justru akan menjadi bumerang bagi DPR, karena lembaga perwakilan rakyat akan dilihat tidak konsisten dengan apa yang disepakati sebelumnya.
“Dalam jangka pendek, DPR mungkin diuntungkan dengan mendapat fee. Tapi secara jangka panjang, Indonesia bisa dianggap sebagai negara yang tidak layak atau tidak pantas mendapatkan alutsista langsung dari negara produsen, “ jelasnya.
Pengamat yang juga dosen di FISIP Universitas Padjajaran ini menjelaskan betapa kuatnya rezim pengadaan Alutsista. Pelaku akan berhubungan dengan pihak lainnya. Jika indonesia gagal membeli dari suatu negara, maka hal tersebut akan tersebar ke pihak lainnya.
Muradi juga menganalisis, perseteruan antara Pemerintah/TNI dan DPR ini terjadi karena tiga kemungkinan. Pertama, perseteruan itu terjadi untuk membuat citra adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelek. “Tapi kalau itu alasannya, maka itu berlebihan, karena efeknya besar sekali untuk konteks pertahanan negara indonesia, “ tuturnya.
Kedua, lebih kepada DPR tidak dilibatkan dalam proses 'informal' pengadaan Alutsista, sehingga tidak mendapatkan akses mendapatkan income. Dan ketiga, jika situasi kedua hal di atas terjadi, maka DPR telah melakukan kekonyolan dengan melakukan sesuatu yang merusak citra mereka sendiri.
Tak hanya masalah citra politik di 2014, Muradi juga menambahkan, jika sampai hubungan G to G dengan Indonesia dianggap tidak layak dijadikan pasar karena tidak konsisten dan biaya tinggi. Maka Indonesia akan mengalami kesulitan, dan ketika itu terjadi, dalam jangka panjang, pengadaan akan menggunakan broker lagi yang memiliki jaringan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.