“Memangnya semua tank dan mobil patroli pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu bisa digunakan kalau tak ada bensinnya? Memangnya prajurit tak akan kelaparan bila makanan dan minumannya tidak kami siapkan? Belum lagi gaji, uang saku, tiket and so on, and so on....”
Luigi Pralangga mengungkapkan hal itu dengan penuh percaya diri di auditorium Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian, Sentul, Bogor, 8 Mei lalu. Di hadapannya, puluhan perwira TNI berbagai angkatan, juga perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terkemuka, menyimak celotehannya dengan takzim. Tak terkecuali Brigadir Jenderal Imam Edy Mulyono, Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian.
Dengan paparannya itu, Luigi ingin menegaskan, meski bukan anggota militer, kehadiran orang-orang seperti dirinya di lingkungan operasi pasukan perdamaian PBB di sejumlah tempat amat signifikan. Pria kelahiran Jakarta, 29 April 1974, itu tergolong manusia Indonesia nan langka karena menjadi anggota staf bagian logistik PBB dan bertugas di beberapa negara yang dilanda konflik.
Pada Agustus 2010, dia menjadi procurement officer United Nations Assistance Mission for Iraq di Bagdad, Irak. Lalu dia bertugas di Liberia selama 6,5 tahun, Kuwait, dan dalam waktu dekat ini akan ke Sudan. “Poin saya buat teman-teman sekalian, banyak peluang lo kerja di PBB. Tapi sejauh ini yang terbanyak dari Asia itu dari Filipina. Orang kita mah masih bisa dihitung jari,” ujarnya.
Dengan berbagai pengalamannya itu, Luigi juga ingin membuka wawasan kalangan pengusaha di Tanah Air. Sebab, di balik setiap operasi pasukan PBB, berlangsung sebuah bisnis raksasa bernilai miliaran dolar Amerika Serikat. Sementara industri maju memasok peralatan militer dan alat komunikasi satelit, para pengusaha Indonesia sebetulnya amat berpeluang menjadi pemasok air minum, beras, atau jenis kebutuhan primer lainnya.
“Pasukan Pakistan yang bertugas di Libanon itu pernah menolak beras standar PBB. Mereka maunya beras basmati, yang aromanya mirip pandan. Pasukan kita juga bisa minta tempe dan tahu, biar ada pengusaha nasional yang menjadi pemasoknya. Silakan,” ujar Luigi.
Syaratnya, ia kembali menegaskan, setiap perusahaan harus terdaftar, kredibel, transparan, dan punya keuangan yang mapan dalam jangka panjang. “Kalau semua dipenuhi, insya Allah enggak cuma jadi jago kandang,” ujarnya.
Tentang kiprahnya di PBB, sarjana teknik sipil dari Institut Sains dan Teknologi Nasional itu berawal dari obsesinya pergi ke Kanada. Tapi kemudian dia terdampar di New York dan bekerja serabutan, mulai menjadi pencuci piring, penjaga toko, pelayan restoran, hingga kemudian menjadi staf seorang diplomat RI di markas PBB selama 10 hari dengan honor US$ 100 per hari. Hal itu membawanya berkarier di lingkungan PBB sejak 2003. “Gajinya tentu lumayan karena dalam dolar. Juga ada tunjangan lapangan dan kebahayaan, yang besarnya dua kali lipat dari gaji pokok,” ujarnya.
Finalis Abang-None Jakarta 1997 itu biasa menuangkan pengalaman eksklusif itu lewat blog. Dalam setiap tulisannya, dia selalu menyebut dirinya sebagai ondel-ondel dan biasa melontarkan kata umpatan ”kampret”. Tahun lalu kisah-kisah di blognya itu dibukukan dengan tajuk Ondel-ondel Nekat Keliling Dunia.
Selain Luigi, ada Endang Dwi Satriyani alian Eno Thamrin, yang bertugas selama empat tahun pada 2007-2011 di Haiti. Di bawah bendera PBB, perempuan kelahiran Kendari, 27 Mei, itu bertugas memberikan pelatihan menyusun administrasi keuangan institusi kepolisian di sana.
“Sejak kudeta 2004, tugas keamanan dan pertahanan di sana ditangani oleh 18-20 ribu polisi. Cuma, sistem keuangannya manual, kebayang chaos-nya tiap kali gajian,” ujar Eno diiringi tawa.
Ia menerima tugas ke Haiti setelah penugasan ke Sudan dan Pantai Gading tak dipenuhi lantaran tak mendapatkan izin dari orang tuanya. Ketika mengungkapkan dirinya akan menunaikan tugas ke Haiti, ada teman dan kerabatnya yang mengira dirinya akan berlibur. “Mereka mengira aku mau ke Tahiti (bekas jajahan Prancis di kawasan Pasifik). Padahal lokasi, kultur, situasi, dan kondisinya berbeda dengan Tahiti,” ujarnya.
Selepas dari Tahiti, Oktober 2011 dia ke Afganistan. Tapi kali ini tidak di bawah bendera PBB, tapi menunaikan program USAID. Januari 2013, dia kembali ke Tanah Air dan sekarang tengah mendampingi ibunya yang sakit di Makassar. “Alhamdulillah, kondisinya sudah membaik,” ujarnya lewat telepon seluler.[SUDRAJAT/Harian detik]
Luigi Pralangga mengungkapkan hal itu dengan penuh percaya diri di auditorium Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian, Sentul, Bogor, 8 Mei lalu. Di hadapannya, puluhan perwira TNI berbagai angkatan, juga perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terkemuka, menyimak celotehannya dengan takzim. Tak terkecuali Brigadir Jenderal Imam Edy Mulyono, Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian.
Dengan paparannya itu, Luigi ingin menegaskan, meski bukan anggota militer, kehadiran orang-orang seperti dirinya di lingkungan operasi pasukan perdamaian PBB di sejumlah tempat amat signifikan. Pria kelahiran Jakarta, 29 April 1974, itu tergolong manusia Indonesia nan langka karena menjadi anggota staf bagian logistik PBB dan bertugas di beberapa negara yang dilanda konflik.
Pada Agustus 2010, dia menjadi procurement officer United Nations Assistance Mission for Iraq di Bagdad, Irak. Lalu dia bertugas di Liberia selama 6,5 tahun, Kuwait, dan dalam waktu dekat ini akan ke Sudan. “Poin saya buat teman-teman sekalian, banyak peluang lo kerja di PBB. Tapi sejauh ini yang terbanyak dari Asia itu dari Filipina. Orang kita mah masih bisa dihitung jari,” ujarnya.
Dengan berbagai pengalamannya itu, Luigi juga ingin membuka wawasan kalangan pengusaha di Tanah Air. Sebab, di balik setiap operasi pasukan PBB, berlangsung sebuah bisnis raksasa bernilai miliaran dolar Amerika Serikat. Sementara industri maju memasok peralatan militer dan alat komunikasi satelit, para pengusaha Indonesia sebetulnya amat berpeluang menjadi pemasok air minum, beras, atau jenis kebutuhan primer lainnya.
Luigi Pralangga Flicker |
Syaratnya, ia kembali menegaskan, setiap perusahaan harus terdaftar, kredibel, transparan, dan punya keuangan yang mapan dalam jangka panjang. “Kalau semua dipenuhi, insya Allah enggak cuma jadi jago kandang,” ujarnya.
Tentang kiprahnya di PBB, sarjana teknik sipil dari Institut Sains dan Teknologi Nasional itu berawal dari obsesinya pergi ke Kanada. Tapi kemudian dia terdampar di New York dan bekerja serabutan, mulai menjadi pencuci piring, penjaga toko, pelayan restoran, hingga kemudian menjadi staf seorang diplomat RI di markas PBB selama 10 hari dengan honor US$ 100 per hari. Hal itu membawanya berkarier di lingkungan PBB sejak 2003. “Gajinya tentu lumayan karena dalam dolar. Juga ada tunjangan lapangan dan kebahayaan, yang besarnya dua kali lipat dari gaji pokok,” ujarnya.
Finalis Abang-None Jakarta 1997 itu biasa menuangkan pengalaman eksklusif itu lewat blog. Dalam setiap tulisannya, dia selalu menyebut dirinya sebagai ondel-ondel dan biasa melontarkan kata umpatan ”kampret”. Tahun lalu kisah-kisah di blognya itu dibukukan dengan tajuk Ondel-ondel Nekat Keliling Dunia.
Eno Thamrin (kaos biru) berserta rekan di Haiti |
“Sejak kudeta 2004, tugas keamanan dan pertahanan di sana ditangani oleh 18-20 ribu polisi. Cuma, sistem keuangannya manual, kebayang chaos-nya tiap kali gajian,” ujar Eno diiringi tawa.
Ia menerima tugas ke Haiti setelah penugasan ke Sudan dan Pantai Gading tak dipenuhi lantaran tak mendapatkan izin dari orang tuanya. Ketika mengungkapkan dirinya akan menunaikan tugas ke Haiti, ada teman dan kerabatnya yang mengira dirinya akan berlibur. “Mereka mengira aku mau ke Tahiti (bekas jajahan Prancis di kawasan Pasifik). Padahal lokasi, kultur, situasi, dan kondisinya berbeda dengan Tahiti,” ujarnya.
Selepas dari Tahiti, Oktober 2011 dia ke Afganistan. Tapi kali ini tidak di bawah bendera PBB, tapi menunaikan program USAID. Januari 2013, dia kembali ke Tanah Air dan sekarang tengah mendampingi ibunya yang sakit di Makassar. “Alhamdulillah, kondisinya sudah membaik,” ujarnya lewat telepon seluler.[SUDRAJAT/Harian detik]
● Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.