Pembajakan Merpati 1972 |
Ada satu kisah heroik seorang perwira muda polisi mengakhiri drama pembajakan pesawat pertama di Indonesia. Peristiwa itu terjadi 5 April 1972, jauh sebelum Kopassus membebaskan sandera di pesawat Garuda di Woyla.
Saat itu seorang desertir KKO TNI AL, Hermawan, membajak Pesawat Merpati dengan jurusan Surabaya-Jakarta. Bersenjatakan dua buah granat, dia memaksa Kapten Pilot Hindiarto Sugondo memutar balik pesawat dan mendarat di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta.
Beberapa perwira reserse Kepolisian Yogyakarta meluncur ke Bandara. Mereka dipimpin AKBP Suyono. Turut serta dalam jip tua itu seorang Inspektur Polisi Tingkat II Bambang Widodo Umar. Perwira muda ini baru lima bulan lulus Akademi Kepolisian. Usianya baru 24 tahun.
"Saat kami sampai, di Bandara sudah ramai. Ada TNI AU berjaga di sekeliling pesawat," kata Bambang Widodo Umar saat berbincang dengan merdeka.com pekan lalu.
Hermawan meminta uang tebusan Rp 20 juta. Jumlah yang sangat besar di tahun 1972. Hingga sore hari, uang yang ada di Bank seluruh Yogya tidak sampai sebanyak itu.
Karena baru sekali ada pembajakan, otoritas terkesan bingung menyelesaikan masalah itu. Waktu terus bergulir tanpa ada kejelasan akan seperti apa penyelesaian pembajakan pesawat jenis Vickers Viscount MZ-171 tersebut.
"Saya terus lihat ke pesawat. Saya perhatikan, kaca pilot itu kok membuka dan menutup terus. Saya ambil kesimpulan, pilot mencoba memberi tanda. Kalau kaca membuka, pembajak ada di belakang. Kalau kaca menutup, pembajak ada di kokpit," jelas Bambang yang kini menjadi pengamat kepolisian ini.
Bambang tiba-tiba maju mendekat ke pesawat. Naluri polisinya berkata dia harus mengambil tindakan. Jika kaca menutup, pertanda ada pembajak, Bambang mencoba merunduk agar tak ketahuan.
"Jarak antara apron dan pesawat itu kira-kira 200 meter. Saya maju pelan-pelan. Banyak orang di bandara memperhatikan saya, Tapi waktu itu saya benar-benar terfokus pada pesawat itu," jelasnya.
Setelah dekat Bambang mencabut pistol revolver miliknya. Dia meminta tangga dan mencoba naik ke kokpit pesawat. Sayangnya, tangga itu kurang tinggi. Bambang tak bisa melihat situasi dengan jelas, pandangannya terhalang.
"Saya bicara dengan pilot. Dia bilang kalau tidak bisa menembak, serahkan saja pistolnya pada saya (pilot). Saya bisa menembak. Pilotnya itu anggota TNI AU yang dikaryakan," kata Bambang menirukan ucapan Kapten Pilot Hindiarto.
"Saat itu saya refleks memberikan pistol saya padanya. Saya takut juga kalau ketahuan pembajak malah nanti pistolnya diambil, tapi saat itu saya yakin saya harus memberikan pistol itu."
Tiba-tiba Hermawan berbicara, pembajak ini kesal karena permintaannya tak dipenuhi. Dia memutuskan untuk meledakkan pesawat dan seluruh penumpangnya. Suasana tegang, semua orang di Bandara menahan napas meyaksikan detik-detik menegangkan itu.
Tiba-tiba terdengar tembakan pistol tiga kali. 'Dor..dor..dor! Pilot Hindiarto berhasil menembak mati Hermawan.
Drama pembajakan berakhir. Kapten Pilot Hindiarto mengembalikan pistol milik Bambang sambil memeluk dan mengucapkan terimakasih.
Inspektur Bambang dipuji Presiden Soeharto. Untuk pertama kalinya perwira muda itu terbang naik pesawat. Di Jakarta, Soeharto secara pribadi memberikan selamat untuk Bambang.
Sayangnya Bambang batal naik pangkat luar biasa. Dia dipanggil ke Mabes Polri dan ditanyai macam-macam, mereka menilai tindakan Bambang memberikan pistol pada pilot sangat berbahaya. Inspektur Bambang pun adu argumen, Mabes Polri akhirnya bisa menerima penjelasan perwira muda yang berani ini.
● Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.