Tahun 1968, Letnan Dua AM Hendropriyono baru lulus dari Akademi Militer Magelang. Sebelum mengikuti latihan komando, para perwira remaja ini diperintahkan Komandan Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD kini Kopassus) Brigjen Wijoyo Suyono ke Kalimantan Barat. Saat itu di sana sedang digelar operasi militer untuk menumpas gerombolan Pasukan Gerilya Rakyat Serawah (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
"Kalian pergi untuk belajar bertempur," kata Brigjen Willy, sapaan Wijoyo pada delapan perwira muda itu.
Maka Hendro dan kawan-kawan bergabung ke Detasemen Tempur 13 Pasukan Khusus Angkatan Darat yang dipimpin Kapten Inf Sugito. Ada tiga kompi yang bertugas dalam misi tersebut. Mereka berangkat dengan kapal Angkatan Laut dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta menuju Pontianak, Kalimantan Barat.
Kemudian pasukan itu dibagi-bagi, naik perahu menyusuri Sungai Kapuas ke Sintang. Lalu pasukan baret merah itu dipecah di Lanjak. Peleton Hendro yang dipimpin Capa Saniyo bergerak menuju Nangabadau.
Hal itu ditulis Hendropriyono dalam buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin. yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Hendro menggambarkan perjalanan keluar masuk hutan belantara di Kalimantan menguras tenaga. Naik turun bukit sejauh 30 km dengan membawa beban berat di punggung sangat melelahkan. Namun kelelahan itu lenyap saat Hendro dan pasukannya berpapasan dengan wanita-wanita Dayak yang cantik.
"Kelelahan terasa sangat berkurang karena terpikat oleh pemandangan indah luar bisa yang belum pernah saya saksikan sebelumnya. Kecantikan gadis-gadis Dayak Iban yang berpapasan di sepanjang jalan, aduhai, menggetarkan hati saya. Mereka berkulit langsat dan bertelanjang dada," beber Hendro (hal 86).
Maka Hendro pun mengingatkan prajurit-prajurit baret merah itu untuk terus menatap ke depan jika berpapasan dengan rombongan suku Dayak.
"Pandang lurus ke depan. Tetap waspada," kata Hendro.
"Suatu kali saya dengar suara anggota, lirik kanan ada Cleopatra! Disambut tawa cekikan para prajurit anak buah sambil memandang ke arah moleknya gadis yang kami papasi," lanjut Hendro.
Sebelum bertugas, seluruh pasukan telah dibekali pengarahan oleh Asisten Operasi Kolonel Kistam. Pasukan ABRI tak boleh mengganggu rakyat karena kita berebut simpati dengan musuh untuk merebut hati rakyat. Satu hal yang harus dilakukan dalam operasi antigerilya adalah membuat musuh tak lagi mendapat dukungan dari rakyat.
Selain itu prajurit juga tak boleh mengganggu gadis Dayak Iban. Walau suka sama suka, jika ketahuan orang tua dan tidak terima, bisa gawat.
"Kamu bisa dipenggal! Atau kamu kena denda untuk membeli babi yang harganya mahal. Kodam tidak mau membantu uang untuk membayar denda karena kesalahanmu," kata Kolonel Kistam disambut tawa prajurit.
"Kalian pergi untuk belajar bertempur," kata Brigjen Willy, sapaan Wijoyo pada delapan perwira muda itu.
Maka Hendro dan kawan-kawan bergabung ke Detasemen Tempur 13 Pasukan Khusus Angkatan Darat yang dipimpin Kapten Inf Sugito. Ada tiga kompi yang bertugas dalam misi tersebut. Mereka berangkat dengan kapal Angkatan Laut dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta menuju Pontianak, Kalimantan Barat.
Kemudian pasukan itu dibagi-bagi, naik perahu menyusuri Sungai Kapuas ke Sintang. Lalu pasukan baret merah itu dipecah di Lanjak. Peleton Hendro yang dipimpin Capa Saniyo bergerak menuju Nangabadau.
Hal itu ditulis Hendropriyono dalam buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin. yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Hendro menggambarkan perjalanan keluar masuk hutan belantara di Kalimantan menguras tenaga. Naik turun bukit sejauh 30 km dengan membawa beban berat di punggung sangat melelahkan. Namun kelelahan itu lenyap saat Hendro dan pasukannya berpapasan dengan wanita-wanita Dayak yang cantik.
"Kelelahan terasa sangat berkurang karena terpikat oleh pemandangan indah luar bisa yang belum pernah saya saksikan sebelumnya. Kecantikan gadis-gadis Dayak Iban yang berpapasan di sepanjang jalan, aduhai, menggetarkan hati saya. Mereka berkulit langsat dan bertelanjang dada," beber Hendro (hal 86).
Maka Hendro pun mengingatkan prajurit-prajurit baret merah itu untuk terus menatap ke depan jika berpapasan dengan rombongan suku Dayak.
"Pandang lurus ke depan. Tetap waspada," kata Hendro.
"Suatu kali saya dengar suara anggota, lirik kanan ada Cleopatra! Disambut tawa cekikan para prajurit anak buah sambil memandang ke arah moleknya gadis yang kami papasi," lanjut Hendro.
Sebelum bertugas, seluruh pasukan telah dibekali pengarahan oleh Asisten Operasi Kolonel Kistam. Pasukan ABRI tak boleh mengganggu rakyat karena kita berebut simpati dengan musuh untuk merebut hati rakyat. Satu hal yang harus dilakukan dalam operasi antigerilya adalah membuat musuh tak lagi mendapat dukungan dari rakyat.
Selain itu prajurit juga tak boleh mengganggu gadis Dayak Iban. Walau suka sama suka, jika ketahuan orang tua dan tidak terima, bisa gawat.
"Kamu bisa dipenggal! Atau kamu kena denda untuk membeli babi yang harganya mahal. Kodam tidak mau membantu uang untuk membayar denda karena kesalahanmu," kata Kolonel Kistam disambut tawa prajurit.
● Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.