Sementara nasib perancangan KXF/IFX tak kunjung jelas, industri Korea merilis konsep jet tempur tandingan.
Untuk menekan biaya, pesawat hanya mengusung satu mesin. Kemungkinan besar mereka akan gaet industri AS.
Kisah program perancangan pesawat tempur Korea-Indonesia KFX/IFX yang hingga kini masih terganjal kebijakan Pemerintah Korea Selatan, ada kemungikinan berakhir tidak menyenangkan bagi pihak Indonesia.
Mengutip pemberitaan Aviation Week & Space Technology (28/10/2013), industri kedirgantaraan Korea Selatan, Korea Aerospace Industries disinyalir tengah berusaha “mengalihkan” proyek prestisius ini ke pihak lain dengan mengubah spesifikasi teknis yang tak mengakomodir operational requirement yang diinginkan Indonesia.
Dalam spek teknis yang dimuat majalah kedirgantaraan terkemuka di AS tersebut, KFX versi terbaru ini tidak lagi menggunakan dua mesin pendorong, tetapi cukup satu mesin. KAI menamainya KFX-E, sebagai penanda bahwa engine-lah yang menjadi fokus perubahan agar konsep front-liner fighter Korea ini lebih realistis dikerjakan.
Pada versi sebelumnya, KFX mengedepankan penggunaan dua mesin untuk mencerminkan ketangguhannya. Namun, dibelakang layar, KAI rupanya mengeluh karena penggunaan dua mesin membuat biaya pengembangannya tidak realistis alias sangat besar.
Dalam sebuah pertemuan, Korean Institute for Defense Analysis pernah mengungkap, pengembangan KFX bakal menelan biaya lebih dari 10 triliun won atau kira-kira dua kali lebih besar ketimbang membeli pesawat yang sudah jadi.
Seperti diberitakan, Pemerintah Korea sempat tertarik membeli F-15 Silent Eagle untuk menepis risiko kegagalan dalam program KFX. Tapi belakangan, pilihan ini pun dianulir kembali oleh karena beberapa pertimbangan.
Angkasa mencatat, program prestisius yang mengokohkan persahabatan dua negara ini mulai bergulir sejak 2011. Tak lama setelah Presiden Lee Myung-bak bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pertengahan 2010, kedua pihak merancang konsep dengan anggaran riset dan pembuatan sampai tahapan prototipe sebesar 8 miliar dolar AS.
Prototipe ditargetkan kelar pada 2020 dan Indonesia siap menanggung 20% dari pembiayaan tersebut. Pesawat diyakini memiliki daya gentar yang amat tinggi karena sifat teknologi yang hanya dimengerti oleh kedua negara.
Bagi Korea, KFX diproyeksikan menjadi tulang punggung pertahanan udara untuk menggantikan jajaran jet tempur mesin ganda F-4 Phantom dan F-5 Tiger yang sudah habis masa tugasnya.
Sementara bagi Indonesia, pesawat ini akan diposisikan sebagai penangkal utama ancaman musuh, mendukung jajaran Sukhoi Su-27/30. Laiknya pesawat tempur untuk misi keunggulan di udara yang akan bertugas pada 2020, pesawat dirancang menggunakan teknologi yang memang akan berjaya di masa tersebut.
“Kami memang belum menguasai seluruh teknologi yang diperlukan, namun telah diputuskan bahwa KFX/IFX akan menggunakan teknologi dari generasi 4,5,” ungkap Prof Dr Mulyo Widodo, salah satu enjinir utama dari Tim Indonesia, beberapa waktu lalu kepada Angkasa, tentang hasil riset sementara tim KFX/IFX.
Serupa dengan Tim Indonesia yang terdiri dari unsur litbang (Litbang Kemhan, ITB, BPPT), industri (PT DI) dan user (TNI AU), Tim Korea juga diwakili unsur dari ADD (Agency for Defense Development), DAPA (Defence Acquisition Program Administration), pabrikan KAI, dan AU Korea Selatan.(A. Darmawan)
Untuk menekan biaya, pesawat hanya mengusung satu mesin. Kemungkinan besar mereka akan gaet industri AS.
Kisah program perancangan pesawat tempur Korea-Indonesia KFX/IFX yang hingga kini masih terganjal kebijakan Pemerintah Korea Selatan, ada kemungikinan berakhir tidak menyenangkan bagi pihak Indonesia.
Mengutip pemberitaan Aviation Week & Space Technology (28/10/2013), industri kedirgantaraan Korea Selatan, Korea Aerospace Industries disinyalir tengah berusaha “mengalihkan” proyek prestisius ini ke pihak lain dengan mengubah spesifikasi teknis yang tak mengakomodir operational requirement yang diinginkan Indonesia.
Dalam spek teknis yang dimuat majalah kedirgantaraan terkemuka di AS tersebut, KFX versi terbaru ini tidak lagi menggunakan dua mesin pendorong, tetapi cukup satu mesin. KAI menamainya KFX-E, sebagai penanda bahwa engine-lah yang menjadi fokus perubahan agar konsep front-liner fighter Korea ini lebih realistis dikerjakan.
Pada versi sebelumnya, KFX mengedepankan penggunaan dua mesin untuk mencerminkan ketangguhannya. Namun, dibelakang layar, KAI rupanya mengeluh karena penggunaan dua mesin membuat biaya pengembangannya tidak realistis alias sangat besar.
Dalam sebuah pertemuan, Korean Institute for Defense Analysis pernah mengungkap, pengembangan KFX bakal menelan biaya lebih dari 10 triliun won atau kira-kira dua kali lebih besar ketimbang membeli pesawat yang sudah jadi.
Seperti diberitakan, Pemerintah Korea sempat tertarik membeli F-15 Silent Eagle untuk menepis risiko kegagalan dalam program KFX. Tapi belakangan, pilihan ini pun dianulir kembali oleh karena beberapa pertimbangan.
Angkasa mencatat, program prestisius yang mengokohkan persahabatan dua negara ini mulai bergulir sejak 2011. Tak lama setelah Presiden Lee Myung-bak bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pertengahan 2010, kedua pihak merancang konsep dengan anggaran riset dan pembuatan sampai tahapan prototipe sebesar 8 miliar dolar AS.
Prototipe ditargetkan kelar pada 2020 dan Indonesia siap menanggung 20% dari pembiayaan tersebut. Pesawat diyakini memiliki daya gentar yang amat tinggi karena sifat teknologi yang hanya dimengerti oleh kedua negara.
Bagi Korea, KFX diproyeksikan menjadi tulang punggung pertahanan udara untuk menggantikan jajaran jet tempur mesin ganda F-4 Phantom dan F-5 Tiger yang sudah habis masa tugasnya.
Sementara bagi Indonesia, pesawat ini akan diposisikan sebagai penangkal utama ancaman musuh, mendukung jajaran Sukhoi Su-27/30. Laiknya pesawat tempur untuk misi keunggulan di udara yang akan bertugas pada 2020, pesawat dirancang menggunakan teknologi yang memang akan berjaya di masa tersebut.
“Kami memang belum menguasai seluruh teknologi yang diperlukan, namun telah diputuskan bahwa KFX/IFX akan menggunakan teknologi dari generasi 4,5,” ungkap Prof Dr Mulyo Widodo, salah satu enjinir utama dari Tim Indonesia, beberapa waktu lalu kepada Angkasa, tentang hasil riset sementara tim KFX/IFX.
Serupa dengan Tim Indonesia yang terdiri dari unsur litbang (Litbang Kemhan, ITB, BPPT), industri (PT DI) dan user (TNI AU), Tim Korea juga diwakili unsur dari ADD (Agency for Defense Development), DAPA (Defence Acquisition Program Administration), pabrikan KAI, dan AU Korea Selatan.(A. Darmawan)
♞ Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.