Muncul anggapan dia terpilih karena faktor nepotisme.
Jenderal (Purn) Pramono Edhi Wibowo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), kini aktif berpolitik. Satu bulan setelah mengakhiri masa jabatan sebagai KSAD karena pensiun pada Mei 2013, adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini bergabung dengan Partai Demokrat yang didirikan SBY dan istrinya Ani Bambang Yudhoyono, kakak perempuan Pramono Edhi Wibowo.
Posisi penting di parpol berlambang berlian biru itu langsung menghampirinya: anggota Dewan Pembina. Ketua Dewan Pembina, jabatan yang menentukan hitam-putih kebijakan partai, adalah Presiden SBY, yang juga merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai. Sekretaris partai dijabat putra kedua Presiden SBY, yakni Edhie Baskoro Yudhoyono, yang biasa dipanggil “Ibas”.
Karir militer perwira lulusan Akabri 1980 ini terbilang lengkap. Putra Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo yang menjulang namanya karena pemberantasan pemberontakan G 30 S/PKI ini pernah menduduki posisi Komandan Jendral Kopassus, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, dan Pangdam III Siliwangi. Mas Edhie, begitu ia kini menyebut dirinya, pernah juga menjadi ajudan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pengangkatannya sebagai KSAD sempat menuai kritik, muncul anggapan dia dipilih karena faktor nepotisme. Kesan ini pula yang mencuat saat ia memutuskan terjun menjadi salah satu calon presiden yang berlaga dalam konvensi yang digelar Partai Demokrat. Konvensi yang diikuti 11 kandidat akan mencari calon presiden andalan Demokrat pada Pemilu 2014.
"Saya terpanggil untuk berkontribusi meningkatkan elektabilitas partai yang kini tengah disorot kinerjanya," ujar Pramono Edhie saat berbincang dengan Uni Z Lubis, Pemimpin Redaksi VIVA.co.id bersama tim Cakrawala ANTV di Media Center Pramono Edhie Wibowo, kawasan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Rumah besar yang kini menjadi tempatnya berkantor, sebelumnya seringkali digunakan untuk rapat Sekretariat Gabungan (Setgab), koalisi parpol pendukung pemerintahan SBY. Minggu malam (1 Desember) wawancara tambahan terkait isu penyadapan pejabat tinggi negara oleh intelijen Australia yang mengguncang Tanah Air dilakukan via telepon. Saat itu Pramono Edhie tengah berada di Cipanas, bertemu dengan tim Partai Demokrat. Berikut petikan wawancaranya:
Presiden SBY, Ibu Negara, dan sejumlah pejabat tinggi Indonesia disadap intelijen Australia. Tanggapan Anda?
Indonesia menganggap Australia itu negara sahabat. Begitu pula pernyataan pemerintahan mereka selama ini. Sahabat kok menyadap? Kalau ingin dapatkan informasi mbok ya bertanya saja langsung, tidak perlu menyadap. Itu namanya tidak ada “trust”.
Penyadapan dianggap hal biasa juga, bahkan menurut pengakuan mantan petinggi lembaga intelijen, Indonesia pernah lakukan hal yang sama terhadap pihak Australia. Yang lantas digugat adalah kemampuan kita mengamankan komunikasi Presiden. Mampukah kita?
Baik dalam berkomunikasi, membangun sistem penangkalan atas intersepsi pihak lain terhadap komunikasi kita, apakah komunikasi intelejen atau komunikasi Presiden, memerlukan peran teknologi. Lha, selama ini kita menggunakan teknologi mereka? Teknologi asing. Produk mereka. Tidak ada jaminan kita aman, karena bisa saja mereka justru menggunakan produk itu untuk menyadap.
Apa solusinya? Bikin sendiri? Mampukah kita?
TNI AD sudah mengembangkan komunikasi radio yang dibuat sendiri. Jadi sulit disadap pihak lain kalau komunikasi menggunakan radio. Setidaknya ini sudah dilakukan di lingkungan militer. Kalau Presiden, Ibu Negara dan pejabat kita kan menggunakan telepon seluler yang dijual komersil di pasaran. Sama seperti yang kita gunakan. Mudah disadap. Masalahnya buat apa sih negara sahabat menyadap? Pengumpulan informasi intelijen memang dilakukan untuk mengetahui apa sikap pihak yang bakal menjadi lawan. Supaya tidak kaget kalau ada gerakan terdadak. Apakah kita di Indonesia ini dianggap membahayakan bagi negara yang menyadap? Negara yang menyadap itu apa menganggap Presiden (SBY) sebagai musuh?
Sekarang dibicarakan soal pentingnya pertahanan dunia maya (cyber defense) dan membangun satelit sendiri. Sudah seberapa jauh langkah yang diambil?
Membangun satelit sendiri menurut saya sangat perlu. TNI sudah membangun cyber defense itu beberapa waktu lalu, karena yang terjadi di masa sekarang adalah ancaman perang non tradisional. Kita perlu amankan instansi dan instalasi vital, apalagi sekarang semuanya sudah komputerisasi. Rawan dibajak.
Bukan kali ini saja komunikasi Presiden bocor via penyadapan. Dulu ada kasus bocorannya rekaman percakapan telepon Presiden BJ Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib. Siapa yang menurut Anda harus bertanggungjawab?
Selama menggunakan telepon seluler biasa ya rawan disadap, pintu masuknya beberapa. Siapa yang harus bertanggungjawab? Ya menurut saya intelijen yang menangani pengamanan untuk Presiden.
Ada fasilitas dan pelayanan khusus bagi Anda dari jajaran TNI di daerah?
Wah, ini pertanyaan bagus, saya juga senang supaya masyarakat tahu. Tidak ada pelayanan khusus. Mereka hanya melihat saya mantan KSAD, mantan pimpinan. Mereka melihat saja dari jauh. Ya, saling sapa. Saya sapa mereka. Yang lebih banyak menyambut saya di daerah adalah anggota Partai Demokrat. Sebelum terjun ke daerah setelah ikut konvensi, banyak kota yang belum pernah saya kunjungi. Misalnya kota Mataram di NTB, lalu Simalungun. Banyak lah. Pekanbaru juga belum pernah saya kunjungi saat saya masih aktif di AD. Kunjungan ke daerah membuat saya merasa Indonesia itu luar biasa. Banyak budaya yang belum saya kenal. Dulu kalau berkunjung ke daerah juga terbatas mengunjungi ke area perbatasan, basis militer, kesannya homogen. Padahal Indonesia itu heterogen.
Setelah pensiun dari militer, Anda langsung gabung Partai Demokrat. Keinginan sendiri atau diminta Pak SBY dan Bu Ani, kakak Anda?
Prinsipnya, sampai saya mengakhiri masa dinas, pengabdian diri saya di militer tidak berkurang. Begitu juga sesudah pensiun. Saya berkomunikasi dengan Pak SBY, dan melihat ada alasan kuat untuk bergabung, karena saat itu elektabilitas (Partai) Demokrat sangat rendah. Orang bertanya kepada saya, “Kok kamu mau bergabung padahal Partai Demokrat lagi terpuruk?” Saya lakukan itu karena ingin Partai Demokrat menjadi lebih baik. Masyarakat di daerah juga masih menginginkan Partai Demokrat menjadi partai politik yang besar.
Pemimpin negeri dengan latar-belakang militer masih relevankah?
Menurut saya masih. Di militer itu ada jenjang yang harus dilalui. Misalnya, saya harus lalui jenjang Letnan Dua, lalu beberapa jenjang ke Kolonel dan seterusnya. Memimpin unit kecil sampai ratusan ribu. Belajar kepemimpinan bertahap dan terus dievaluasi. Jadi, Insya Allah bisa menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin militer itu anak buahnya dari seluruh suku di Indonesia. Jadi sudah terlatih.(eh)
♞ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.