Rabu, 30 April 2014

Kompi Benny Pemburu PRRI [2]

Kenangan Bersama Lettu Fadhillah Menjelang tengah malam, Benny mengajak pasukannya meninggalkan dusun dan mengambil posisi stelling di pinggiran Sungai Kampar. Pengalaman sewaktu memburu DI/TII pada awal 1950-an di pedalaman Jawa Barat dulu menyatakan bahwa musuh sering kali melakukan serangan pada malam hari. Tepat seperti perhitungan Benny, menjelang dinihari, posisi pasukan Benny sebelumnya di Danau bingkuang dihujani dengan mortir 60mm dari seberang sungai. Untung saja mereka sudah bergeser ke posisi lain. Namun sejauh itu, pemberontak hanya menghujani mereka dengan tembakan mortir, para pemberontak sama sekali tidak berani menyeberangi sungai. Selain bunyi siutan peluru mortir, tembakan flare ke udara dan ledakan keras, tidak ada gangguan lain terhadap pasukan Benny hingga keesokan harinya.

Kompi A RPKAD kemudian ditarik kembali ke pangkalan di Tanjung Pinang, setelah menyerahkan penjagaan kota Pekanbaru kepada pasukan Diponegoro dan Brawijaya. Sebagai satuan pemukul, RPKAD memang jauh berbeda dengan infanteri biasa, mereka sama sekali tidak diserahi tugas teritorial. Begitu sasaran sudah direbut, mereka ditarik untuk kembali diterjunkan ke palagan lain yang lebih kritis. Hanya sempat beristirahat sebentar di Tanjung Pinang, Kompi Benny kembali diperintahkan menyiapkan diri untuk bergabung dengan Operasi Sapta Marga, operasi militer yang disusun secara terburu-buru untuk menyerbu Medan.

Sebagai prajurit komando, situasi buruk dan mendesak merupakan santapan sehari-hari, sehingga walaupun dalam batin mengelak, mereka harus melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.

Pagi hari tanggal 17 April 1958, Kompi Benny, yang kali ini hanya disertai 1 Kompi PGT diterbangkan menuju Medan. Ketika mesin Dakota sudah bersiap untuk heading menuju landasan pacu, Lettu Fadhillah, Komandan Kompi B/RPKAD dan juga sahabat Benny nampak berlari menghampirinya.

"Ben, Benny! Tunggu!" Benny menoleh, tidak paham apa yang dikehendaki oleh sahabat sekaligus seniornya di Baret Merah itu.

"Sek yo, iki ambi. Pakai cincin saya biar kamu selamat!" Kata Fadhillah sambil mengacungkan sebentuk cincin ditangannya.

Sayup-sayup Benny mendengar penjelasan perwira komando asal Tegal itu bahwa cincin yang diberikannya merupakan hadiah dari seorang Kepala Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, tempat ia pernah bertugas.

Dengan hati bimbang antara ya dan tidak, karena ia seorang penganut Katholik yang taat, Benny menerima pemberian seniornya itu. Kini cincin "bertuah" itu melingkar dijari tangan kirinya. Diakhiri lambaian tangan, dua orang sahabat itupun berpisah.

Benny harus mengejar jadwal penerjunan agar serangan ke kota Medan tidak tertunda lagi, sedangkan Lettu Fadhillah memimpin pasukannya menyerbu Payakumbuh.

Ternyata pertemuan di Landasan Tanjung Pinang itu merupakan pertemuan terakhir mereka buat selamanya. Tanggal 3 April 1958, dalam serangan komando untuk menduduki posisi pertahanan pasukan pemberontak di Desa Jegar, wilayah Lubuk Jambi, Riau Daratan, Lettu Fadhillah tertembak di tengah pertempuran, peluru 7.62 mengoyak perut perwira komando ini dan gugur seketika.
Menyerbu Kota Medan
http://3.bp.blogspot.com/-KOBYk5TpeS8/TweBzEbqdOI/AAAAAAAAAlI/toFTZRIZFe4/s1600/kol+djatikusumo.jpgKolonel GPH. Djatikusumo, Deputy I/KSAD [google]

Serangan komando pasukan RPKAD kali ini sudah kehilangan ciri khasnya yaitu pendadakan. Selain mereka diterjunkan pada siang bolong, Pak Nas pun sudah menyiarkan di radio bahwa Medan akan diserbu oleh 3 Batalyon Lintas Udara (padahal cuma ada 2 Kompi). Psywar ini sengaja disampaikan untuk menekan moral para pemberontak agar mental mereka merosot.

C-47 Dakota yang ditumpangi Benny dipiloti oleh Kapten Udara Pribadi, seorang penerbang AURI yang cukup berpengalaman. Di atas Medan Dakota berputar-putar beberapa kali mencari lokasi DZ yang di rasa cocok untuk penerjunan. Kelihatan dari udara Kota Medan sangat sepi, tidak terlihat adanya pergerakan lalu lintas kendaraan dijalan raya maupun rutinitas warga selayaknya sebuah kota besar. Benny kemudian meminta pilot membawa pesawatnya melintasi bandara Polonia. Namun ditempat ini pun sangat sepi, landasan kosong dan sama sekali tidak terlihat apa-apa aktifitas di bawah.

Sebenarnya, Bandara Polonia masih dikuasai oleh beberapa satuan pasukan yang masih setia kepada Pusat. Kapten Udara Nico Juluw, komandan AURI setempat bertahan mati-matian walau diserang oleh pasukan PRRI dan dipaksa menyerah. Ditempat itu juga turut bertahan satuan Artileri dibawah pimpinan Mayor Hanafie dan belasan personel Polri dibawah pimpinan Komisaris Polisi Hoegeng Iman Santoso.

KSAU Komodor Udara Surjadi Surjadarma sebelumnya telah mengeluarkan perintah agar lapangan udara Polonia dipertahankan habis-habisan. Sehari sebelumnya, bandara Polonia di serbu oleh Pasukan PRRI dan dihujani tembakan Mortir, namun pasukan yang bertahan berhasil memperkuat parimeter pertahanannya sehingga serangan musuh dapat ditahan. Walau bagaimanapun, mereka dalam kondisi terkepung rapat, karena pasukan PRRI memblokade semua jalur keluar masuk ke bandara Polonia.

Suasana sunyi sepi yang terlihat dari udara menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan PRRI sudah mempersiapkan diri dibawah dan memasang jebakan-jebakan. Atau suasana sepi itu adalah taktik musuh agar pasukan penyerbu terjun mendarat kemudian dikepung rapat dan dihancurkan. Benny menyangka bahwa para pemberontak di bawah sudah menyiapkan semacam "panitia penyambutan" untuk pasukannya. Benny tidak mau ambil resiko, ia segera meminta pilot untuk sekali lagi berputar mendekat kearah Pantai Cermin.

Namun suasana di pantai tidak jauh berbeda dengan kedua tempat sebelumnya, sepi dan sunyi, serta angin bertiup kencang sehingga membahayakan penerjunan.

"Wah kencang sekali anginnya, bisa-bisa kami nyemplung ke laut semua, cari tempat lain saja!" Kata Benny kepada Pilot Dakota. Sementara dibelakang, pasukannya sudah gelisah karena dari tadi pesawat berputar-putar terus tanpa tujuan pasti. Untunglah kemudian sekilas Benny melihat dari jauh Pelabuhan Belawan terlihat aktifitas penduduk dan kelihatan normal seperti biasa.

"Sudah disini saja, terjun disini saja, pasukan ready?!" Kata Benny memberitahu Pilot sekaligus memberitahu anak buahnya agar bersiap.

Terjun ditengah pelabuhan tentu saja mengandung resiko yang tinggi, bangunan-bangunan tinggi, aliran listrik dibawah mengancam jiwa para penerjun. Tapi Dewi Fortuna masih berpihak kepada Benny dan pasukannya, mereka semuanya selamat mendarat. Selain Letda Soewono mendarat jatuh menimpa gerobak penjual es dipinggir jalan dan seorang Tamtama yang nyangkut di pohon Trambesi dekat pelabuhan, tidak ada insiden lain yang berakibat fatal menimpa mereka.

Begitu mendarat, pasukan komando langsung menyebar berusaha mengamankan pelabuhan dan sekitarnya. Sebelum berangkat tadi pagi, Benny sempat memberi taklimat kepada anak buahnya, "Pokok e lihat baju ijo sikat!"

Benny begitu percaya kepada laporan intelijen bahwa pasukan PRRI masih menguasai kota Medan. Padahal kenyataannya, pagi-pagi sekali Mayor Boyke Nainggolan beserta seluruh pasukan PRRI sudah menyingkir dari kota Medan menuju Permatang Siantar. Konvoi pengungsian pasukan PRRI ini sebenarnya sudah terendus oleh sebuah B-25 Mitchell AURI di sekitar Tanjung Morawa dan langsung dilaporkan kepada Pak Nas. Namun Pak Nas sendiri tidak mengeluarkan perintah apa-apa, apalagi menyerang konvoi pemberontak. Perintahnya hanya untuk mengawasi dari udara karena rupanya Pak Nas tidak yakin kalau konvoi tersebut merupakan konvoi musuh.

Ketika Kompi RPKAD bergerak memasuki Stasiun KA yang terletak tidak jauh dari pelabuhan, selintas terlihat seorang berseragam hijau tentara menongolkan kepalanya sambil melambaikan tangannya. Kopral Sihombing, Tamtama penembak Bren langsung mengokang senjatanya dan membidikkan senjata seberat 8kg tersebut kearah empunya kepala.

"Hush.jangan tembak, ngawur jangan tembak!" Seru Benny cepat-cepat. Masih dalam posisi siaga, Sihombing pun menurunkan senjatanya yang tadi tinggal menarik picu.

Sepintas, rupanya Benny mengenali sang pria berseragam hijau tentara tersebut. Pria berparas tampan dan bersih itu adalah Kolonel GPH. Djatikusumo, Deputy I/KSAD. Beliau merupakan putra dari Sri Susuhunan Pakubuwono X, Raja Surakarta. Kolonel Djatikusumo merupakan salah satu diantara sedikit perwira TNI pada masa itu yang berpendidikan lengkap. Ia pernah menempuh pendidikan di Institute Technologie Deft di Belanda. Ia juga pernah masuk dalam pendidikan Perwira Cadangan CORO dan di gembleng Jepang sebagai perwira PETA.

Kemudian dari Pak Djatikusumo lah kemudian Benny mengetahui bahwa pasukan PRRI sudah menyingkir ke luar kota. Kepada Benny, Pak Djatikusumo memberikan briefing singkat,

"Pasukan PRRI dipimpin Mayor Boyke mungkin sudah berada di Permatang Siantar, siap melakukan serangan balasan ke kota Medan. Kamu kejar dan bekuk mereka!"

"Siap kerjakan Kolonel!" Jawab Benny.
Kopral Sihombing GugurChalimi Imam Santoso [wongsangar]

Pada siang hari itu juga, Benny memimpin pasukannya menyerbu Permatang Siantar dengan gerakan melambung, hanya ada 2 peleton RPKAD yang menyertainya, masing Peleton 1 dipimpin Letda CI. Santoso dan Peleton 2 oleh Letda Tatang Sudibjo. Sedangkan sisa pasukan RPKAD dan PGT yang diterjunkan bersamanya di Pelabuhan Belawan, ditinggalkan untuk menjaga keamanan kota Medan, sebelum pasukan induk yang lebih besar tiba.

Benny dan pasukannya menuju Tanjung Morawa, tanpa sengaja dan ia ketahui bahwa jalur itu tadi merupakan jalur pengunduran pasukan pemberontak.

Menjelang senja, Benny dan pasukannya sudah mencapai Permatang Siantar. Mereka kemudian bertemu dengan Mayor Manaf Lubis, Komandan Resimen II/TT. I dan pasukannya yang sedang membuat kubu pertahanan dipinggir kota. Atas petunjuk perwira menengah TNI asli Mandailing itu, pasukan RPKAD mengambil posisi penjagaan disebuah persimpangan strategis yang menghubungkan kota Permatang Siantar dengan Brastagi dan Prapat.

Di Simpang Tiga, dibawah lindungan Bukit Barisan yang menjulang itu, Benny menemukan 1 Peleton Kavaleri dan sekitar 1 Regu Polisi yang masih setia kepada Pusat. Sebagai satu-satunya perwira paling senior disitu, Benny langsung mengoper pimpinan. Para Polisi ia perintahkan menjaga jalan ke arah Brastagi. Kemudian datanglah seorang Bintara Kavaleri menghadap Benny.

"Lapor, Serma Kemis siap menunggu perintah Pak!" Rupanya Serma Kemis adalah bekas murid Benny sewaktu dia menjadi Instruktur di Sekolah Kader Infanteri akhir 1952.

"Wah, sampean iki bukannya di Yonif to ?" Tanya Benny heran.

"Siap. Saya sekarang di Kavaleri, Pak!" Jelas Kemis sambil menghormat.

"Ok. Sekarang kamu majukan pasukan mu itu sedikit. Arahkan moncong Panser ke arah Prapat. Tembak kalau ada gerakan mencurigakan. Jangan ragu-ragu!" Perintah Benny.

"Siap. Kerjakan!"

Serma Kemis kemudian menggerak kan Peleton nya ke posisi yang diperintahkan Benny. Ia menempatkan kenderaan tempur lapis baja nya M8 Greyhound dengan meriam 37mm menghadap Prapat. Panser beroda karet 4x4 buatan AS itu juga dilengkapi sepucuk SMB 12.7mm dan senapan mesin segaris bidik (coaxial) Browning 7.62mm. Kini pasukan Benny dapat beristirahat dan tidur dengan nyenyak nya malam itu karena merasa aman, mereka tenang dijaga oleh kesatuan tempur bersenjata berat.

Keesokan harinya muncul iring-iringan sepeda dari arah Prapat. Rupanya mereka adalah para buruh kelapa sawit keturunan Jawa yang bermukim di Prapat. Dari mereka Benny bisa mengetahui kedudukan pasukan PRRI serta posisi pertahanannya. Benny langsung menyiagakan pasukannya, Peleton CI. Santosa diperintahkan maju kedepan diikuti oleh Peleton Tatang Sudibjo. Sementara para polisi yang bersiap di samping dan Peleton Kavaleri serta Pansernya akan memberikan tembakan bantuan.

Belum pun sempat Peleton C.I. Santosa mencapai depan sebuah pengkolan, mendadak dari arah kiri jalan terdengar rentetan senjata berat. Peluru musuh berhamburan menerjang pasukan "koalisi" Benny, dan tidak berapa lama, posisi Benny dan pasukannya pun langsung terkepung, disirami tembakan gencar. Dalam riuh rendah tembakan, tiba-tiba terdengar suara letusan menggelegar! Rupanya suara itu tadi berasal dari Bazooka 2.5inch yang ditembakkan musuh kearah pasukan Benny. Untung lah pasukan PRRI belum sempat mempelajari karasteristik dari senjata tersebut, belum mahir menggunakannya sehingga walau banyak roket yang ditembakkan, tidak satupun yang menghantam telak.

Masih dalam suasana riuh rendah pertempuran, telinga Benny menangkap suara aneh persenjataan yang digunakan oleh PRRI, suara tersebut layaknya hentakan-hentakan kaki ke tanah dengan keras. Setelah melihat bahwa peluru dari suara senjata aneh tersebut meledak dan memencarkan serpihan besi panas, maka maklumlah Benny apa gerangan senjata tersebut. Itulah suara Mortir 60mm yang baru saja dipasok AS kepada PRRI.

Melihat Peleton CI. Santosa yang nampak stuck tidak bisa bergerak disiram tembakan gencar senjata berat PRRI, Benny berteriak,

"Panser, majuu!"

Mendengar perintah Benny, Serma Kemis langsung menggerakkan Pansernya maju sambil menembakkan kanon nya, sementara SMB 12.7mm nya memberondong sisi bukit yang ditengarai sebagai basis penyerangan PRRI. SMB M8-Greyhoound ini pun langsung memerah laras SMB nya, panas akibat tembakan berondongan ratusan peluru tanpa henti yang ditembakkan. Gerakan Panser yang menantang resiko berat menjadi bulan-bulanan Bazooka 2.5 inch PRRI sangat beresiko. Karena bisa dipastikan, satu saja hantaman telak dari Bazooka tadi akan membuat lumat Panser dan seluruh isinya termasuk Serma Kemis.

Saat bersamaan, dibawah lindungan tembakan kanon Panser, Peleton Tatang Sudibjo maju membantu meringankan beban Peleton CI Santosa yang terjepit sehingga mereka bisa bernafas lega.

Dirusuk kiri arah serangan PRRI, Kopral Sihombing, Tamtama senapan mesin sudah menghabiskan 2 round amunisinya. Tidak terhitung lagi berapa banyak peluru yang dia tembakkan, juga tidak terhitung musuh yang menjadi mangsa senjatanya. Setelah mengisi amunisi untuk ke tiga kalinya, Sihombing merengsek maju sambil menunduk menuju tanggul pertahanan pasukan PRRI. Belum pun sempat dia berlindung dari gerakan maju tiga dua yang dia lakukan tadi, sebuah peluru musuh menyambar dada kirinya. Sihombing langsung limbung, ketika sebuah lagi peluru menyambar perutnya, dia langsung terkapar tidak bergerak lagi. CI Santosa yang berusaha menggapai tubuh Sihombing dan menariknya ke area yang aman menjadi bulan-bulan tembakan gencar, niatnya pun diurungkan. Sihombing, Tamtama Bren andalan Kompi Benny, penerjun pertama dalam setiap penerjunan, prajurit komando kenyang pengalaman tempur, gugur ditangan saudara sebangsanya sendiri.

Pertempuran masih berlangsung cukup lama, kemudian berakhir dengan semakin lemahnya tembakan balasan dari pihak PRRI dan akhirnya berhenti. Jumlah korban PRRI dalam pertempuran ini demikian besar. Tubuh mereka bertindih-tindihan mulai dari jalan raya, tanggul, bertebaran hingga ke kaki bukit dan pinggiran hutan.

Benny sendiri tertegun menyaksikan begitu banyak nya korban pemberontak di depan matanya. Rata-rata mereka masih berusia sangat muda, belasan tahun, berserakan hingga ke kaki bukit. Seumuran mereka sepantasnya masih menimba ilmu di bangku sekolah, bukan menyabung nyawa di di palagan pertempuran. Disisi lain, Benny sedih kehilangan Kopral Sihombing, anak buah yang sudah sekian lama turut bersamanya diberbagai penugasan.

Pertempuran di Simpang Tiga tersebut diberikan kepada khalayak luas. Dalam siaran resminya, Pemerintah RI menyebutkan, "TELAH GUGUR SEORANG PRAJURIT DARI RPKAD BERNAMA KOPRAL SIHOMBING". Masyarakat Medan pun terhenyak, "Lho itu kan nama orang kita, bukan nama Jawa!".

Rupanya selama ini PRRI menghembuskan isu bahwa perjuangan mereka adalah untuk menghapus dominasi etnis Jawa dalam Pemerintah RI. Gugurnya Kopral Sihombing telah membuktikan bahwa propaganda itu sama sekali tidak benar, bukan tentara Batak melawan tentara Jawa, melainlan Pemerintah melawan sekelompok oportunis..



 Bersambung ...

Ditulis Samuel.Tirta (Kaskuser) dari berbagai sumber


  Garuda Militer  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...