Pada akhir Oktober 1946, proses perundingan Indonesia-Belanda yang dimulai sejak 14 Oktober 1946 di Konsulat Jenderal Inggris, Jakarta, sudah mendekati tahap akhir. Kesepakatan itu termasuk soal gencatan senjata yang akan diberlakukan kedua pihak. Untuk membicarakan soal itu dengan pihak Belanda, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kepala Staf Letjen. Oerip Soemoehardjo harus bertolak ke Jakarta. Masalah muncul, pasukan mana yang akan mengawal kedua pejabat tinggi militer Republik tersebut?
Markas Besar Tentara kemudian menentukan beberapa kesatuan untuk mengawal keduanya hingga pulang lagi ke Yogyakarta. Salah satunya dipilihlah 15 kadet dari Akademi Militer Yogya (biasa disebut sebagai Kesatuan MA). Terpilihnya kadet MA selain karena pasukan ini memiliki disiplin yang baik juga karena mereka dikenal sebagai “tentara intelek” (rata-rata menguasai bahasa Inggris, Belanda dan Prancis). “Sehingga tidak memalukan bila dipamerkan di kota besar semacam Jakarta, di depan tentara Inggris dan Belanda,” tulis Drs. Moehkardi dalam Akademi Militer dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 (1977).
Menurut Subroto (mantan Menteri Pertambangan di era Soeharto dan juga alumni MA 1948), beruntunglah mereka yang terpilih sebagai Pasukan Pengawal ini. Selain mendapat seragam yang bagus untuk ukuran Indonesia saat itu, mereka pun dibekali persenjataan yang lengkap.
Maka pada Jumat dini hari, 1 November 1946 bertolaklah rombongan Panglima Besar Jenderal Soedirman itu ke Jakarta. Begitu kereta api yang mereka tumpangi memasuki garis status quo (18 km dari Jakarta), rasa tegang merayapi perasaan para kadet MA. Bagaimana tidak, di sinilah mereka untuk pertama kali bertatapan muka secara dekat dengan wajah para serdadu NICA yang menjadi musuh mereka. “Tiap berpapasan kami hanya saling melotot dengan tangan siap menarik picu,” kenang Subroto yang beberapa lama usai lulus dari MA minta berhenti dari dinas tentara untuk memasuki dunia akademis.
Tujuan akhir perjalanan kereta api mereka sejatinya adalah di Stasiun Gambir karena Stasiun tersebut hanya berjarak sepelemparan batu dari Hotel Shuteraaf, tempat Panglima dan Kepala Staf menginap. Namun pada akhirnya kereta api berhenti di Stasiun Manggarai.
Sesungguhnya soal Stasiun Manggarai ini adalah usul “politis” dari Perdana Menteri Sjahrir yang menginginkan kedua pejabat tinggi militer Republik sempat mendapatkan sambutan terlebih dahulu dari rakyat Jakarta. Saya rasa, Sjahrir ingin pamer kepada Inggris dan Belanda bahwa lewat sambutan rakyat kepada rombongan Jenderal Soedirman, Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah syah dan diakui oleh rakyatnya, bukan pemerintahan boneka Jepang.
Dan benarlah, begitu kereta api sampai di Stasiun Manggarai pada Jumat pagi, ribuan warga menyemut di stasiun yang terletak di selatan Jakarta tersebut. Begitu rombongan keluar, pekik “merdeka” bersipongan seolah gemuruh ribuan tawon yang membuat bulu kuduk berdiri.
Konvoi Panglima Besar lantas diarak rakyat melewati jalur Jalan Tambak, Matraman, Salemba, Pasar Senen dan berhenti tepat di Hotel Shuteraaf. Sejak itulah para kadet MA, siang-malam menjaga dua pimpinan mereka dengan ketat dan sikap siaga penuh.
Subroto mengakui tugas sebagai pengawal khusus Panglima dan Kepala Staf bukanlah tugas yang ringan. Selain sikap displin, mental mereka pun diuji betul. Tak jarang hanya untuk memprovokasi, para serdadu Belanda berjalan hilir mudik di depan mereka sambil memandang dalam pandangan menghina. “Tetapi ada enaknya juga, selain serdadu Belanda, banyak juga gadis-gadis Jakarta yang secara sengaja sering lewat di depan kami, hanya sekadar menebar senyum dan mungkin cari perhatian semata,” kenang Subroto. Romantisme zaman revolusi. {Diposkan by samuel.tirta]
Markas Besar Tentara kemudian menentukan beberapa kesatuan untuk mengawal keduanya hingga pulang lagi ke Yogyakarta. Salah satunya dipilihlah 15 kadet dari Akademi Militer Yogya (biasa disebut sebagai Kesatuan MA). Terpilihnya kadet MA selain karena pasukan ini memiliki disiplin yang baik juga karena mereka dikenal sebagai “tentara intelek” (rata-rata menguasai bahasa Inggris, Belanda dan Prancis). “Sehingga tidak memalukan bila dipamerkan di kota besar semacam Jakarta, di depan tentara Inggris dan Belanda,” tulis Drs. Moehkardi dalam Akademi Militer dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 (1977).
Menurut Subroto (mantan Menteri Pertambangan di era Soeharto dan juga alumni MA 1948), beruntunglah mereka yang terpilih sebagai Pasukan Pengawal ini. Selain mendapat seragam yang bagus untuk ukuran Indonesia saat itu, mereka pun dibekali persenjataan yang lengkap.
Maka pada Jumat dini hari, 1 November 1946 bertolaklah rombongan Panglima Besar Jenderal Soedirman itu ke Jakarta. Begitu kereta api yang mereka tumpangi memasuki garis status quo (18 km dari Jakarta), rasa tegang merayapi perasaan para kadet MA. Bagaimana tidak, di sinilah mereka untuk pertama kali bertatapan muka secara dekat dengan wajah para serdadu NICA yang menjadi musuh mereka. “Tiap berpapasan kami hanya saling melotot dengan tangan siap menarik picu,” kenang Subroto yang beberapa lama usai lulus dari MA minta berhenti dari dinas tentara untuk memasuki dunia akademis.
Tujuan akhir perjalanan kereta api mereka sejatinya adalah di Stasiun Gambir karena Stasiun tersebut hanya berjarak sepelemparan batu dari Hotel Shuteraaf, tempat Panglima dan Kepala Staf menginap. Namun pada akhirnya kereta api berhenti di Stasiun Manggarai.
Sesungguhnya soal Stasiun Manggarai ini adalah usul “politis” dari Perdana Menteri Sjahrir yang menginginkan kedua pejabat tinggi militer Republik sempat mendapatkan sambutan terlebih dahulu dari rakyat Jakarta. Saya rasa, Sjahrir ingin pamer kepada Inggris dan Belanda bahwa lewat sambutan rakyat kepada rombongan Jenderal Soedirman, Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah syah dan diakui oleh rakyatnya, bukan pemerintahan boneka Jepang.
Dan benarlah, begitu kereta api sampai di Stasiun Manggarai pada Jumat pagi, ribuan warga menyemut di stasiun yang terletak di selatan Jakarta tersebut. Begitu rombongan keluar, pekik “merdeka” bersipongan seolah gemuruh ribuan tawon yang membuat bulu kuduk berdiri.
Konvoi Panglima Besar lantas diarak rakyat melewati jalur Jalan Tambak, Matraman, Salemba, Pasar Senen dan berhenti tepat di Hotel Shuteraaf. Sejak itulah para kadet MA, siang-malam menjaga dua pimpinan mereka dengan ketat dan sikap siaga penuh.
Subroto mengakui tugas sebagai pengawal khusus Panglima dan Kepala Staf bukanlah tugas yang ringan. Selain sikap displin, mental mereka pun diuji betul. Tak jarang hanya untuk memprovokasi, para serdadu Belanda berjalan hilir mudik di depan mereka sambil memandang dalam pandangan menghina. “Tetapi ada enaknya juga, selain serdadu Belanda, banyak juga gadis-gadis Jakarta yang secara sengaja sering lewat di depan kami, hanya sekadar menebar senyum dan mungkin cari perhatian semata,” kenang Subroto. Romantisme zaman revolusi. {Diposkan by samuel.tirta]
★ Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.