Pertama
Ilustrasi Marinir di Bumi Aceh [Suarasurabaya]
Pada era darurat militer di Aceh, aku pernah merasakan desingan peluru beberapa inchi saja dari kepala. Kejadiannya sekitar bulan Juni 2003, di kawasan Blang Rheum, wilayah Gerakan Aceh Merdeka Batee Iliek dengan Panglima Wilayah GAM Darwis Jeunib. Darwis Jeunib, konon adalah salah satu combatan GAM yang piawai dalam menembak. Tembakan Darwis jitu, karenanya menjadi salah seorang sniper handal di GAM. Kepiawaiannya itulah yang menjadikan Darwis Jeunib menjadi Panglima Wilayah.
Secara organisasi pasukan perang GAM, panglima wilayah andaikan dipadankan dengan organisasi TNI, bisa dianggap sebagai Panglima Kodam, cukup prestisius. Kira kira satu bulan operasi darurat militer di Aceh berlangsung, Satuan Marinir dari Batalyon Tim Pendarat pimpinan Letkol. Marinir Joko Suprianto menangkap informasi keberadaan Darwis Jeunib. Bagi wartawan, info ini menjanjikan berita menarik sehingga dengan semangat “wartawan perang” meluncurlah ke markas TNI di Bireun yang letaknya di lingkungan kantor Bupati Bireun. Aku waktu itu bersama dengan kamerawan SCTV, Taufik Maru, ikut bergabung. Tak lama kemudian di sebuah warung kopi di dekat markas, kami bertemu dengan beberapa wartawan lain yang memang ngepos di kawasan Bireun.
Makan siang di warung, sambil menunggu keberangkatan tim ke pos terakhir di dekat lokasi dugaan tempat persembunyian Darwis Jeunib dan pasukannya. Sore hari, tak lama lepas magrib, pasukan bergerak. Dua tank baja dan satu truk dipakai untuk membawa wartawan dan pasukan ke lokasi yaitu kawasan hutan di Blang Rheum.
Kami wartawan memilih naik tank baja, mengingat tidak mau konyol kalau tiba tiba disergap pasukan GAM. Setelah duduk manis di dalam tank, lima menit kemudian pasukan bergerak. Lima kemudian pengab dan panas di dalam tank, segera membuat peluh berlarian membasahi tubuh. Di bagian atas tank, ada tempat terbuka yang dijadikan ruang gerak personil yang siap memuntahkan peluru dari senapan mesin. Tak tahan panas, akhirnya kami bergantian menongolkan kepala dan separuh badan, sekedar mendapat angin, lumayaaan. Setelah semakin masuk ke dalam hutan dengan kondisi jalan yang tidak keruan, karena jalan apa saja dihantam oleh tank baja itu, kami tidak lagi berani menongolkan kepala.
Kira kira satu dua jam berjalan, kami tiba disebuah rumah kosong yang sudah di tinggalkan penduduk, rupanya disini sudah ada pasukan TNI dan dijadikan pos pantau terakhir. Wuiih, begitu sampai suasana gelap, tidak ada lampu penerangan sama sekali. Setelah sampai segera wartawan dan pimpinan pasukan masuk ke dalam rumah kayu. Dua orang personil TNI menyiapkan lampu senter kecil, yang bisa diubah bentuknya menjadi lampu gantung lalu digantung di ruang tengah. Rumah kayu itu tidak besar, sekitar 70 meter persegi dengan dua kamar tidur. Ada pula ruang tamu yang digabung tanpa sekat dengan ruang keluarga. Kamar mandi berada di luar rumah, bagian belakang. Air tentu saja pakai timba.
Makan malam rupanya sudah disiapkan, sebetulnya buat komandan, yaitu Letnan Kolonel Joko dan beberapa anak buahnya yang baru tiba. Menunya mantap, untuk ukuran “perang” yaitu ayam kampung yang direbus dengan bumbu rempah rempah. Nasi yang masih mengebul ditaruh di dalam baskom besar warna putih kekuningan, sedangkan ayam diletakkan di baskom plastic berwarna biru yang lebih kecil. Perut yang sudah protes nggak keruan, tidak bisa langsung menyantap hidangan, masih menunggu komandan, katanya personil jurusan masak memasak.
Sang Kolonel masih membriefing anak buahnya, sedangkan kami, ogah banget melihat briefing dan lebih baik mengambil posisi yang strategis untuk makan malam. Sekitar 20 menit, akhirnya briefing selesai, tapi nasi sudah terlanjur tidak lagi mengebul, hangat hangat saja.
Setelah basi basi sedikit, karena memang kami tidak mau lama lama takutnya protes perut semakin menjadi dan menimbulkan anarki. Lima menit sang komandan mengajak makan, horeeee….. Untungnya sebagai orang sipil ya… seperti ini, nggak perlu nunggu komando lagi untuk mulai merebut ayam dan nasi. Lima menit sunyi, yang terdengar suara kunyahan mulut mulut yang berisi ayam kampung dan nasi. Enak rasanya walaupun nasi agak keras dan ayam sepertinya tidak terlalu ikhlas untuk direbus terasa dari dagingnya yang masih alot.
Setelah 15 menit makan usai, ngerokok menjadi ritual selanjutnya. Basi basi dan omongan omongan ringan dilakukan dengan suara yang cenderung berbisik dan tanpa lampu. Semakin malam mulai mengantuk, segera ambil posisi. Komandan dan pasukan intinya menempati dua kamar tidur dengan dipan kayu dan kasur kapuk tipis. Kami di ruang keluarga, tidur dengan dilapis tikar plastik. Sebelum tidur ke kamar kecil dulu di belakang, mengendap endap tanpa lampu. Kakusnya terbuka dan hanya ditutupi dengan anyaman bambu pada dua sisi. Tidak ada air di ember jadi harus nimba dulu. Di dekat sumur ada tentara mandi, tentu saja bugil.
Rupanya ditinggal sebentar saja ke belakang membuat posisi tempat tidur sudah tergeser, edan nggak sampe lima menit. Semua berebutan tempat yang agak di tengah mengingat dindingnya hanya papan yang kalau ada berondongan peluru pasti tembus. Aku akhirnya dapat tempat di pinggir, sialan…. Kalau ada tembakan ke arah dalam yang berada di pinggir pasti tertembhus duluan.
“Wah… nggak beres nih caranya kalau begini” tapi mau dikata apa, cuek tidur aja di pinggir belakang berbatasan dengan dapur. Tidak berani terlalu mepet ke pinggir, aku merangsek agak ke tengah. Karena sedikit ada ruang, aku tawari tentara yang sedang masuk ke ruangan untuk tidur di pinggir disamping aku. Sang tentara ini mau… hehehe, lumayan pikirku dalam hati, minimal kalau ada tembakan masih ada pelapis. Tidurlah akhirnya dengan nyenyak sekitar pukul 12 malam.
Pagi pagi sekitar pukul setengah enam terbangun hampir berbarengan sekitar 8 orang wartawan lain. Di luar ribut, rupanya pasukan sudah bersiap. Mereka membakar TB (makanan kaya kalori, tapi sumpah!!!nggak ueeenaaak). Kami ditawari, karena tidak ada menu lain, disantap aja, dua sendok cukup. Wartawan lain pun begitu, tidak ada yang lahap. Karena terlihat tidak bernafsu, seorang personil yang menjadi juru masak menawari membuat mie instant rebus, spontan pagi itu ada koor “setujuuuuuu”.
Hanya lima menit usai koor setuju, pasukan disiapkan untuk briefing. Briefing kurang lebih selama 20 menit, tapi imbasnya yang sangat fatal,… seluruh personil disiapkan dan wartawan dikumpulkan dan diberi informasi bahwa pasukan dibagi dua.
Satu pasukan akan menyisir dan merazia di jalan desa dan satu pasukan lain akan menggerebeg tempat persembunyian Darwis Jeunib. Seluruh wartawan spontan tanpa komando menyatakan ikut pasukan yang akan menggerebeg kediaman Darwis Jeunib. Saat itu pasukan dan wartawan harus bersiap berangkat, artinya mie instant yang diharap-harapkan, gagal mengisi perut. Hanya membawa air mineral, kami berangkat, bego banget… ikut ”perang” modal air tok!
Satu jam perjalanan, air persediaan sudah tandas, padahal belum juga satu bukit terlampaui dari target tiga bukit, waah… kalau sudah begini harus kreatif. Kalau haus mendera, dekati satu personil marinir minta air minum persediaannya, haus lagi dekati personil lainnya, begitu seterusnya.
Memasuki bukit kedua di kepala sudah beterbangan kunang kunang. Tersadar bahwa fisik tentara kita memang ampuh.
Kubunuhi satu persatu kunang kunang yang ada dengan beberapa kali bersandar. di pohon dan minum berteguk teguk air punya pak tentara yang baik hati… (eit ini rahasia! yakinlah bahwa semua tentara itu baik hati, hanya saja terkadang sepatunya suka bandel dan mampir di kepala… cihuuuy!!!).
Di bukit kedua, pasukan istirahat sebentar, lumayan kunang kunang mulai hilang. Saatnya mendaki bukit terakhir dan dibalik bukit ketiga persembunyian Darwis Jeunib akan digrebeg. Segera semangat bangkit, dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit.
Teman kamerawanku jalan duluan dengan 2 kamerawan TV lain, sisanya tersebar di tengah dan di belakang. Saat aku berada di puncak bukit, tiba tiba terdengar tembakan tek tek tek… tek tek tek… yang susul menyusul…. suara rentetan AK 47 menghiasi bukit. Posisiku terpisah dengan dengan kamerawanku yang saat itu berada di posisi tengah bukit.
Personil pasukan marinir segera meminta kami tiarap, baru kali itu, aku bener bener mengikuti perintah tentara.
Rentetan suara terus berdesingan, tiba tiba seorang personil marinir berteriak ke temannya.
”Wooooiii..diatas ada berapa?”.
”Dua!!!” jawab personil lainnya, entah siapa.
”Waduuuuh” teriak personil yang bertanya tadi, khawatir nampaknya. Nyaliku yang tadinya satu, menjadi setengah. Posisi tiarap dengan disiplin kujalani, sambil tangan kanan mengangkat kamera handycam yang aku bawa, ambil gambar sambil ngintip, sambil sembunyi, sambil berdoa.
Tidak lama dari rentetan suara AK 47, tiba tiba ada suara tembakan dari senapan lain, suaranya ssst,sst, sst!!!, sepertinya suara senapan SS2.
”Bukan GAM!!!” teriak personil marinir.
”Tahan tembakan!!!!”.
Akhirnya, sekitar 5-7 menitan kami di hujani ratusan peluru, tanpa pasukan marinir membalas. Nyaliku bertambah seperempat lagi, dan didalam hati aku bilang :
”Bego banget...Ditembaki tidak membalas!”.
Tiba tiba suara tembakan mereda.
”Anjing!!!!” ”Anjing!!!” umpat komandan pasukan.
”Kita ditembaki Brimob!!!”.
Seluruh pasukan dan wartawan satu persatu muncul dengan ekspresi yang berbeda beda.
”Tadi itu kita ditembaki Brimob, mereka sangka kita GAM. Nggak liat apa, kita pake topi baja. GAM nggak pernah pake topi baja!!!”.
Akhirnya pasukan berkumpul kembali di kaki bukit, anggota pasukan yang mencari persembunyian Darwis Jeunib menyatakan negatif alias tidak ada. Pasukan kemudian bersiap kembali untuk pulang ke pos.
Perjalanan ke pos nyaris tanpa suara. Capek, laper, haus, kesel bercampur aduk. Personil juga tampak kecewa. Hanya ada celetukan celetukan yang mempertanyakan siapa yang membuat operasi ini bocor.
Hampir 3 jam perjalanan pulang ke pos. Sampai ke pos sekitar pukul 3 sore. Saat sampai di pos kami disambut senyuman Letkol. Joko, dia bilang.
”Kalian hampir jadi perkedel!!!”.
”Kenapa, pak?” sahutku.
”Tadi masuk permintaan dari Brimob untuk melemparkan mortir ke posisi kalian, katanya ada sekitar seratus GAM ada di posisi itu. Kemudian saya tanya dimana kordinatnya, ternyata kordinatnya adalah kordinat pasukan kita”, jawab Letkol Joko.
”Andai saja saya tidak dapat kordinat kalian, mortir dilepas, jadi perkedel kalian semua!”.
”Haah, persetanlah”, rasa capekku protes.
Setelah itu berlangsung pembicaraan serius antara komandan dengan anggota personil. Nampaknya seru, dan dapat bocoran, bahwa yang mereka bicarakan adalah mengapa operasi bocor, apa kemungkinan yang ada, dan bagaimana tindak lanjutnya. Kedua Jatah Komandan Diembat
Beberapa wartawan termasuk aku ikut pada sebuah operasi TNI di kawasan Blang Rheum, Bireun, Aceh. Operasi nyatanya bocor, hasilnya terjadi friendly fire antara BRIMOB dan PASRAT MARINIR. Kami wartawan yang ikut dalam pasukan juga ditembaki oleh pasukan BRIMOB, untung saja MARINIR tidak melakukan pembalasan, jila tidak pasti hancur-hancuran deh. Tahu bahwa kami tadi ditembaki oleh pasukan KAWAN, mangkel..dongkol rasanya, beruntung tidak ada yang terluka atau dalam istilah slengean 'Ngeri-Ngeri Sedap'.
Sore itu rasa capek, laper dan sebagainya muncul kembali sesaat tiba di pos. Air minum langsung diserbu. Tidak berapa lama, tiga orang personil pasukan TNI datang membawa setandan pisang yang sudah matang, satu orang lagi membawa sangkar burung lengkap dengan isinya, seekor burung berwarna kuning sebesar separuh burung dara. Segera pisang setandan diserbu wartawan dan personil tentara yang pastinya kelaparan juga.
Sambil makan pisang aku tanya pada personil yang membawa burung,
“Ngambil dimana burungnya, bang?”.
“Ada di rumah kosong, jadi kita ambil aja daripada mati” balasnya.
“Dibayar nggak?” sambarku.
“Sudah tadi, kita taruh uang sepuluh ribu dan rokok Dji Sam Soe setengah bungkus, kalau di daerah konflik kita tidak boleh ngambil mas, kalau ngambil kita harus ganti ntah tinggalin duit atau rokok, biar nggak ada celaka dalam operasi” jawabnya.
“Gundulmu!” kataku bercanda.
Tiba tiba Letkol Joko datang terburu buru,
“Mana teman temannya?” tanyanya.
“Ada di dalam, pak”, balasku,
“Ayo ikut, ada Pangkoops ke lokasi!”.
Maksud Letkol Joko, Panglima Komando Operasi Darurat Militer Brigjen TNI Bambang Dharmono akan meninjau lokasi.
Kuikuti langkah Pak Joko ke dalam rumah. Tiba tiba langkah pak Joko terhenti,…astaga di ruang keluarga tadi, ada tiga wartawan termasuk kamerawanku sedang makan reriungan sisa makan siang Sang Komandan dan pasukan. Mereka makan sambil jongkok, mengerubungi sebuah baskom berwarna putih kekuningan yang isinya nasi dicampur dengan ayam bumbu sisa makan siang. Makannya berebutan kayak tawanan perang. Ketiganya tercekat saat ketemu Pak Joko, salah seorang kreatif menegur.
“Mari makan ndan! (Komandan)”.
"Hahahahahaha.” Aku spontan tertawa terpingkal pingkal.
Pak Joko terdiam, raut mukanya campur baur, antara geli, kasian dan jengkel karena tidak segera siap bergerak. Usut punya usut, makan siang yang disamber teman teman tadi adalah sisa makan siang pasukan dan Sang Komandan.
Karena siang itu kita tiba di pos, waktu makan siang sudah lewat, jadi tidak ada jatah makan siang. Entah siapa yang menemukan dan memulai, ada sisa makanan langsung diserbu tanpa ba-bi-bu oleh teman temanku.
Pak Joko balik kanan, aku masih dalam kondisi tertawa, memberitahu mereka untuk segera bersiap karena Bambang Dharmono yang biasanya disebut BD. segera datang ke lokasi.
Mereka cuek melanjutkan makan, aku sakit perut menahan geli. Terbayang kalau seterusnya jadi tentara pasti menderita dalam operasi operasi di medan perang.Ketiga Beberapa wartawan ikut penyerbuan marinir ke markas Darwis Jenib di Blang Rheum, Bireun, hasilnya nihil, malah dapat friendly fire.
Aku masih tertawa saat pak Joko balik kanan. Teman teman yang ngembat jatah komandan, usai makan bergegas ambil peralatan liputan, nggak mau ketinggalan moment tentunya.
Ok, siap berangkat… jalan kaki lagi.
Sekitar 15 menit kita nyampe di sebuah rumah semi permanen. Dinding rumah, papan yang disusun saling menumpuk dan kemudian dicat dengan cat dari kapur warna putih kekuningan. Oo, ternyata itulah rumah persembunyian Darwis Jeunib. Pasukan Dua yang tidak ikut ke bukit, yang melakukan penyergapan.
Belum sempat lihat dan masuk ke rumah, tiba tiba rombongan Pangkoops Brigjend Bambang Dharmono tiba di lokasi. Langsung serempak para tentara menunjukkan “kepatuhannya” dengan berdiri berjejer. BD dengan cueknya melewati pasukan dan langsung menuju ke dalam rumah. 5 menit saja di dalam rumah cukup untuk membuncahkan kemarahan Pangkoops.
BD marah besar karena rumah kediaman tempat persembunyian terakhir Darwis Jeunib telah diobrak abrik oleh tentara yang melakukan penyergapan. Dengan suara yang lantang, BD memanggil, “Mana Komandan!!!”. Segera pasukan membebek dan berbaris. Sebagian rapi berbaris sebagian lain masih berjaga di sekeliling rumah. Aku berada sekitar 5 meter di belakang BD. Tiba tiba dengan tongkat komandonya BD menggetok kepala Letkol. Joko didepan pasukannya. Tak puas, BD langsung memaki-maki, “goblog, kenapa diobrak-abrik?!”, tentu saja BD tidak perlu jawaban atas pertanyaannya. Semua pasukan terpekur. Ocehan masih berlanjut, dan lagi-lagi tongkat komando ikut bicara dengan menggetok kepala Letkol. Joko.
Aku mundur sekitar 5 meter lagi dari posisi semula, untuk jaga perasaan Letkol. Joko. Ocehan BD masih belum tuntas dalam sepuluh menit. Aku berdiri persis disamping seorang marinir yang masih dalam posisi berjaga. Tiba-tiba, tanpa ditanya, tanpa basa-basi, dia bilang ”Sekali lagi dia (BD) pukul komandan, aku tembak!!!”, maak, kaget aku. Untungnya BD selesai, nggak kebayang kalau tiba tiba BD memukul lagi dan kemudian sang marinir memenuhi janjinya untuk meletupkan senjata, wuiiih….
Akhirnya, BD pulang setelah sebelumnya wartawan mewawancarainya. Inti wawancara, BD kecewa dengan operasi yang gagal dan sembrono dengan mengobrak-abrik rumah. BD menilai perilaku itu tidak etis, dan justru menimbulkan ketidaksimpatian warga atas TNI.
Bergegas aku masuk rumah, dan benar saja, meja, kursi, TV bergelimpangan. Sepertinya para tentara melampiaskan kekecewaanya atas operasi yang bocor.
Sial betul, Letkol. Joko hari itu, operasi penyergapan di bukit gagal, operasi penyergapan di rumah pelarian Darwis jeunib gagal, sisa makan siang diembat wartawan, sorenya digetok dua kali di depan pasukan sendiri.
Jadi tentara, emang seperti jalan tanpa kepala ya… semua tergantung komandan, semua tergantung Jendral. Kalaupun ada yang berani dengan jendral adalah senjata yang siap menyalak. (Tamat)(diposkan inlania)
Pada era darurat militer di Aceh, aku pernah merasakan desingan peluru beberapa inchi saja dari kepala. Kejadiannya sekitar bulan Juni 2003, di kawasan Blang Rheum, wilayah Gerakan Aceh Merdeka Batee Iliek dengan Panglima Wilayah GAM Darwis Jeunib. Darwis Jeunib, konon adalah salah satu combatan GAM yang piawai dalam menembak. Tembakan Darwis jitu, karenanya menjadi salah seorang sniper handal di GAM. Kepiawaiannya itulah yang menjadikan Darwis Jeunib menjadi Panglima Wilayah.
Secara organisasi pasukan perang GAM, panglima wilayah andaikan dipadankan dengan organisasi TNI, bisa dianggap sebagai Panglima Kodam, cukup prestisius. Kira kira satu bulan operasi darurat militer di Aceh berlangsung, Satuan Marinir dari Batalyon Tim Pendarat pimpinan Letkol. Marinir Joko Suprianto menangkap informasi keberadaan Darwis Jeunib. Bagi wartawan, info ini menjanjikan berita menarik sehingga dengan semangat “wartawan perang” meluncurlah ke markas TNI di Bireun yang letaknya di lingkungan kantor Bupati Bireun. Aku waktu itu bersama dengan kamerawan SCTV, Taufik Maru, ikut bergabung. Tak lama kemudian di sebuah warung kopi di dekat markas, kami bertemu dengan beberapa wartawan lain yang memang ngepos di kawasan Bireun.
Makan siang di warung, sambil menunggu keberangkatan tim ke pos terakhir di dekat lokasi dugaan tempat persembunyian Darwis Jeunib dan pasukannya. Sore hari, tak lama lepas magrib, pasukan bergerak. Dua tank baja dan satu truk dipakai untuk membawa wartawan dan pasukan ke lokasi yaitu kawasan hutan di Blang Rheum.
Kami wartawan memilih naik tank baja, mengingat tidak mau konyol kalau tiba tiba disergap pasukan GAM. Setelah duduk manis di dalam tank, lima menit kemudian pasukan bergerak. Lima kemudian pengab dan panas di dalam tank, segera membuat peluh berlarian membasahi tubuh. Di bagian atas tank, ada tempat terbuka yang dijadikan ruang gerak personil yang siap memuntahkan peluru dari senapan mesin. Tak tahan panas, akhirnya kami bergantian menongolkan kepala dan separuh badan, sekedar mendapat angin, lumayaaan. Setelah semakin masuk ke dalam hutan dengan kondisi jalan yang tidak keruan, karena jalan apa saja dihantam oleh tank baja itu, kami tidak lagi berani menongolkan kepala.
Kira kira satu dua jam berjalan, kami tiba disebuah rumah kosong yang sudah di tinggalkan penduduk, rupanya disini sudah ada pasukan TNI dan dijadikan pos pantau terakhir. Wuiih, begitu sampai suasana gelap, tidak ada lampu penerangan sama sekali. Setelah sampai segera wartawan dan pimpinan pasukan masuk ke dalam rumah kayu. Dua orang personil TNI menyiapkan lampu senter kecil, yang bisa diubah bentuknya menjadi lampu gantung lalu digantung di ruang tengah. Rumah kayu itu tidak besar, sekitar 70 meter persegi dengan dua kamar tidur. Ada pula ruang tamu yang digabung tanpa sekat dengan ruang keluarga. Kamar mandi berada di luar rumah, bagian belakang. Air tentu saja pakai timba.
Makan malam rupanya sudah disiapkan, sebetulnya buat komandan, yaitu Letnan Kolonel Joko dan beberapa anak buahnya yang baru tiba. Menunya mantap, untuk ukuran “perang” yaitu ayam kampung yang direbus dengan bumbu rempah rempah. Nasi yang masih mengebul ditaruh di dalam baskom besar warna putih kekuningan, sedangkan ayam diletakkan di baskom plastic berwarna biru yang lebih kecil. Perut yang sudah protes nggak keruan, tidak bisa langsung menyantap hidangan, masih menunggu komandan, katanya personil jurusan masak memasak.
Sang Kolonel masih membriefing anak buahnya, sedangkan kami, ogah banget melihat briefing dan lebih baik mengambil posisi yang strategis untuk makan malam. Sekitar 20 menit, akhirnya briefing selesai, tapi nasi sudah terlanjur tidak lagi mengebul, hangat hangat saja.
Setelah basi basi sedikit, karena memang kami tidak mau lama lama takutnya protes perut semakin menjadi dan menimbulkan anarki. Lima menit sang komandan mengajak makan, horeeee….. Untungnya sebagai orang sipil ya… seperti ini, nggak perlu nunggu komando lagi untuk mulai merebut ayam dan nasi. Lima menit sunyi, yang terdengar suara kunyahan mulut mulut yang berisi ayam kampung dan nasi. Enak rasanya walaupun nasi agak keras dan ayam sepertinya tidak terlalu ikhlas untuk direbus terasa dari dagingnya yang masih alot.
Setelah 15 menit makan usai, ngerokok menjadi ritual selanjutnya. Basi basi dan omongan omongan ringan dilakukan dengan suara yang cenderung berbisik dan tanpa lampu. Semakin malam mulai mengantuk, segera ambil posisi. Komandan dan pasukan intinya menempati dua kamar tidur dengan dipan kayu dan kasur kapuk tipis. Kami di ruang keluarga, tidur dengan dilapis tikar plastik. Sebelum tidur ke kamar kecil dulu di belakang, mengendap endap tanpa lampu. Kakusnya terbuka dan hanya ditutupi dengan anyaman bambu pada dua sisi. Tidak ada air di ember jadi harus nimba dulu. Di dekat sumur ada tentara mandi, tentu saja bugil.
Rupanya ditinggal sebentar saja ke belakang membuat posisi tempat tidur sudah tergeser, edan nggak sampe lima menit. Semua berebutan tempat yang agak di tengah mengingat dindingnya hanya papan yang kalau ada berondongan peluru pasti tembus. Aku akhirnya dapat tempat di pinggir, sialan…. Kalau ada tembakan ke arah dalam yang berada di pinggir pasti tertembhus duluan.
“Wah… nggak beres nih caranya kalau begini” tapi mau dikata apa, cuek tidur aja di pinggir belakang berbatasan dengan dapur. Tidak berani terlalu mepet ke pinggir, aku merangsek agak ke tengah. Karena sedikit ada ruang, aku tawari tentara yang sedang masuk ke ruangan untuk tidur di pinggir disamping aku. Sang tentara ini mau… hehehe, lumayan pikirku dalam hati, minimal kalau ada tembakan masih ada pelapis. Tidurlah akhirnya dengan nyenyak sekitar pukul 12 malam.
Pagi pagi sekitar pukul setengah enam terbangun hampir berbarengan sekitar 8 orang wartawan lain. Di luar ribut, rupanya pasukan sudah bersiap. Mereka membakar TB (makanan kaya kalori, tapi sumpah!!!nggak ueeenaaak). Kami ditawari, karena tidak ada menu lain, disantap aja, dua sendok cukup. Wartawan lain pun begitu, tidak ada yang lahap. Karena terlihat tidak bernafsu, seorang personil yang menjadi juru masak menawari membuat mie instant rebus, spontan pagi itu ada koor “setujuuuuuu”.
Hanya lima menit usai koor setuju, pasukan disiapkan untuk briefing. Briefing kurang lebih selama 20 menit, tapi imbasnya yang sangat fatal,… seluruh personil disiapkan dan wartawan dikumpulkan dan diberi informasi bahwa pasukan dibagi dua.
Satu pasukan akan menyisir dan merazia di jalan desa dan satu pasukan lain akan menggerebeg tempat persembunyian Darwis Jeunib. Seluruh wartawan spontan tanpa komando menyatakan ikut pasukan yang akan menggerebeg kediaman Darwis Jeunib. Saat itu pasukan dan wartawan harus bersiap berangkat, artinya mie instant yang diharap-harapkan, gagal mengisi perut. Hanya membawa air mineral, kami berangkat, bego banget… ikut ”perang” modal air tok!
Satu jam perjalanan, air persediaan sudah tandas, padahal belum juga satu bukit terlampaui dari target tiga bukit, waah… kalau sudah begini harus kreatif. Kalau haus mendera, dekati satu personil marinir minta air minum persediaannya, haus lagi dekati personil lainnya, begitu seterusnya.
Memasuki bukit kedua di kepala sudah beterbangan kunang kunang. Tersadar bahwa fisik tentara kita memang ampuh.
Kubunuhi satu persatu kunang kunang yang ada dengan beberapa kali bersandar. di pohon dan minum berteguk teguk air punya pak tentara yang baik hati… (eit ini rahasia! yakinlah bahwa semua tentara itu baik hati, hanya saja terkadang sepatunya suka bandel dan mampir di kepala… cihuuuy!!!).
Di bukit kedua, pasukan istirahat sebentar, lumayan kunang kunang mulai hilang. Saatnya mendaki bukit terakhir dan dibalik bukit ketiga persembunyian Darwis Jeunib akan digrebeg. Segera semangat bangkit, dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit.
Teman kamerawanku jalan duluan dengan 2 kamerawan TV lain, sisanya tersebar di tengah dan di belakang. Saat aku berada di puncak bukit, tiba tiba terdengar tembakan tek tek tek… tek tek tek… yang susul menyusul…. suara rentetan AK 47 menghiasi bukit. Posisiku terpisah dengan dengan kamerawanku yang saat itu berada di posisi tengah bukit.
Personil pasukan marinir segera meminta kami tiarap, baru kali itu, aku bener bener mengikuti perintah tentara.
Rentetan suara terus berdesingan, tiba tiba seorang personil marinir berteriak ke temannya.
”Wooooiii..diatas ada berapa?”.
”Dua!!!” jawab personil lainnya, entah siapa.
”Waduuuuh” teriak personil yang bertanya tadi, khawatir nampaknya. Nyaliku yang tadinya satu, menjadi setengah. Posisi tiarap dengan disiplin kujalani, sambil tangan kanan mengangkat kamera handycam yang aku bawa, ambil gambar sambil ngintip, sambil sembunyi, sambil berdoa.
Tidak lama dari rentetan suara AK 47, tiba tiba ada suara tembakan dari senapan lain, suaranya ssst,sst, sst!!!, sepertinya suara senapan SS2.
”Bukan GAM!!!” teriak personil marinir.
”Tahan tembakan!!!!”.
Akhirnya, sekitar 5-7 menitan kami di hujani ratusan peluru, tanpa pasukan marinir membalas. Nyaliku bertambah seperempat lagi, dan didalam hati aku bilang :
”Bego banget...Ditembaki tidak membalas!”.
Tiba tiba suara tembakan mereda.
”Anjing!!!!” ”Anjing!!!” umpat komandan pasukan.
”Kita ditembaki Brimob!!!”.
Seluruh pasukan dan wartawan satu persatu muncul dengan ekspresi yang berbeda beda.
”Tadi itu kita ditembaki Brimob, mereka sangka kita GAM. Nggak liat apa, kita pake topi baja. GAM nggak pernah pake topi baja!!!”.
Akhirnya pasukan berkumpul kembali di kaki bukit, anggota pasukan yang mencari persembunyian Darwis Jeunib menyatakan negatif alias tidak ada. Pasukan kemudian bersiap kembali untuk pulang ke pos.
Perjalanan ke pos nyaris tanpa suara. Capek, laper, haus, kesel bercampur aduk. Personil juga tampak kecewa. Hanya ada celetukan celetukan yang mempertanyakan siapa yang membuat operasi ini bocor.
Hampir 3 jam perjalanan pulang ke pos. Sampai ke pos sekitar pukul 3 sore. Saat sampai di pos kami disambut senyuman Letkol. Joko, dia bilang.
”Kalian hampir jadi perkedel!!!”.
”Kenapa, pak?” sahutku.
”Tadi masuk permintaan dari Brimob untuk melemparkan mortir ke posisi kalian, katanya ada sekitar seratus GAM ada di posisi itu. Kemudian saya tanya dimana kordinatnya, ternyata kordinatnya adalah kordinat pasukan kita”, jawab Letkol Joko.
”Andai saja saya tidak dapat kordinat kalian, mortir dilepas, jadi perkedel kalian semua!”.
”Haah, persetanlah”, rasa capekku protes.
Setelah itu berlangsung pembicaraan serius antara komandan dengan anggota personil. Nampaknya seru, dan dapat bocoran, bahwa yang mereka bicarakan adalah mengapa operasi bocor, apa kemungkinan yang ada, dan bagaimana tindak lanjutnya. Kedua Jatah Komandan Diembat
Beberapa wartawan termasuk aku ikut pada sebuah operasi TNI di kawasan Blang Rheum, Bireun, Aceh. Operasi nyatanya bocor, hasilnya terjadi friendly fire antara BRIMOB dan PASRAT MARINIR. Kami wartawan yang ikut dalam pasukan juga ditembaki oleh pasukan BRIMOB, untung saja MARINIR tidak melakukan pembalasan, jila tidak pasti hancur-hancuran deh. Tahu bahwa kami tadi ditembaki oleh pasukan KAWAN, mangkel..dongkol rasanya, beruntung tidak ada yang terluka atau dalam istilah slengean 'Ngeri-Ngeri Sedap'.
Sore itu rasa capek, laper dan sebagainya muncul kembali sesaat tiba di pos. Air minum langsung diserbu. Tidak berapa lama, tiga orang personil pasukan TNI datang membawa setandan pisang yang sudah matang, satu orang lagi membawa sangkar burung lengkap dengan isinya, seekor burung berwarna kuning sebesar separuh burung dara. Segera pisang setandan diserbu wartawan dan personil tentara yang pastinya kelaparan juga.
Sambil makan pisang aku tanya pada personil yang membawa burung,
“Ngambil dimana burungnya, bang?”.
“Ada di rumah kosong, jadi kita ambil aja daripada mati” balasnya.
“Dibayar nggak?” sambarku.
“Sudah tadi, kita taruh uang sepuluh ribu dan rokok Dji Sam Soe setengah bungkus, kalau di daerah konflik kita tidak boleh ngambil mas, kalau ngambil kita harus ganti ntah tinggalin duit atau rokok, biar nggak ada celaka dalam operasi” jawabnya.
“Gundulmu!” kataku bercanda.
Tiba tiba Letkol Joko datang terburu buru,
“Mana teman temannya?” tanyanya.
“Ada di dalam, pak”, balasku,
“Ayo ikut, ada Pangkoops ke lokasi!”.
Maksud Letkol Joko, Panglima Komando Operasi Darurat Militer Brigjen TNI Bambang Dharmono akan meninjau lokasi.
Kuikuti langkah Pak Joko ke dalam rumah. Tiba tiba langkah pak Joko terhenti,…astaga di ruang keluarga tadi, ada tiga wartawan termasuk kamerawanku sedang makan reriungan sisa makan siang Sang Komandan dan pasukan. Mereka makan sambil jongkok, mengerubungi sebuah baskom berwarna putih kekuningan yang isinya nasi dicampur dengan ayam bumbu sisa makan siang. Makannya berebutan kayak tawanan perang. Ketiganya tercekat saat ketemu Pak Joko, salah seorang kreatif menegur.
“Mari makan ndan! (Komandan)”.
"Hahahahahaha.” Aku spontan tertawa terpingkal pingkal.
Pak Joko terdiam, raut mukanya campur baur, antara geli, kasian dan jengkel karena tidak segera siap bergerak. Usut punya usut, makan siang yang disamber teman teman tadi adalah sisa makan siang pasukan dan Sang Komandan.
Karena siang itu kita tiba di pos, waktu makan siang sudah lewat, jadi tidak ada jatah makan siang. Entah siapa yang menemukan dan memulai, ada sisa makanan langsung diserbu tanpa ba-bi-bu oleh teman temanku.
Pak Joko balik kanan, aku masih dalam kondisi tertawa, memberitahu mereka untuk segera bersiap karena Bambang Dharmono yang biasanya disebut BD. segera datang ke lokasi.
Mereka cuek melanjutkan makan, aku sakit perut menahan geli. Terbayang kalau seterusnya jadi tentara pasti menderita dalam operasi operasi di medan perang.Ketiga Beberapa wartawan ikut penyerbuan marinir ke markas Darwis Jenib di Blang Rheum, Bireun, hasilnya nihil, malah dapat friendly fire.
Aku masih tertawa saat pak Joko balik kanan. Teman teman yang ngembat jatah komandan, usai makan bergegas ambil peralatan liputan, nggak mau ketinggalan moment tentunya.
Ok, siap berangkat… jalan kaki lagi.
Sekitar 15 menit kita nyampe di sebuah rumah semi permanen. Dinding rumah, papan yang disusun saling menumpuk dan kemudian dicat dengan cat dari kapur warna putih kekuningan. Oo, ternyata itulah rumah persembunyian Darwis Jeunib. Pasukan Dua yang tidak ikut ke bukit, yang melakukan penyergapan.
Belum sempat lihat dan masuk ke rumah, tiba tiba rombongan Pangkoops Brigjend Bambang Dharmono tiba di lokasi. Langsung serempak para tentara menunjukkan “kepatuhannya” dengan berdiri berjejer. BD dengan cueknya melewati pasukan dan langsung menuju ke dalam rumah. 5 menit saja di dalam rumah cukup untuk membuncahkan kemarahan Pangkoops.
BD marah besar karena rumah kediaman tempat persembunyian terakhir Darwis Jeunib telah diobrak abrik oleh tentara yang melakukan penyergapan. Dengan suara yang lantang, BD memanggil, “Mana Komandan!!!”. Segera pasukan membebek dan berbaris. Sebagian rapi berbaris sebagian lain masih berjaga di sekeliling rumah. Aku berada sekitar 5 meter di belakang BD. Tiba tiba dengan tongkat komandonya BD menggetok kepala Letkol. Joko didepan pasukannya. Tak puas, BD langsung memaki-maki, “goblog, kenapa diobrak-abrik?!”, tentu saja BD tidak perlu jawaban atas pertanyaannya. Semua pasukan terpekur. Ocehan masih berlanjut, dan lagi-lagi tongkat komando ikut bicara dengan menggetok kepala Letkol. Joko.
Aku mundur sekitar 5 meter lagi dari posisi semula, untuk jaga perasaan Letkol. Joko. Ocehan BD masih belum tuntas dalam sepuluh menit. Aku berdiri persis disamping seorang marinir yang masih dalam posisi berjaga. Tiba-tiba, tanpa ditanya, tanpa basa-basi, dia bilang ”Sekali lagi dia (BD) pukul komandan, aku tembak!!!”, maak, kaget aku. Untungnya BD selesai, nggak kebayang kalau tiba tiba BD memukul lagi dan kemudian sang marinir memenuhi janjinya untuk meletupkan senjata, wuiiih….
Akhirnya, BD pulang setelah sebelumnya wartawan mewawancarainya. Inti wawancara, BD kecewa dengan operasi yang gagal dan sembrono dengan mengobrak-abrik rumah. BD menilai perilaku itu tidak etis, dan justru menimbulkan ketidaksimpatian warga atas TNI.
Bergegas aku masuk rumah, dan benar saja, meja, kursi, TV bergelimpangan. Sepertinya para tentara melampiaskan kekecewaanya atas operasi yang bocor.
Sial betul, Letkol. Joko hari itu, operasi penyergapan di bukit gagal, operasi penyergapan di rumah pelarian Darwis jeunib gagal, sisa makan siang diembat wartawan, sorenya digetok dua kali di depan pasukan sendiri.
Jadi tentara, emang seperti jalan tanpa kepala ya… semua tergantung komandan, semua tergantung Jendral. Kalaupun ada yang berani dengan jendral adalah senjata yang siap menyalak. (Tamat)(diposkan inlania)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.