Jumat, 13 April 2012

Minggu Palma 1976

Batalyon Teratai berangkat menuju Timor Timur pada akhir Desember 1975. Perjalanan dari Tanjung Priok ke Atambua (NTT) dan menuju Atapupu melewati jalan darat. Mereka masuk ke wilayah Maliana dengan berjalan kaki.

Namun, sebelumnya ada berita yang cukup mengejutkan diterima AKBP Ibnu Hajar Adikara ketika berada di kapal dalam perjalanan menuju Atambua. Sebuah radiogram diterima dari Panglima Komando Operasi Seroja tentang perubahan penugasan Batalyon Teratai dari fungsi penjagaan di wilayah yang sudah dikuasai pemerintah Indonesia menjadi operasi tempur aktif yaitu menyekat laju mundur pasukan Falintil dari Bobonaro.

Perubahan ini tentu merupakan perubahan yang mendasar dari fungsi sebuah pasukan dan terkait dengan keahlian pasukan bersangkutan. Batalyon Teratai sejak awal dipersiapkan bukan sebagai elemen tempur, melainkan hanya menjalankan fungsi kepolisian di wilayah pendudukan. Sebagian besar dari pasukan ini adalah anggota Brimob yang baru lulus pendidikan ditambah dengan campuran anggota Brimob dari berbagai kesatuan. Tidak ada sama sekali anggota Batalyon Teratai yang pernah mendapatkan pendidikan Ranger/Pelopor.

Pada saat long march menuju Maliana tidak ada gangguan berarti dari musuh karena wilayah yang dilewati sudah berhasil dinetralisir. Berdasarkan perubahan perintah dari Panglima Komando Operasi maka Brimob Yon Teratai diperintahkan untuk menutup perbatasan selatan wilayah Bobonaro untuk menghadang gerak mundur pasukan Falintil. Pada awal April 1976, serangan terhadap kota Bobonaro dimulai.

Serangan ini dilakukan oleh pasukan gabungan dari pasukan Marinir, Yonif 507, Yonif 512, Yonif 401, Yonif 403 dan Densus Alap-alap Brimob Polri. Adapun dukungan artileri diberikan oleh Batalyon Artileri Medan dari Kodam Brawijaya. Pertempuran sengit yang terjadi di Bobonaro berimbas ke wilayah selatan yang menjadi jalur gerak mundur pasukan Falintil.

Pada hari Minggu, 11 April 1976 petaka itu dimulai. Kesalahan teknis tempur yang pertama kali dilakukan oleh Komandan Batalyon Teratai adalah membagi pasukan menjadi tim kecil dengan jumlah 4 personel pada masing-masing tim. Pertimbangan AKBP Ibnu Hadjar Adhikara membagi pasukannya adalah karena garis pertahanan yang harus dijaga sangat panjang sehingga beliau memutuskan untuk membagi pasukan dalam tim kecil.

Pada masa lalu, pasukan Pelopor memang terlatih bertempur dengan taktik tim. Namun yang dilupakan oleh AKBP Ibnu Hadjar adalah pasukan yang beliau bawa bukan Pelopor atau Ranger tahun 50-an dan 60-an melainkan anggota Brimob yang baru lulus dan tidak terlatih untuk bertempur dengan gaya Pelopor. Selain itu, taktik tempur dalam tim dipergunakan untuk ofensif dan dengan taktik hit and run. Taktik tempur tim sama sekali tidak akan efektif untuk bertahan. Pemahaman terhadap medan tempur juga mutlak diperlukan untuk menggunakan taktik tempur tim Pelopor.

Pasukan Falintil yang bergerak mundur dari Bobonaro berjumlah sekitar satu Batalyon yang terpecah dalam kompi atau peleton. Mereka sebagian besar adalah bekas Tropaz yang berpengalaman tempur di Afrika. Taktik yang mereka pergunakan cukup cerdik untuk mengelabuhi pasukan Brimob Yon Teratai yang menghadang mereka.

Pada hari Minggu Palma adalah hari Minggu yang sakral bagi para pemeluk Nasrani karena hari itu adalah bagian dari peringatan hari Paskah. Oleh karena itu, banyak penduduk yang pergi ke gereja. Rangkaian kejadian tragedi Minggu Palma diawali dengan kecurigaan anggota Brimob terhadap kerumunan orang yang baru saja pulang dari gereja. Mereka berkerumun seolah-olah akan melakukan aksi demonstrasi. Satu hal yang tidak dipahami anggota Brimob tersebut adalah para penduduk itu sebenarnya diperalat oleh Falintil untuk dipergunakan sebagai tameng manusia dalam rangka menutup gerak mundur mereka. Jumlah penduduk sipil yang berkumpul semakin siang semakin banyak dan mereka memulai aksi penyerangan terhadap aparat.

Pasukan Falintil yang tidak mengenakan seragam menyusup ke dalam kerumunan dan menembak ke arah pasukan Brimob. Pasukan Brimob Teratai terpancing untuk menembak balasan sehingga yang terjadi adalah penembakan terhadap penduduk sipil. Situasi menjadi kacau sehingga Danyon memerintahkan pasukan untuk mundur. Mundurnya pasukan Yon Teratai ini dimanfaatkan dengan baik oleh Falintil untuk menempati posisi yang ditinggalkan. Pada siang menjelang sore yang terjadi adalah pertempuran antara Falintil dengan Yon Teratai.

Pasukan Falintil dengan cerdik menerapkan taktik menguasai pos Brimob satu demi satu. Jumlah personel di setiap pos yang hanya 4 orang dan kebanyakan mereka tidak mempunyai pengalaman tempur harus berhadapan dengan pasukan Falintil bekas Tropaz yang ahli dalam pertempuran gerilya. Pasukan Brimob Yon Teratai kocar-kacir dan mereka lupa berkoordinasi dengan pasukan induk. Bukannya berkoordinasi, anak-anak muda anggota Brimob itu malah melarikan diri ke arah perbukitan dengan membuang senjata dan bahkan ada beberapa mereka yang membuang seragamnya.

Kekacauan ini masih ditambah dengan bantuan tembakan artileri yang salah sasaran. Komandan Batalyon Teratai meminta bantuan tembakan artileri untuk menghadang laju musuh. Namun diluar dugaan, tembakan Howitzer jatuh di dekat posisi pasukan Brimob sehingga kekacauan semakin parah. Prajurit Satu Marinir Soemantri seorang anggota KIPAM mengingat kejadian itu, karena beliau pada waktu itu ditugasi untuk memberikan bantuan pada pasukan Brimob.

Pada saat awal serangan posisi pasukan Marinir sudah berada di atas bukit mengejar laju mundur Falintil dari sisi lain bersebelahan dengan posisi Brimob Yon Teratai. Melihat kondisi kacau itu, komandan pasukan Marinir memerintahkan Pratu Soemantri mengamati keadaan. Pratu Soemantri kebingungan karena melihat banyak pasukan Brimob yang lari tunggang langgang dan tidak mau berhenti meskipun beliau berusaha menghentikannya. Pada masa Operasi Seroja setiap hari selalu ada kode yang harus diketahui anggota TNI atau Polri di wilayah operasi.

Hal ini untuk membedakan anggota TNI/Polri dengan Falintil yang sudah melepas seragamnya. Pada saat akan memberikan bantuan, kode yang disampaikan Pratu Soemantri tidak pernah dijawab dengan benar oleh anggota Brimob sehingga beliau ragu-ragu. Karena khawatir justru menembak teman, Pratu Soemantri hanya mengambil posisi berlindung sambil menyiagakan AK 47-nya. Beliau hanya mengamati kondisi dan jika ada seorang anggota Brimob yang dikenali beliau segera memanggil dan mengarahkannya ke pos Marinir di atas bukit agar mereka mendapatkan pertolongan.

Dalam sebuah wawancara pada bulan Maret 2010, Sertu (Purn) Soemantri menjelaskan jika saja anggota Brimob lebih tenang pada saat diserbu dan segera membuat garis pertahanan. Mereka sebenarnya bisa bertahan, tetapi karena panik semuanya menjadi tidak terkendali. Beliau juga melihat peran komandan di lapangan sama sekali tidak efektif untuk mengendalikan anak buahnya. Berdasarkan keterangan dari beberapa purnawirawan Brimob yang mengalami kejadian itu dan mereka tidak mau disebutkan namanya, Komandan Batalyon sangat panik pada saat pasukannya berhadapan langsung dengan Falintil dalam kondisi kacau.

Pasukan Falintil sudah berhasil menembus pertahanan di Markas Batalyon, perintah yang diberikan oleh Danyon adalah membakar gudang senjata. Pertimbangannya jika Markas Batalyon jatuh tidak ada senjata yang dikuasai musuh, tetapi secara psikologis keputusan membakar gudang senjata ini justru semakin menurunkan moral pasukan. Beberapa anggota Brimob Yon Teratai bahkan ada yang sengaja melemparkan senjatanya ke api dan kemudian melarikan diri. Danyon sendiri tidak diketahui posisinya apakah melarikan diri atau tewas dalam pertempuran.

Salah satu episode paling gelap dalam keterlibatan Brimob dalam Operasi Seroja adalah terjadinya peristiwa kekalahan pasukan Brimob dari Batalyon Teratai oleh Falintil pada tanggal 11 April 1976. Peristiwa ini merupakan sebuah pukulan memalukan bagi Polri dan Brimob. Apalagi peristiwa ini dikaitkan dengan Resimen Pelopor, pasukan khusus andalan Brimob pada tahun 50-an sampai dengan 60-an. Faktanya, pada saat peristiwa Minggu Palma terjadi Resimen Pelopor sudah dibubarkan, karena kesatuan ini memang sudah dilikuidasi pada tahun 1969-1970. Sayangnya, Batalyon Teratai yang ditugaskan ke Timor Timur memakai atribut Resimen Pelopor dalam penugasannya. Mereka menggunakan senjata AR-15 dan semua lambang kualifikasi meskipun seragam yang dipergunakan adalah hijau rimba sama seperti kesatuan-kesatuan TNI AD.

Mengapa peristiwa ini terjadi? Bagaimana bisa sebuah pasukan reguler dengan persenjataan lengkap dan terorganisasi bisa dipukul mundur dan berantakan oleh pasukan gerilyawan? Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlu dijelaskan kronologi pembentukan Batalyon Teratai dan apa penugasannya dalam Operasi Seroja. Batalyon Teratai dibentuk sebagai respon atas perintah Panglima Komando Operasi Seroja kepada Polri yang menyatakan kekurangan personel untuk melakukan invasi lanjutan sekaligus mempertahankan wilayah yang dikuasai di Timor Timur. Seharusnya sesuai dengan kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru pada tahun 1968, maka Polri sudah tidak dilibatkan dalam operasi tempur karena lembaga ini diminta untuk berkonsentrasi pada masalah penegakan hukum. Namun demikian, Departemen Pertahanan dan Keamanan memandang Polri mempunyai kesatuan pemukul yang mempunyai pengalaman melaksanakan operasi tempur dari awal kemerdekaan sampai dengan dekade 60-an, yaitu Brigade Mobil. Pada masa itu, Resimen Pelopor sudah telanjur dibubarkan sehingga Markas Komando Brimob melakukan mobilisasi atau re-grouping anggota Menpor yang sudah berpencar ditugaskan ke berbagai kesatuan di dalam Polri.

Perintah dari Departemen Pertahanan dan Keamanan ini adalah Brimob diminta juga untuk ambil bagian dalam Operasi Flamboyan sebagai persiapan operasi Komodo. Berdasarkan perintah ini maka Mako Brimob memerintahkan 2 peleton (65 orang) pasukan Brimob bekas Menpor untuk berangkat ke Atambua bergabung dengan Kopassandha untuk melaksanakan operasi tersebut. 2 peleton Brimob ex Menpor ini disebut dengan Densus Alap-alap. Mereka melaksanakan Operasi Flamboyan pada pertengahan 1975. Setelah, opsi militer dipilih dan kode operasi diubah menjadi Operasi Seroja, Densus Alap-alap ditarik ke Kupang dan ditambah jumlahnya menjadi sekitar satu kompi dari ex Menpor yang berhasil di mobilisasi dan digabungkan dengan Batalyon 527 Brawijaya dengan komandan Mayor (Inf) Basofi Sudirman (Gubernur Jatim pada tahun 90-an). Selama pelaksanaan Operasi Seroja Rotasi I tahun 1976-1978, Densus Alap-alap berada di bawah komando Yon 527 dengan penugasan dari Bobonaro sampai dengan Maliana. Mereka juga terlibat dalam serangan besar-besaran terhadap Markas Besar Falintil di Gunung Matabean Viqueque pada tahun 1978. Mereka tidak dikenali sebagai anggota Brimob melainkan anggota Yon 527 karena menggunakan seragam yang sama persis dengan kesatuan tersebut kecuali mereka menggunakan senjata yang berbeda yaitu AR-15.

Batalyon Teratai adalah sebuah batalyon yang dibentuk untuk kepentingan Operasi Seroja. Berdasarkan perintah yang diterima dari Panglima Komando Operasi Seroja, pasukan ini tidak diperintahkan untuk melakukan ofensif, melainkan hanya melakukan penjagaan di wilayah-wilayah yang sudah dikuasai TNI. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kompol (Purn) Samid bekas anggota Densus Alap alap, Batalyon Teratai hanya ditempatkan di sektor Selatan. Pasukan ini terdiri dari anggota Brimob dari berbagai kesatuan dan juga tamtama Brimob yang baru saja lulus dari pendidikan di beberapa SPN (Sekolah Polisi Negara) dan tidak ada yang pernah mendapatkan pendidikan Ranger/Pelopor atau kualifikasi Rimba Laut (Bala).

Dalam beberapa kesempatan latihan pasukan ini lebih banyak berlatih melakukan penanggulangan huru hara dan tugas-tugas kepolisian lainnya dan sangat jarang atau bahkan tidak pernah melakukan latihan taktik tempur kecuali yang pernah mereka dapatkan di dalam pendidikan di SPN. Beberapa diantara mereka bahkan masih nampak canggung menggunakan senjata AR-15 karena di kesatuan lama mereka masih banyak yang menggunakan senjata Lee Enfield atau US Carabine. Kombes (Purn) Harjanto sudah menangkap kejanggalan ini. Dalam operasi Seroja beliau masih berpangkat Letnan Satu Polisi dan bertugas sebagai perwira intelijen dari satgas yang dipimpin Kolonel (Inf) Dading Kalbuadi. Beliau tentu khawatir dan ragu terhadap kualitas pasukan ini. Namun beliau mengetahui bahwa pasukan ini tidak ditugaskan untuk bertempur, melainkan untuk pasukan anti huru hara sehingga beliau melihat tidak ada masalah.

AKBP Ibnu Hadjar Adikara ditunjuk oleh Mako Brimob Kelapa Dua sebagai Komandan Batalyon Teratai. Beliau adalah perwira Brimob lulusan PTIK tahun 1965 dengan predikat lulusan terbaik. Beliau juga pernah mendapatkan pendidikan infanteri di Amerika Serikat dan lulus dengan memuaskan. Hanya saja beliau memang belum pernah lulus dari pendidikan Pelopor/Ranger. Beliau ditunjuk sebagai Danyon pada saat menjabat sebagai Kapolres di salah satu Polres di Jakarta dan kariernya sedang cemerlang pada masa itu. Selain itu, usianya masih muda yaitu 37 tahun sehingga dari sisi energi masih mampu memimpin pasukan. Kelemahan beliau sebagai perwira Brimob adalah belum pernah mendapatkan tugas operasi tempur, oleh karena itu penunjukan sebagai Danyon Teratai akan melengkapi tour of duty-nya.

Mako Brimob sebenarnya juga menyadari resiko menugaskan komandan yang belum berpengalaman tempur ke dalam operasi tempur. Namun mereka tidak punya banyak pilihan. Para anggota Menpor yang sudah pernah menjalani operasi tempur dan berpangkat perwira dari sisi pangkat belum layak memimpin Batalyon. Dari lulusan Ranger tahun 1959 ada beberapa perwira yaitu Lettu (Pol) Soeripno, Lettu (Pol) Pranoto dan Lettu (Pol) Harjanto yang mempunyai pengalaman tempur tetapi pangkat mereka masih perwira pertama. Selain itu, pertimbangan Kolonel (Pol) Anton Soedjarwo sebagai Komandan Korps Brimob pada masa itu adalah Batalyon Teratai tidak diperintahkan untuk melakukan operasi tempur sehingga tidak perlu komandan dengan pengalaman tempur.

Tragedi kekalahan Batalyon Teratai Korps Brimob Polri pada tanggal 11 April 1976 yang dikalahkan Falintil, sayap militer Fretilin, pada waktu Operasi Seroja merebut Timor Timur. Batalyon ini tidak siap tempur karena sebagian besar personilnya terdiri dari polisi yang baru lulus pendidikan di SPN (Sekolah Polisi Negara) yang notabene minim pengetahuan mengenai taktik perang infanteri, ditambah lagi dipimpin oleh komandan berpangkat AKBP (setingkat Letkol) yang sama sekali tidak memiliki pengalaman tempur. Padahal tugas mereka adalah menyekat pergerakan mundur Falintil dari Kota Bobonaro yang baru saja direbut TNI.

Ketika berhadapan langsung dengan musuhnya, komandan batalyon yang tidak berpengalaman perang ini salah dalam menerapkan strategi penyekatan dengan membagi anak buahnya menjadi tim-tim kecil berjumlah 4 orang ala four men patrol-nya SAS Inggris untuk menutup garis pertahanan yang panjang. Pasukan Falintil yang mereka hadapi adalah veteran Tropaz (pasukan elit Portugal) yang berpengalaman perang di Mozambique dan Guinea. Dalam kekalahan yang dramatis ini, beberapa personil batalyon bahkan sampai melepas seragam dan membuang senjatanya saking ketakutannya. Ketika kembali ke Jakarta, sebagai hukumannya mereka diharuskan long march berjalan kaki dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Markasnya di Kelapa Dua Depok. Komandannya pun akhirnya diberhentikan secara tidak hormat dari dinas militer untuk menghindarkannya dari pengadilan militer karena dianggap melakukan desersi.


Sumber :
  • buku Resimen Pelopor dipostkan kribopantat 
  • kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...