Rabu, 02 Mei 2012

Bubur Perjuangan dan Roti Asia

Jepang memaksa penduduk memakan "menu perjuangan" sebagai pengganti nasi.

Sumber: niod.x-cago.com. Ilustrasi: Micha Rainer Pali.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

PADA masa pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi yang mereka hasilkan. Padahal petani terbiasa menanam padi secukupnya untuk konsumsi sendiri, dan hanya sedikit yang mereka jual ke pasar. Mereka juga umumnya petani kecil, yang mengolah sepetak tanah sendiri atau sewaan kurang dari setengah hektar. Mereka menderita kemiskinan yang kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon. Kelaparan pun melanda.

Untuk menutupi kekurangan beras, menurut sejarawan Universitas Keio, Jepang, Aiko Kurasawa, Jepang mendorong masyarakat memakan jagung, singkong, atau kedelai. Bahkan tanaman yang sebelumnya tak pernah dimakan atau hanya jadi lalaban seperti bonggol pisang, pepaya, dan daun singkong. Sebagai sumber protein pengganti, bekicot jadi pilihan. Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.

Jepang juga memperkenalkan resep-resep baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.

Salah satu menu populer ialah bubur campuran ubi, singkong, dan katul, yang disebut Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya. Jepang melalui organisasi perempuan bentukannya, Fujinkai, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu dan bahan pangan baru ini. “Besok sore mulai jam 5 di Dai Kurabu (Harmoni) Huzinkai (atau Fujinkai) akan mengadakan pertunjukan cara membuat Bubur Perjuangan, khusus untuk kaum ibu-ibu dan gadis-gadis. Diharap kaum wanita mengunjunginya,” tulis Sinar Baroe, 5 Maret 1945.

Dalam acara demonstrasi tersebut diterangkan bahwa bubur ini mengandung zat-zat yang penting bagi tubuh. “Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200 gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran. Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok, santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,” tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.

Selain melakukan sosialisasi, Jepang memerintahkan ketua tonarigumi (rukun tetangga) untuk mengawasi anggota masyarakatnya supaya mau makan Bubur Perjuangan, bukan nasi putih. Dapur sering digeledah secara mendadak. “Kalau ada seseorang yang diketemukan makan nasi putih, dia akan diperingatkan dan bahkan kadang-kadang dilaporkan kepada kenpeitai,” tulis Aiko Kurasawa.

Menu perjuangan lain adalah Roti Asia (to-a pan) yang terbuat dari tepung ketela (aci atau tapioka), tepung kedelai, atau tepung beras biasa. “Sekarang saban bulan diadakan pencatatan tentang persediaan tepung tapioka itu oleh Noji Sido Kyoku dan Dinas pertanian,” tulis Soeara Asia, 9 Juli 1942. Kantor Penerangan Tepoeng juga melakukan sosialisasi. “Diberitahukan kepada sekalian penduduk di Priangan Syuu bahwa pada tiap-tiap hari mulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang diperbolehkan datang di kantor tersebut untuk menerima pelajaran dari hal pembikinan Roti Asia.” Demikian pengumuman yang disiarkan di koran Tjahaja, 14 November 1942.

Boeng Djenggot, penulis kolom Pengisi Podjok harian Borneo Shimboen, 29 September 1943, menulis bahwa Roti Asia yang sudah dia cicipi bisa dijadikan makanan untuk menyambut Lebaran. “Ketika Bung (Djenggot) berada di Bandung tempo hari, sempat juga merasakan Roti Asia yang dibikin dari tepung Asia (ketela pohon), yang meskipun rasanya belum sebanding dengan roti biasa, tapi bolah lah,” tulisnya.

Menurut Aiko Kurasawa, makanan pengganti, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, tentu saja tak memuaskan dan bahkan hina bagi orang Jawa. Mereka lebih suka makan nasi karena, “kalau belum makan nasi, belum makan.” Gagasan menu perjuangan membuat rakyat kekurangan gizi, terutama masyarakat di pedesaan. Honger oedeem (busung lapar) pun mewabah. Memburuknya kesejahteraan sosial meningkatkan angka kematian pada 1944 di seluruh karesidenan –kecuali Jakarta dan Priangan– dan menurunkan angka kelahiran. “Rakyat di pedesaan sering mengatakan bahwa sewaktu pendudukan Jepang rakyat sulit memiliki tenaga dan keinginan untuk memenuhi fungsi reproduksi karena kelaparan dan kesulitan-kesulitan keseharian lainnya,” tulis Aiko Kurasawa. Dan untuk kali pertama dalam sejarah Jawa modern, populasi Jawa menurun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...