Tanggal 17 Mei 1962 satu flight terdiri pesawat Dakota T-480 dan T-440 take off meninggalkan
landasan Pangkalan Angkatan Udara Pattimura, Ambon menuju daratan Irian
Barat melakukan operasi lintas udara menerjunkan prajurit PGT ke Irian
Barat
Pilot Dakota T-480 Kapten Udara Hamsana merangkap sebagai Flight leader, kopilotnya Letnan Udara Dua (LU 2) Alboin Hutabarat, Sedang Pilot Dakota T-440 adalah Kapten Udara Djalaluddin Tantu, Kopilotnya LU 2 Sukandar.
Pilot Dakota T-480 Kapten Udara Hamsana merangkap sebagai Flight leader, kopilotnya Letnan Udara Dua (LU 2) Alboin Hutabarat, Sedang Pilot Dakota T-440 adalah Kapten Udara Djalaluddin Tantu, Kopilotnya LU 2 Sukandar.
★ Diterjunkan di Teminabuan
Flight Dakota T-440 dan T-480 menerjunkan prajurit Pasukan Gerak
Tjepat (PGT) di daerah Sorong, Teminabuan dan Fak-fak dipimpin Komandan
kompi 3 PGT Letnan Udara Manuhua bermarkas di Pangkalan Angkatan Udara
Margahayu. Letnan Udara Manuhua sendiri diterjunkan dengan Dakota T-440
di Teminabuan bersama anak buahnya antara lain Sersan Udara 1 (SU 1)
Angkow, Kopral Udara 1 (KU 1) Muis, KU 1 Hamid Umar, KU 1 Kusairi, KU 1
Kusno, Prajurit Udara 1 (PU 1) Slamet H, PU 1 Supoyo, PU 1 Hidayat, PU 1
Robertus Sutarmono, dan seorang sukarelawan Silitubun.
Para prajurit PGT yang diterjunkan disaat alam masih gelap, jatuh berpencar di rawa, tersangkut di pohon dan terbentur di batu karang. Setelah mendarat masing-masing berupaya mencari kawan-kawanya untuk berjuang bersama. Setelah empat hari berada di hutan belantara Sutarmono menjumpai Letnan Manuhua, dan selama seminggu berkumpul teman-temannya berjumlah 15 orang. Prajurit Udara 1 (PU1) Slamet H dijumpai dalam keadaan diam tertindih kayu besar kering dalam kedaan patah pinggang. Selama beberapa hari PU1 Slamet digendong bergantian, tapi akhirnya meninggal di hutan.
Para prajurit PGT yang diterjunkan disaat alam masih gelap, jatuh berpencar di rawa, tersangkut di pohon dan terbentur di batu karang. Setelah mendarat masing-masing berupaya mencari kawan-kawanya untuk berjuang bersama. Setelah empat hari berada di hutan belantara Sutarmono menjumpai Letnan Manuhua, dan selama seminggu berkumpul teman-temannya berjumlah 15 orang. Prajurit Udara 1 (PU1) Slamet H dijumpai dalam keadaan diam tertindih kayu besar kering dalam kedaan patah pinggang. Selama beberapa hari PU1 Slamet digendong bergantian, tapi akhirnya meninggal di hutan.
★ Gugur dalam pertempuran
Pada suatu hari Letnan Manuhua membagi anggotanya dalam dua
kelompok. Kelompok 1, ia pimpin sendiri bertugas mencari jalan dan
melakukan sabotase, beranggotakan PU1 Sutarmono yang merangkap sebagai
pengawalnya, SU1 Angkow, KU1 Muis, KU1 Hamid Umar, KU1 Kusairi, PU2
Sugiyanto dan sukarelawan Silitubun. Kelompok 2 bertugas stand by,
menunggu instruksi lebih lanjut.
Beberapa hari kemudian, rombongan Letnan Manuhua tiba di tempat terbuka, ada lima rumah sederhana dan sebuah gereja, di kampung Klamono. Kedatangan mereka di terima penduduk setempat dengan ramah, dijamu minum dan sagu. Mereka beristirahat di satu gubug, dan senang dapat merebahkan tubuh, karena selama ini beberapa minggu berjalan terus, tidur di bawah pohon beratap ranting dan dedaunan dari pohon-pohon dalam hutan, yang kadang kala akan basah disiram air hujan.
Walaupun dapat beristirahat, Letnan Manuhua menekankan untuk tetap waspada. Sekitar jam 03.00 penduduk asli menyuruh rombongan Manuhua untuk pindah kelain tempat (rumah panggung) yang dikatakan lebih aman, sambil memberi sagu dan pisang.
Sekitar pukul 05.00 dari lubang dinding yang dibuat dari daun nipah, Manuhua melihat beberapa orang serdadu Belanda yang jaraknya tidak jauh. Belum sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara tembakan gencar disertai peluru berdesing. Sugiyatno gugur seketika badanya ditembus peluru dan kaki kopral Muis tertembak. Kawan-kawan lainnya berupaya meninggalkan tempat secepat mungkin. Sutarmono bersama Letnan Manuhua dan Sersan Angkow sangat cepat meloncat keluar gubuk langsung menuju hutan.
Tiba di suatu tempat, Sutarmono melihat dua serdadu Belanda sedang menembaki kawan-kawannya sesama PGT dengan bren berlaras putih. Dengan senjata G-3, senjata organik PGT, Sutramono langsung menembak mati dua serdadu Belanda itu. Dengan cepat Robertus Sutarmono menyambar bren berlaras putih milik serdadu Belanda yang baru saja dirobohkannya dan menembakan kembali ke arah serdadu Belanda yang jaraknya hanya beberapa langkah dari Manuhua yang tangannya berdarah kena ditembak. Ditengah ajang pertempuran, Letnan Manuhua memerintahkan Sutarmono agar segera lari meninggalkan dirinya. Di tempat itulah akhirnya Letnan Manuhua jatuh berlumuran darah dan gugur dalam pertempuran.
Beberapa hari kemudian, rombongan Letnan Manuhua tiba di tempat terbuka, ada lima rumah sederhana dan sebuah gereja, di kampung Klamono. Kedatangan mereka di terima penduduk setempat dengan ramah, dijamu minum dan sagu. Mereka beristirahat di satu gubug, dan senang dapat merebahkan tubuh, karena selama ini beberapa minggu berjalan terus, tidur di bawah pohon beratap ranting dan dedaunan dari pohon-pohon dalam hutan, yang kadang kala akan basah disiram air hujan.
Walaupun dapat beristirahat, Letnan Manuhua menekankan untuk tetap waspada. Sekitar jam 03.00 penduduk asli menyuruh rombongan Manuhua untuk pindah kelain tempat (rumah panggung) yang dikatakan lebih aman, sambil memberi sagu dan pisang.
Sekitar pukul 05.00 dari lubang dinding yang dibuat dari daun nipah, Manuhua melihat beberapa orang serdadu Belanda yang jaraknya tidak jauh. Belum sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara tembakan gencar disertai peluru berdesing. Sugiyatno gugur seketika badanya ditembus peluru dan kaki kopral Muis tertembak. Kawan-kawan lainnya berupaya meninggalkan tempat secepat mungkin. Sutarmono bersama Letnan Manuhua dan Sersan Angkow sangat cepat meloncat keluar gubuk langsung menuju hutan.
Tiba di suatu tempat, Sutarmono melihat dua serdadu Belanda sedang menembaki kawan-kawannya sesama PGT dengan bren berlaras putih. Dengan senjata G-3, senjata organik PGT, Sutramono langsung menembak mati dua serdadu Belanda itu. Dengan cepat Robertus Sutarmono menyambar bren berlaras putih milik serdadu Belanda yang baru saja dirobohkannya dan menembakan kembali ke arah serdadu Belanda yang jaraknya hanya beberapa langkah dari Manuhua yang tangannya berdarah kena ditembak. Ditengah ajang pertempuran, Letnan Manuhua memerintahkan Sutarmono agar segera lari meninggalkan dirinya. Di tempat itulah akhirnya Letnan Manuhua jatuh berlumuran darah dan gugur dalam pertempuran.
★ Satu-satunya yang masih hidup
Prajurit TNI ditahan Belanda di Irian Barat |
Saat bangun ia melihat kakinya di kerubuti pacet. Dalam keadaan badan sakit, Sutarmono berjalan terus entah kemana dan berharap bertemu teman-teman sesama prajurit PGT yang lain.
Untuk bertahan hidup di hutan yang lebat, ia terpaksa memakan daun-daunan. Tiga hari kemudian ia dengan senangnya bertemu dengan Prajurit Padjam dan beberapa lainnya dari kelompok 2. kawan-kawannya dari kelompok 2 menyusul karena menunggu lama tanpa ada berita. mereka pun kaget mendengar komandannya gugur bersama kawan-kawannya, hanya tersisa Sutarmono dan masih hidup dari kelompok 1.
Di suatu kampung, Sutarmono dan kawan-kawannya melihat beberapa polisi setempat. Kedatangan Sutarmono dan kawan-kawannya diketahui oleh polisi tersebut, maka terjadilah kontak senjata. Kopral Kusairi dan seorang kawannya tertembak masuk ke sungai. Pihak Sutarmono akhirnya kehabisan peluru dan akhirnya ditangkap. Sutarmono berserta kelima kawannya ditahan oleh Belanda. Mula-mula di tahan di Sorong, lalu Biak terakhir penjara di Pulau Wundi dekat Pulau Biak.
DI penjara di Pulau Wundi, ia bertemu dengan Pilot berserta awak pesawat Dakota T-440 yang menerjunkannya. Semua awak pesawat Dakota T-440 setelah berhasil menerjunkan pasukan di Irian Barat, sekembalinya menuju Ambon, diperjalanan pesawatnya ditembak sampai tenggelam dengan pesawat pemburu Neptune Belanda. Robertus Sutarmono bebas dari penjara Pulau wundi berserta tahanan lainnya, setelah Belanda menandatangani penyerahan Irian Barat kepada Republik Indonesia.(mar)
(hasil wawancara penulis dengan almarhum Kapten Robertus Sutarmono di Biak tahun 1985)
Sumber :
◆ edisi koleksi Angkasa ◆
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.