Deradikalisasi yang belum Tepat Sasaran
Indonesia sejak 2000 dikejutkan oleh rentetan aksi peledakan bom.
Ketua BNPT |
Gerakan ini makin massif setelah World Trade Center di New York
dihancurkan lewat aksi terorisme pada 9/11 setahun kemudian. Tidak
mengherankan, dunia menyoroti Indonesia sebagai sarang gembong teroris
dan menjadi ladang subur bagi pelaku terorisme dari negeri jiran seperti
Malaysia dan Filipina.
Meski satu per satu jaringan terorisme di Nusantara sudah dilumpuhkan dari kelompok Imam Samudra cs hingga gembong terorisme Asia Tenggara dr Azahari dari Malaysia, kelompok ini masih bergerak secara klandestin.
Apakah sebenarnya yang menjadi persoalan kunci kegagalan selama ini terkait upaya penumpasan para pelaku aksi teror hingga akar-akarnya? Salah satu relawan yang bergerak di jalur "deradikalisasi" teroris adalah Noor Huda Ismail bertutur banyak tentang hal itu.
Dia yang kini menjabat sebagai Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) lahir di Jogja dan besar di Solo hingga remaja dan menjadi santri selama enam tahun di Pondok Pesantren Al Mukmin.
Selepas dari Ngruki, ia melanjutkan studi di Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merangkap kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Seusai lulus, ia bekerja di Jakarta sempat meniti karier sebagai Public Relations dan wartawan koran The Washington Post biro Asia Tenggara.
Noor Huda tergerak membantun para mantan terorime atau jebolan dari Afganistan setelah teman sekamarnya terlibat Bom Bali tahun 2002. Di Yayasan Prasasti Perdamaian, dia menjadi pendengar yang baik dari para mantan mujahid yang pulang dari Afghanistan yang beberapa di antara mereka terlibat dalam terorisme di Indonesia.
Mereka datang sendiri kepada Huda, bukan dirinya yang mencari mereka. Namun, dia sering dituding macam-macam. "Misi YPP adalah untuk melakukan pendampingan dan mendorong proses disengagement bagi mantan teroris dan mantan combatan agar tidak kembali pada jalan kekerasan," ujar Noor Huda yang ditemui Beritasatu.com, akhir pekan lalu. .
Huda menerangkan, pihaknya tidak memakai term deradikalisasi untuk membina para mujahid atau mantan narapidana terorisme,
"Kami lebih sepakat dan concern dengan term disengagament, karena kami melihat perlunya kesadaran individu dalam melepaskan diri (disengaged) dari mindset dan perilaku kekerasan," tuturnya.
Dijelaskan, istilah deradikalisasi relatif kontraproduktif, karena menjadi radikal, berpikir radikal, berpikir kritis pada dasarnya bagus.
"Justru menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan bagi pemikiran radikal, itulah yang tidak bagus," tukasnya.
Upaya yang YPP lakukan adalah memberi trust pada mereka untuk menentukan sendiri "jalan baru" bagi kehidupan mantan narapidana teroris tersebut di masa depan.
Apa jalan baru tersebut? Menurut Huda, jalan yang membuka dinamika berpikir, menciptakan mindset non-violence dan berpikir kritis dan reflektif (dan evaluatif) atas apa yang telah mereka (mantan narapidana teroris) lakukan selama ini.
"Kami di YPP tidak mengarahkan langkah, mereka memilih sendiri mau kemana mereka akan langkah."
Pendekatan dengan para mantan teroris ini, kata Huda, tidak melulu dengan agama bisa melalui olahraga atau kuliner. "Minggu depan, kami akan mengajar masak para istri-istri mereka."
Soal dana pemberdayaan, Huda mengaku tidak banyak, tidak besar juga. Seperti misalnya dalam upaya pemberdayaan ekonomi dalam bentuk usaha warung makan.
Konsep dana di YPP disini hanya pemantik saja, bisnis kecil yang mereka kelola bersifat less capital more inovation (modal kecil besar inovasi).
"Jadi, bukan modalnya yang utama. Tapi bagaimana mereka belajar manajemen, inovasi bisnis, akuntansi, sampai pada kemampuan untuk membuka cabang baru dan merekrut rekan-rekan mereka sendiri, para mantan narapidana lain."
Manfaat dari program di YPP jelas. Dijelaskan Huda, mereka mempunyai kehidupan baru after prison.
"Ada kemandirian hidup, ada ruang interaksi dan sosialisasi dengan kalangan masyarakat yang luas. Mereka terjaga dari stigma mantan teroris. Mereka warga masyarakat yang berdaya dan berani meninggalkan kekerasan."
Satu hal perlu diingat, kata Huda, mantan narapidana teroris selalu punya resistensi terhadap negara/pemerintah, ketika ada inisiatif dari organisasi non-negara, mereka membuka diri dan aktif mencari informasi dan bergabung atas kehendak mereka sendiri. "Tanpa paksaan, tanpa tekanan."
Sejauh ini, YPP masih membina secara langsung lima mantan narapidana terorisme.
"Tapi yang sudah lulus ada sekitar 10-an. Sekarang mulai lagi ke beberapa penjara, termasuk yang di Semarang." Mereka utamanya berasal dari kasus Aceh.
Meski satu per satu jaringan terorisme di Nusantara sudah dilumpuhkan dari kelompok Imam Samudra cs hingga gembong terorisme Asia Tenggara dr Azahari dari Malaysia, kelompok ini masih bergerak secara klandestin.
Apakah sebenarnya yang menjadi persoalan kunci kegagalan selama ini terkait upaya penumpasan para pelaku aksi teror hingga akar-akarnya? Salah satu relawan yang bergerak di jalur "deradikalisasi" teroris adalah Noor Huda Ismail bertutur banyak tentang hal itu.
Dia yang kini menjabat sebagai Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) lahir di Jogja dan besar di Solo hingga remaja dan menjadi santri selama enam tahun di Pondok Pesantren Al Mukmin.
Selepas dari Ngruki, ia melanjutkan studi di Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merangkap kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Seusai lulus, ia bekerja di Jakarta sempat meniti karier sebagai Public Relations dan wartawan koran The Washington Post biro Asia Tenggara.
Noor Huda tergerak membantun para mantan terorime atau jebolan dari Afganistan setelah teman sekamarnya terlibat Bom Bali tahun 2002. Di Yayasan Prasasti Perdamaian, dia menjadi pendengar yang baik dari para mantan mujahid yang pulang dari Afghanistan yang beberapa di antara mereka terlibat dalam terorisme di Indonesia.
Mereka datang sendiri kepada Huda, bukan dirinya yang mencari mereka. Namun, dia sering dituding macam-macam. "Misi YPP adalah untuk melakukan pendampingan dan mendorong proses disengagement bagi mantan teroris dan mantan combatan agar tidak kembali pada jalan kekerasan," ujar Noor Huda yang ditemui Beritasatu.com, akhir pekan lalu. .
Huda menerangkan, pihaknya tidak memakai term deradikalisasi untuk membina para mujahid atau mantan narapidana terorisme,
"Kami lebih sepakat dan concern dengan term disengagament, karena kami melihat perlunya kesadaran individu dalam melepaskan diri (disengaged) dari mindset dan perilaku kekerasan," tuturnya.
Dijelaskan, istilah deradikalisasi relatif kontraproduktif, karena menjadi radikal, berpikir radikal, berpikir kritis pada dasarnya bagus.
"Justru menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan bagi pemikiran radikal, itulah yang tidak bagus," tukasnya.
Upaya yang YPP lakukan adalah memberi trust pada mereka untuk menentukan sendiri "jalan baru" bagi kehidupan mantan narapidana teroris tersebut di masa depan.
Apa jalan baru tersebut? Menurut Huda, jalan yang membuka dinamika berpikir, menciptakan mindset non-violence dan berpikir kritis dan reflektif (dan evaluatif) atas apa yang telah mereka (mantan narapidana teroris) lakukan selama ini.
"Kami di YPP tidak mengarahkan langkah, mereka memilih sendiri mau kemana mereka akan langkah."
Pendekatan dengan para mantan teroris ini, kata Huda, tidak melulu dengan agama bisa melalui olahraga atau kuliner. "Minggu depan, kami akan mengajar masak para istri-istri mereka."
Soal dana pemberdayaan, Huda mengaku tidak banyak, tidak besar juga. Seperti misalnya dalam upaya pemberdayaan ekonomi dalam bentuk usaha warung makan.
Konsep dana di YPP disini hanya pemantik saja, bisnis kecil yang mereka kelola bersifat less capital more inovation (modal kecil besar inovasi).
"Jadi, bukan modalnya yang utama. Tapi bagaimana mereka belajar manajemen, inovasi bisnis, akuntansi, sampai pada kemampuan untuk membuka cabang baru dan merekrut rekan-rekan mereka sendiri, para mantan narapidana lain."
Manfaat dari program di YPP jelas. Dijelaskan Huda, mereka mempunyai kehidupan baru after prison.
"Ada kemandirian hidup, ada ruang interaksi dan sosialisasi dengan kalangan masyarakat yang luas. Mereka terjaga dari stigma mantan teroris. Mereka warga masyarakat yang berdaya dan berani meninggalkan kekerasan."
Satu hal perlu diingat, kata Huda, mantan narapidana teroris selalu punya resistensi terhadap negara/pemerintah, ketika ada inisiatif dari organisasi non-negara, mereka membuka diri dan aktif mencari informasi dan bergabung atas kehendak mereka sendiri. "Tanpa paksaan, tanpa tekanan."
Sejauh ini, YPP masih membina secara langsung lima mantan narapidana terorisme.
"Tapi yang sudah lulus ada sekitar 10-an. Sekarang mulai lagi ke beberapa penjara, termasuk yang di Semarang." Mereka utamanya berasal dari kasus Aceh.
Pendekatan sepihak
Bagi mantan narapidana teroris Yusuf Adirama, deradikalikasi yang dilakukan oleh pemerintah gagal karena pendekatannya hanya sepihak. "Dimana banyak aspirasi yang belum menemukan solusi. Bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga soal pendidikan."
Yusuf menambahkan, banyak mantan pelaku terorisme terjerumus lagi karena pemerintah tidak melakukan tindakan yang adil. Misalnya, overload dalam memberikan hukuman dan tidak sesuai dengan kapasitasnya, sehingga mereka senantiasa kembali melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
Wajar, pilihan bergabung dalam LSM atau aktivitas bisnis dinilai lebih nyaman bagi eks narapidana dan para mujahid Afganistan/Pakistan.
Di samping YPP, lembaga yang aktif menggarap mantan narapidana terorisme maupun menyebarkan counter ideology terorisme/radikalisme agama adalah Lazuardi Birru.
LSM ini diinisiasi oleh sejumlah mantan pelaku seperti Nasir Abbas, eks Mantiqi 3 JI. Mantan Kepala Densus 88 Surya Darma juga mendukung kegiatan Lazuardi Birru.
Program Lazuardi Birru membuat analisis dan pemetaan jaringan terorisme.
Tahun lalu mereka menerbitkan buku berjudul Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, yang cukup menuai kontroversi karena menuding situs voa-islam dan arrahmah sebagai situs penyebar radikalisme agama.
Terbitan komik soal bom Bali 1 dan kisah hidup Nasir Abbas juga diterbitkan sebagai pegangan guru atau pendidik di sekolah dasar-menengah.
Penulis: Dhana Kencana/ Kristantyo Wisnubroto
Ketulusan Sebuah Pertobatan yang Penuh Perjuangan
Mantan napi terorisme perlu waktu lama untuk dapat diterima di masyarakat.
Serangkaian aksi keji yang kerap mereka tebar di tanah air tentu masih
membekas kuat di ingatan publik, terlebih keluarga para korban tewas
dalam aksi terorisme. Tak heran, para napi eks teroris sulit diterima
masyarakat saat dibebaskan dari bui.
Meski demikian, tidak banyak dari mereka yang berjuang untuk dapat diterima di masyarakat.
Salah satunya Yusuf Adirima. Lelaki asal Jombang, Jawa Timur yang sebelumnya divonis 10 tahun penjara dalam kasus terorisme, akhirnya mampu diterima di masyarakat.
Dengan kesungguhan dan tekad tersendiri, Yusuf yang saat ini menjalani pembebasan bersyarat, tampak ceria dan tidak canggung dengan masyarakat umum.
Di sebuah warung di kawasan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Yusuf merasakan kehidupan seperti masyarakat lainnya.
Tidak ada yang berbeda. Mereka yang bergaul dengan Yusuf pun tidak canggung, dan membeda-bedakan Yusuf sebagai eks teroris, yang ditangkap 2003 silam.
“Setelah keluar penjara, sulit untuk kembali dan diterima ke masyarakat Tapi lambat laun, saya terus berusaha terbuka atas kasus yang menimpa saya. Alhamdulillah bisa,” katanya di Semarang, Sabtu (3/6).
Ketika itu, rumah kontrakan Yusuf di Jalan Sri Rejeki Semarang digerebek Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Ia pun kedapatan menyimpan 20 butir amunisi. Belakangan diketahui, amunisi tersebut milik Mustofa alias Abu Tholut. Usai penangkapan, Yusuf harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kedungpane, Semarang selama 5,5 tahun, kemudian dipindahkan ke LP Nusakambangan, Cilacap.
Tahun 2009 Yusuf keluar dari penjara, dengan proses pembebasan bersyarat dan wajib lapor.
Sejak itulah, dirinya mendapat bimbingan dari pengelola Yayasan Prasasti Perdamaian, milik Noor Huda Ismail. Yusuf sendiri saat ini menjalani profesi mengelola warung Dapoer Bistik, di Kawasan Kusumawardhani, Semarang, bersama delapan rekan lainnya.
Meski pernah berjihad di Moro, Filipina, Yusuf tetap menjalin komunikasi dengan teman-temannya yang masih dipenjara maupun yang sudah bebas.
Satu hal, Yusuf mengaku berat melepas label atau cap sebagai mantan teroris. Pasalnya, dirinya tidak pernah beraksi sebagai teroris dalam kasus tersebut.
Selain itu, setiap terjadi penangkapan peristiwa teroris baru, dirinya masih rentan dilibatkan pada kasus serupa.
“Seharusnya polisi bisa memetakan mana eks napi teroris yang terlibat dan mana yang tidak. Sehingga eks napi yang tidak terlibat, tidak lagi dikait-kaitkan terus dengan kasus teroris,” imbuhnya.Penulis: Dhana Kencana/ Kristantyo Wisnubroto
Meski demikian, tidak banyak dari mereka yang berjuang untuk dapat diterima di masyarakat.
Salah satunya Yusuf Adirima. Lelaki asal Jombang, Jawa Timur yang sebelumnya divonis 10 tahun penjara dalam kasus terorisme, akhirnya mampu diterima di masyarakat.
Dengan kesungguhan dan tekad tersendiri, Yusuf yang saat ini menjalani pembebasan bersyarat, tampak ceria dan tidak canggung dengan masyarakat umum.
Di sebuah warung di kawasan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Yusuf merasakan kehidupan seperti masyarakat lainnya.
Tidak ada yang berbeda. Mereka yang bergaul dengan Yusuf pun tidak canggung, dan membeda-bedakan Yusuf sebagai eks teroris, yang ditangkap 2003 silam.
“Setelah keluar penjara, sulit untuk kembali dan diterima ke masyarakat Tapi lambat laun, saya terus berusaha terbuka atas kasus yang menimpa saya. Alhamdulillah bisa,” katanya di Semarang, Sabtu (3/6).
Ketika itu, rumah kontrakan Yusuf di Jalan Sri Rejeki Semarang digerebek Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Ia pun kedapatan menyimpan 20 butir amunisi. Belakangan diketahui, amunisi tersebut milik Mustofa alias Abu Tholut. Usai penangkapan, Yusuf harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kedungpane, Semarang selama 5,5 tahun, kemudian dipindahkan ke LP Nusakambangan, Cilacap.
Tahun 2009 Yusuf keluar dari penjara, dengan proses pembebasan bersyarat dan wajib lapor.
Sejak itulah, dirinya mendapat bimbingan dari pengelola Yayasan Prasasti Perdamaian, milik Noor Huda Ismail. Yusuf sendiri saat ini menjalani profesi mengelola warung Dapoer Bistik, di Kawasan Kusumawardhani, Semarang, bersama delapan rekan lainnya.
Meski pernah berjihad di Moro, Filipina, Yusuf tetap menjalin komunikasi dengan teman-temannya yang masih dipenjara maupun yang sudah bebas.
Satu hal, Yusuf mengaku berat melepas label atau cap sebagai mantan teroris. Pasalnya, dirinya tidak pernah beraksi sebagai teroris dalam kasus tersebut.
Selain itu, setiap terjadi penangkapan peristiwa teroris baru, dirinya masih rentan dilibatkan pada kasus serupa.
“Seharusnya polisi bisa memetakan mana eks napi teroris yang terlibat dan mana yang tidak. Sehingga eks napi yang tidak terlibat, tidak lagi dikait-kaitkan terus dengan kasus teroris,” imbuhnya.Penulis: Dhana Kencana/ Kristantyo Wisnubroto
Menakar Pertobatan Terorisme
Berbaik hati kepada pelaku terorisme demi meraih info jaringan.
31 Mei 2012, seorang pentolan kasus terorisme kembali menyatakan penyesalannya atas aksi yang dilakukan beberapa waktu lalu.
Adalah Hisyam bin Ali Zein alias Umar Patek, terdakwa sejumlah aksi terorisme, yang menyatakan hal itu.
Setidaknya Umar Patek meminta maaf hingga tiga kali di sela-sela persidangan
dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Umar yang pernah dibui di Guantanamo, Kuba itu didakwa jaksa penuntut umum pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal hingga berperan dalam peledakan Bom Bali I tahun 2000.
'Pertobatan' yang disampaikan Umar Patek itu boleh jadi memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam, lantaran merasa menyesal mengetahui nasib para korbannya saat ini.
Namun bukan tidak mungkin, ungkapan penyesalan itu dipicu oleh adanya upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh pihak eksternal.
Tidak dapat dimungkiri bahwa upaya deradikalisasi yang dilakukan pemerintah selama ini belumlah menunjukkan hasil yang memuaskan.
Bahkan pascapelumpuhan dan penangkapan sejumlah gembong terorisme, masih saja terjadi tindakan-tindakan sejenis yang dilakukan oleh anggota kelompok-kelompok yang menganut aliran radikalisme.
Memang efek dari implementasi radikalisme itu tidak lagi menguncang perhatian publik karena tidak berupa aksi yang menelan puluhan korban jiwa.
Namun tetap saja, aksi-aksi skala kecil ataupun temuan rencana aksi terjadi di sejumlah titik di negeri ini.
Sebenarnya, bagaimana upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang potensial disusupi oleh paham radikal?
Dari catatan redaksi hingga akhir 2011, sedikitnya 60 alumnus program deradikalisasi kembali menjadi teroris, bahkan ada di antara mereka menjadi mentor jaringan Cirebon.
Pada 2011, peserta program deradikalisasi mencapai 761 orang, terdiri 541 orang ditangkap dan diproses di peradilan, serta 226 orang lagi ditangkap tapi tidak diproses.
Beberapa nama alumnus program deradikalisasi yang kembali menjadi teroris, adalah Abdullah Sonata dan Abu Tholut. Dua orang itu melakukan aksi terorisme melalui jaringan Anshorut Tauhid yang mengadakan pelatihan militer di Aceh,
Baik Umar Patek maupun Imam JAT Abu Bakar Baasyir dituding masuk dalam jaringan tersebut.
Adapun, Shogir, mantan terpidana bom Kedutaaan Australia di Jakarta pada 2004, juga pernah mengikuti program deradikalisasi sebelum ditangkap kembali pada Juni 2010.
Shogir disebut-sebut sebagai pelatih Muhammad Syarif, pengebom bunuh diri di Masjid Adz Zikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, dan Achmad Yosepa Hayat, pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo, pada 25 September 2011.
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menjelaskan program deradikalisasi dalam perspektif aparat penegak hukum kini lebih kepada berbaik-baik dengan para narapidana teroris demi mendapat informasi tentang jaringan mereka.
Seperti terpidana seumur hidup kasus Bom Bali I, Ali Imron, tidak pernah menghuni LP Kerobokan sejak 4 tahun lalu karena ia dibon Mabes Polri.
Meski pihak Polri Ali Imron dibon sejak marak bom buku pada Maret 2011.
Bagi polisi terpidana Ali Imron aktif memberi bantuan dalam menganalisis jaringan teroris.
Adalah Hisyam bin Ali Zein alias Umar Patek, terdakwa sejumlah aksi terorisme, yang menyatakan hal itu.
Setidaknya Umar Patek meminta maaf hingga tiga kali di sela-sela persidangan
dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Umar yang pernah dibui di Guantanamo, Kuba itu didakwa jaksa penuntut umum pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal hingga berperan dalam peledakan Bom Bali I tahun 2000.
'Pertobatan' yang disampaikan Umar Patek itu boleh jadi memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam, lantaran merasa menyesal mengetahui nasib para korbannya saat ini.
Namun bukan tidak mungkin, ungkapan penyesalan itu dipicu oleh adanya upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh pihak eksternal.
Tidak dapat dimungkiri bahwa upaya deradikalisasi yang dilakukan pemerintah selama ini belumlah menunjukkan hasil yang memuaskan.
Bahkan pascapelumpuhan dan penangkapan sejumlah gembong terorisme, masih saja terjadi tindakan-tindakan sejenis yang dilakukan oleh anggota kelompok-kelompok yang menganut aliran radikalisme.
Memang efek dari implementasi radikalisme itu tidak lagi menguncang perhatian publik karena tidak berupa aksi yang menelan puluhan korban jiwa.
Namun tetap saja, aksi-aksi skala kecil ataupun temuan rencana aksi terjadi di sejumlah titik di negeri ini.
Sebenarnya, bagaimana upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang potensial disusupi oleh paham radikal?
Dari catatan redaksi hingga akhir 2011, sedikitnya 60 alumnus program deradikalisasi kembali menjadi teroris, bahkan ada di antara mereka menjadi mentor jaringan Cirebon.
Pada 2011, peserta program deradikalisasi mencapai 761 orang, terdiri 541 orang ditangkap dan diproses di peradilan, serta 226 orang lagi ditangkap tapi tidak diproses.
Beberapa nama alumnus program deradikalisasi yang kembali menjadi teroris, adalah Abdullah Sonata dan Abu Tholut. Dua orang itu melakukan aksi terorisme melalui jaringan Anshorut Tauhid yang mengadakan pelatihan militer di Aceh,
Baik Umar Patek maupun Imam JAT Abu Bakar Baasyir dituding masuk dalam jaringan tersebut.
Adapun, Shogir, mantan terpidana bom Kedutaaan Australia di Jakarta pada 2004, juga pernah mengikuti program deradikalisasi sebelum ditangkap kembali pada Juni 2010.
Shogir disebut-sebut sebagai pelatih Muhammad Syarif, pengebom bunuh diri di Masjid Adz Zikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, dan Achmad Yosepa Hayat, pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo, pada 25 September 2011.
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menjelaskan program deradikalisasi dalam perspektif aparat penegak hukum kini lebih kepada berbaik-baik dengan para narapidana teroris demi mendapat informasi tentang jaringan mereka.
Seperti terpidana seumur hidup kasus Bom Bali I, Ali Imron, tidak pernah menghuni LP Kerobokan sejak 4 tahun lalu karena ia dibon Mabes Polri.
Meski pihak Polri Ali Imron dibon sejak marak bom buku pada Maret 2011.
Bagi polisi terpidana Ali Imron aktif memberi bantuan dalam menganalisis jaringan teroris.
Penulis: Dhana Kencana/Ratna Nuraini/ Kristantyo Wisnubroto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.