Jakarta (ANTARA) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kecewa pertemuan
tingkat menteri luar negeri negara-negara ASEAN tidak menghasilkan
komunike atau pernyataan bersama tentang Laut China Selatan (LCS).
"Terus terang sebagai salah satu pemimpin negara ASEAN saya kecewa dan prihatin," kata Yudhoyono dalam keterangan kepada wartawan di kantor kepresidenan, Jakarta, Senin.
Pertemuan tingkat menteri itu digelar di Phnom Penh, Kamboja. Hingga Jumat (13/7), para menteri gagal mengeluarkan pernyataan bersama terkait sengketa Laut China Selatan.
Laut China Selatan menjadi wilayah sengketa antara China dan beberapa negara ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Masing-masing negara itu mengklaim kedaulatan mereka atas Laut China Selatan.
Yudhoyono menegaskan, kegagalan menghasilkan pernyataan bersama itu adalah yang pertama kali dalam sejarah ASEAN.
Kegagalan tersebut bisa memperburuk citra asosiasi negara Asia Tenggara itu. Menurut Yudhoyono, kejadian itu bisa membuat dunia internasional menganggap telah terjadi perpecahan di ASEAN.
"Mestinya, serumit apapun masalah harus selalu ada titik temu," katanya.
Presiden menegaskan, masalah Laut China Selatan pasti akan kembali mencuat ketika para pemimpin negara ASEAN dan negara-negara mitra ASEAN hadir dalam pertemuan puncak pada November 2012 di Kamboja.
Yudhoyono berharap, setiap negara bisa membahas permasalahan itu secara jernih dan damai. Setiap negara harus berorientasi pada pencapaian kesepakatan setiap kali membagas sengketa.
Menurut Yudhoyono, Indonesia akan terus aktif berperan untuk menciptakan perdamaian kawasan.
Hal itu juga yang dilakukan oleh Indonesia ketika menjadi Ketua ASEAN pada 2011. Saat itu, Indonesia bisa memimpin serangkaian diskusi untuk memberikan solusi terhadap permasalahan di Myanmar dan sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand.(rr)
Sumber : Antara
PHNOM PENH -- ASEAN terpecah atasi sengketa di kawasan Laut Cina Selatan. Perpecahan pertama dalam 45 tahun, sejak 1967 berdirinya komunitas Asia Tenggara itu.
Perpecahan berawal dari penolakan tuan rumah perhelatan Menteri Luar Negeri ASEAN 2012 Kamboja, untuk memasukkan persoalan yang menyangkut klaim Cina atas landasan kontinen Scarborough, yang diyakini Filipina inheren dengan luas negaranya, kedalam Kode Etik bersama, sebagai pernyataan ASEAN atas konflik maritim di Laut Cina Selatan.
Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan mengatakan, Thailand, Filipina dan Vietnam menginginkan agar ASEAN mendeklarasikan secara bersama, perihal Laut Cina Selatan, sebagai pernyataan akhir pertemuan puncak menteri luar negeri ASEAN tersebut.
Menteri Luar Negeri Kamboja, Hor Namhong menjelaskan, sengketa antara sejumlah negara ASEAN dengan Cina adalah konflik yang melibatkan 'hanya' beberapa anggota ASEAN. "Kami (ASEAN) mengeluarkan deklarasi bersama tanpa menyinggung tentang Laut Cina Selatan," ujar Namhong, seperti dilansir AFP.
Sebagai pemegang estafet kepemimpinan ASEAN, Kamboja kata dia, menolak keterlibatan forum ASEAN dalam penyelesaian perebutan kawasan di tepi Samudera Pasifik, yang terdiri dari 200an pulau karang dan tak berpenghuni itu. "Pertemuan ASEAN, bukanlah pengadilan, ataupun tempat untuk memutuskan suatu sengketa," tukas dia, saat menutup pertemuan Menlu se-ASEAN.
Kantor berita AFP melaporkan, Jumat (13/7), Filipina tidak senang atas langkah yang diambil Kamboja tersebut. Manila yang dalam sepekan terakhir mendesak agar ASEAN terlibat dalam penyelesaian konflik dengan Cina, menuduh Kamboja sebagai 'kakitangan' dari Tirai Bambu.
Beijing kata Filipina telah menggunakan pengaruhnya kepada Kamboja untuk menghalangi dan memblokir ASEAN dalam penyelesaian sengketa di kawasan yang diduga kaya mengandung minyak tersebut.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa yang diharapkan dapat menjadi penengah konflik, juga mengaku kecewa dengan tidak disinggungnya pembahasan Laut Cina Selatan, dalam kesimpulan akhir tersebut.
Marty menilai perlunya konsensus dalam penyelesaian blok tersebut. "Perlu untuk ASEAN menciptakan gagasan untuk memperkuat Kode Etik, dan memulai lagi pembicaraan dengan Cina," kata Marty.
Sebelumnya, menteri luar negeri anggota ASEAN, sepakat telah memasukkan 'elemen kunci' sebagai draf pembahasan Kode Etik bagi negara yang bersinggungan dengan kawasan Laut Cina Selatan. Draf tersebut, menjadi pokok pembicaraan ASEAN dengan delegasi dari Cina. Namun, elemen kunci tersebut, tidak pernah dirilis ke media.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Liu Weimin telah menyatakan, tidak perlu bagi Filipina membawa kekuatan eksternal untuk menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan. Sebab, menurut Beijing, persoalan tersebut hanyalah menyangkut hubungan bilateral antar kedua negara.
Namun, Liu saat hadir dalam forum menlu ASEAN di Phnom Penh lalu, mengatakan, tidak mempersoalkan untuk membahas perselisihan Laut Cina Selatan bersama dengan ASEAN. "Cina akan bernegoisasi ketika dalam kondisi yang matang," kata Liu, simbolis.
Sumber : Republika
"Terus terang sebagai salah satu pemimpin negara ASEAN saya kecewa dan prihatin," kata Yudhoyono dalam keterangan kepada wartawan di kantor kepresidenan, Jakarta, Senin.
Pertemuan tingkat menteri itu digelar di Phnom Penh, Kamboja. Hingga Jumat (13/7), para menteri gagal mengeluarkan pernyataan bersama terkait sengketa Laut China Selatan.
Laut China Selatan menjadi wilayah sengketa antara China dan beberapa negara ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Masing-masing negara itu mengklaim kedaulatan mereka atas Laut China Selatan.
Yudhoyono menegaskan, kegagalan menghasilkan pernyataan bersama itu adalah yang pertama kali dalam sejarah ASEAN.
Kegagalan tersebut bisa memperburuk citra asosiasi negara Asia Tenggara itu. Menurut Yudhoyono, kejadian itu bisa membuat dunia internasional menganggap telah terjadi perpecahan di ASEAN.
"Mestinya, serumit apapun masalah harus selalu ada titik temu," katanya.
Presiden menegaskan, masalah Laut China Selatan pasti akan kembali mencuat ketika para pemimpin negara ASEAN dan negara-negara mitra ASEAN hadir dalam pertemuan puncak pada November 2012 di Kamboja.
Yudhoyono berharap, setiap negara bisa membahas permasalahan itu secara jernih dan damai. Setiap negara harus berorientasi pada pencapaian kesepakatan setiap kali membagas sengketa.
Menurut Yudhoyono, Indonesia akan terus aktif berperan untuk menciptakan perdamaian kawasan.
Hal itu juga yang dilakukan oleh Indonesia ketika menjadi Ketua ASEAN pada 2011. Saat itu, Indonesia bisa memimpin serangkaian diskusi untuk memberikan solusi terhadap permasalahan di Myanmar dan sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand.(rr)
Sumber : Antara
Sengketa Laut Cina Selatan, ASEAN Terpecah
PHNOM PENH -- ASEAN terpecah atasi sengketa di kawasan Laut Cina Selatan. Perpecahan pertama dalam 45 tahun, sejak 1967 berdirinya komunitas Asia Tenggara itu.
Perpecahan berawal dari penolakan tuan rumah perhelatan Menteri Luar Negeri ASEAN 2012 Kamboja, untuk memasukkan persoalan yang menyangkut klaim Cina atas landasan kontinen Scarborough, yang diyakini Filipina inheren dengan luas negaranya, kedalam Kode Etik bersama, sebagai pernyataan ASEAN atas konflik maritim di Laut Cina Selatan.
Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan mengatakan, Thailand, Filipina dan Vietnam menginginkan agar ASEAN mendeklarasikan secara bersama, perihal Laut Cina Selatan, sebagai pernyataan akhir pertemuan puncak menteri luar negeri ASEAN tersebut.
Menteri Luar Negeri Kamboja, Hor Namhong menjelaskan, sengketa antara sejumlah negara ASEAN dengan Cina adalah konflik yang melibatkan 'hanya' beberapa anggota ASEAN. "Kami (ASEAN) mengeluarkan deklarasi bersama tanpa menyinggung tentang Laut Cina Selatan," ujar Namhong, seperti dilansir AFP.
Sebagai pemegang estafet kepemimpinan ASEAN, Kamboja kata dia, menolak keterlibatan forum ASEAN dalam penyelesaian perebutan kawasan di tepi Samudera Pasifik, yang terdiri dari 200an pulau karang dan tak berpenghuni itu. "Pertemuan ASEAN, bukanlah pengadilan, ataupun tempat untuk memutuskan suatu sengketa," tukas dia, saat menutup pertemuan Menlu se-ASEAN.
Kantor berita AFP melaporkan, Jumat (13/7), Filipina tidak senang atas langkah yang diambil Kamboja tersebut. Manila yang dalam sepekan terakhir mendesak agar ASEAN terlibat dalam penyelesaian konflik dengan Cina, menuduh Kamboja sebagai 'kakitangan' dari Tirai Bambu.
Beijing kata Filipina telah menggunakan pengaruhnya kepada Kamboja untuk menghalangi dan memblokir ASEAN dalam penyelesaian sengketa di kawasan yang diduga kaya mengandung minyak tersebut.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa yang diharapkan dapat menjadi penengah konflik, juga mengaku kecewa dengan tidak disinggungnya pembahasan Laut Cina Selatan, dalam kesimpulan akhir tersebut.
Marty menilai perlunya konsensus dalam penyelesaian blok tersebut. "Perlu untuk ASEAN menciptakan gagasan untuk memperkuat Kode Etik, dan memulai lagi pembicaraan dengan Cina," kata Marty.
Sebelumnya, menteri luar negeri anggota ASEAN, sepakat telah memasukkan 'elemen kunci' sebagai draf pembahasan Kode Etik bagi negara yang bersinggungan dengan kawasan Laut Cina Selatan. Draf tersebut, menjadi pokok pembicaraan ASEAN dengan delegasi dari Cina. Namun, elemen kunci tersebut, tidak pernah dirilis ke media.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Liu Weimin telah menyatakan, tidak perlu bagi Filipina membawa kekuatan eksternal untuk menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan. Sebab, menurut Beijing, persoalan tersebut hanyalah menyangkut hubungan bilateral antar kedua negara.
Namun, Liu saat hadir dalam forum menlu ASEAN di Phnom Penh lalu, mengatakan, tidak mempersoalkan untuk membahas perselisihan Laut Cina Selatan bersama dengan ASEAN. "Cina akan bernegoisasi ketika dalam kondisi yang matang," kata Liu, simbolis.
Sumber : Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.