Selama Disandera Abu SayyafEmpat WNI sudah bebas ●
Empat warga negara Indonesia (WNI) yang juga anak buah kapal (ABK tongkang “Kristy”, mengaku mengalami kekerasan selama kurang lebih 25 hari, saat disandera kelompok Alan Bagade, sayap militan teroris Abu Sayyaf Filipina. Tekanan batin tersebut sudah dirasakan sejak awal penangkapan.
Salah seorang korban menjelaskan pada saat itu, mereka baru saja pulang mengangkut batubara dari Tarakan, Kalimantan Utara ke Cebu, Filipina, lalu pulang lagi ke Indonesia melalui perairan Malaysia, dekat Pulau Ligitan. Saat itu hari sudah gelap dan Adzan Maghrib baru saja berkumandang.
"Tiba-tiba ada kapal (dengan awak berseragam) loreng-loreng merapat ke speedboat kami (kapal tongkang Kristy) dan mulai menembak. Kami ketakutan. Dikira lima orang berseragam loreng-loreng dan bersenjata lengkap itu patroli Malaysia, karena kami dekat sekali dengan Pulau Ligitan. Kami tidak menyangka itu Abu Sayyaf," tutur Dede Irfan Hilmi di Kemenlu, Jumat (13/5/2016).
Seorang dari mereka kemudian mencoba melawan, dialah Lambas Simanungkalit. Akibatnya, dia terluka parah. Lima ABK lainnya yang berhasil selamat. Sementara keempat ABK lainnya tertangkap.
"Lambas sudah ketembak. Daripada semua terluka, ya sudah kami menyerah saja. Jadilah kami berempat yang ditangkap. Karena posisi kami paling luar. Jadi diambil sama mereka, biar cepat," timpal Syamsir.
Dikawal lima pria bersenjata lengkap, mereka mengarungi lautan menyandang status baru, dari pekerja jadi tawanan. Dan selayaknya tawanan lain, mereka makan dan minum seadanya.
Setiap hari mereka diikat bersama, mengelilingi satu pohon. Sesekali mereka dilepas, untuk sekadar makan, minum sendiri dan buang hajat, serta menunaikan ibadah salat. Namun begitu, tangan tetap terikat.
"Kami makan seadanya. Tangan terikat, jadi cuma satu yang bisa dipakai. Kadang dua hari sekali baru bisa makan. Makanannya juga cuma kelapa kering atau sisa makanan mereka," sambung Lorens.
Naik turun gunung, berlari dan mengendap di hutan, bersembunyi di antara pepohonan menjadi rutinitas mereka. Diawasi oleh 20 militan Alan Bagade, mereka dijaga bergantian, siang dan malam.
Sewaktu-waktu, barangkali ketika perundingan dengan pihak pemerintah Filipina dan Indonesia berlangsung alot. Mereka menunjukkan video penyayatan leher warga negara lain yang pernah mereka sandera.
"Kalau misalkan rakyat Indonesia enggak perjuangkan kalian, nasib kalian akan jadi seperti ini (sambil menunjukkan video eksekusi). Itu bikin kami takut, bukan karena takut ditembak tetapi takut dipotong leher," cerita Dede.
Di antara keempatnya, Syamsir mengungkap kawannya, Loren Marinus Petrus Romawi, menjadi yang paling sering mengalami kekerasan. Terutama ketika dia berjalan sangat lambat, para ekstremis itu tidak segan-segan menendangnya. (raw)
Empat warga negara Indonesia (WNI) yang juga anak buah kapal (ABK tongkang “Kristy”, mengaku mengalami kekerasan selama kurang lebih 25 hari, saat disandera kelompok Alan Bagade, sayap militan teroris Abu Sayyaf Filipina. Tekanan batin tersebut sudah dirasakan sejak awal penangkapan.
Salah seorang korban menjelaskan pada saat itu, mereka baru saja pulang mengangkut batubara dari Tarakan, Kalimantan Utara ke Cebu, Filipina, lalu pulang lagi ke Indonesia melalui perairan Malaysia, dekat Pulau Ligitan. Saat itu hari sudah gelap dan Adzan Maghrib baru saja berkumandang.
"Tiba-tiba ada kapal (dengan awak berseragam) loreng-loreng merapat ke speedboat kami (kapal tongkang Kristy) dan mulai menembak. Kami ketakutan. Dikira lima orang berseragam loreng-loreng dan bersenjata lengkap itu patroli Malaysia, karena kami dekat sekali dengan Pulau Ligitan. Kami tidak menyangka itu Abu Sayyaf," tutur Dede Irfan Hilmi di Kemenlu, Jumat (13/5/2016).
Seorang dari mereka kemudian mencoba melawan, dialah Lambas Simanungkalit. Akibatnya, dia terluka parah. Lima ABK lainnya yang berhasil selamat. Sementara keempat ABK lainnya tertangkap.
"Lambas sudah ketembak. Daripada semua terluka, ya sudah kami menyerah saja. Jadilah kami berempat yang ditangkap. Karena posisi kami paling luar. Jadi diambil sama mereka, biar cepat," timpal Syamsir.
Dikawal lima pria bersenjata lengkap, mereka mengarungi lautan menyandang status baru, dari pekerja jadi tawanan. Dan selayaknya tawanan lain, mereka makan dan minum seadanya.
Setiap hari mereka diikat bersama, mengelilingi satu pohon. Sesekali mereka dilepas, untuk sekadar makan, minum sendiri dan buang hajat, serta menunaikan ibadah salat. Namun begitu, tangan tetap terikat.
"Kami makan seadanya. Tangan terikat, jadi cuma satu yang bisa dipakai. Kadang dua hari sekali baru bisa makan. Makanannya juga cuma kelapa kering atau sisa makanan mereka," sambung Lorens.
Naik turun gunung, berlari dan mengendap di hutan, bersembunyi di antara pepohonan menjadi rutinitas mereka. Diawasi oleh 20 militan Alan Bagade, mereka dijaga bergantian, siang dan malam.
Sewaktu-waktu, barangkali ketika perundingan dengan pihak pemerintah Filipina dan Indonesia berlangsung alot. Mereka menunjukkan video penyayatan leher warga negara lain yang pernah mereka sandera.
"Kalau misalkan rakyat Indonesia enggak perjuangkan kalian, nasib kalian akan jadi seperti ini (sambil menunjukkan video eksekusi). Itu bikin kami takut, bukan karena takut ditembak tetapi takut dipotong leher," cerita Dede.
Di antara keempatnya, Syamsir mengungkap kawannya, Loren Marinus Petrus Romawi, menjadi yang paling sering mengalami kekerasan. Terutama ketika dia berjalan sangat lambat, para ekstremis itu tidak segan-segan menendangnya. (raw)
★ Okezone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.