Memahami Perang Asimetris
PENGERTIAN
Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra -geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra -ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Rujukan lain menyatakan, “Asymmetric warfare” can describe a conflict in which the resources of two belligerents differ in essence and in the struggle, interact and attempt to exploit each other’s characteristic weaknesses. Such struggles often involve strategies and tactics of unconventional warfare, the “weaker” combatants attempting to use strategy to offset deficiencies in quantity or quality. Such strategies may not necessarily be militarized.This is in contrast to symmetric warfare, where two powers have similar military power[citation needed] and resources and rely on tactics that are similar overall, differing only in details and execution.
STRATEGI
Dalam perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya. Sehingga strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam perang asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi kekuatan musuh, secara kuantitas dan kualitas.
Beberapa taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, menurut, antara lain:
1. One side can have a technological advantage which outweighs the numerical advantage of the enemy; the decisive English Longbow at the Battle of Crécy is an example.
2. Technological inferiority usually is cancelled by more vulnerable infrastructure which can be targeted with devastating results. Destruction of multiple electric lines, roads or water supply systems in highly populated areas could have devastating effects on economy and morale, while the weaker side may not have these structures at all.
3. Training and tactics as well as technology can prove decisive and allow a smaller force to overcome a much larger one. For example, for several centuries the Greek hoplite’s (heavy infantry) use of phalanx made them far superior to their enemies. The Battle of Thermopylae, which also involved good use of terrain, is a well known example.
4. If the inferior power is in a position of self-defense; i.e., under attack or occupation, it may be possible to use unconventional tactics, such as hit-and-run and selective battles in which the superior power is weaker, as an effective means of harassment without violating the laws of war. Perhaps the classical historical examples of this doctrine may be found in the American Revolutionary War, movements in World War II, such as the French Resistance and Soviet and Yugoslav partisans. Against democratic aggressor nations, this strategy can be used to play on the electorate’s patience with the conflict (as in the Vietnam War, and others since) provoking protests, and consequent disputes among elected legislators.
5. If the inferior power is in an aggressive position, however, and/or turns to tactics prohibited by the laws of war (jus in bello), its success depends on the superior power’s refraining from like tactics. For example, the law of land warfare prohibits the use of a flag of truce or clearly marked medical vehicles as cover for an attack or ambush, but an asymmetric combatant using this prohibited tactic to its advantage depends on the superior power’s obedience to the corresponding law. Similarly, laws of warfare prohibit combatants from using civilian settlements, populations or facilities as military bases, but when an inferior power uses this tactic, it depends on the premise that the superior power will respect the law that the other is violating, and will not attack that civilian target, or if they do the propaganda advantage will outweigh the material loss. As seen in most conflicts of the 20th and 21st centuries, this is highly unlikely as the propaganda advantage has always outweighed adherence to international law, especially by dominating sides of any conflict.
6. As noted below, the Israel-Palestinian conflict is one recent example of asymmetric warfare. Mansdorf and Kedar outline how Islamist warfare uses asymmetric status to gain a tactical advantage against Israel. They refer to the “psychological” mechanisms used by forces such as Hezbollah and Hamas in being willing to exploit their own civilians as well as enemy civilians towards obtaining tactical gains, in part by using the media to influence the course of war.
Pada sisi lain menurut terdapat tipologi strategi ideal yang digunakan dalam perang asimetris berdasarkan para aktor yang berperang :
1. Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct attack dan barbarism.
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct defense dan guerrilla warfare strategy.
TINGKAT KEBERHASILAN
Berdasarkan data yang dilaporkan dapat kita simak adanya suatu fakta yang mengejutkan tentang tingkat keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor yang bermain :
Terlihat bahwa makin ke arah sekarang dan yang akan datang adanya trend aktor perang asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini lebih tinggi. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk para pemain perang asimetris dalam menyusun strategi yang lebih andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan dengan olah strategi yang handal oleh pemain yang lemah.
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara, dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakan contoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia. Strategi ini tergolong murah tanpa mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena perang asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan Negara sudah digoyang. Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi juga sering digunakan. Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.
Contoh perang konvensional yang mengembang, dapat kita lihat di Libya saat penumbangan Khadafy. Ketika strategi non-konvensional yang dilancarkan masih dianggap kurang mampu menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari non-konvensional menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin perang yang dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya. Alasan awalnya adalah NFZ, tapi itu sesungguhnya kedok untuk mencapai tujuan sebenarnya.
Sejarah perang di Indonesia juga mencatat, selama konflik RI – Permesta berlangsung AS dengan dalih menjaga ladang minyaknya selalu berusaha masuk ke wilayah indonesia, melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan AS terhadap Indonesia TNI berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan sesegera mungkin mengamankan ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja dihancurkan oleh pemberontak Permesta yang bersekongkol dengan AS. Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan tidak akan dapat masuk kewilayah RI karena tidak memiliki alasan kuat sebagai pembenarannya. Perlu diketahui, AS sudah menyiapkan Armada VII dekat perairan Singapura dan terus melakukan manuver perang sebagai langkah persiapan memasuki wilayah indonesia. Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini Indonesia bagi AS sudah dianggap sebagai “Good Boy” sehingga strategi konvensional masih belum saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih menjaga kestabilan kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia. Jadi cukup dengan strategi Asimetris saja, AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah indonesia lewat isu, informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain sebagainya.
Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya.(Kompas 28/3/2011)
Wamenhan mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa Pemberitaan dua media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk upaya pemerintah Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan menggoyahkan stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi. Karena saat ini begitu mudah semua informasi diakses lewat media jaringan seperti Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya.
Seorang pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris, Tanggapan dan Penajaman”, membahas mengenai ancaman asimetris di bidang sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. Bahkan setengan dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat menjadi ancaman disintegrasi. Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa. Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak : kebangsaan, konstitusi, negara dan agama. Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity : The Information Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satu-satunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik, yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.
Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare Strategy”, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak. “Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,” katanya. Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah. Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.
APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Fahami lebih mendalam tentang perang asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum semuanya menjadi terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin banyak bergentayangan. Nasionalisme harus terus digelorakan, demi terjaganya keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu ikut menjaga dan mempertahankan negara bangsanya agar semakin jaya dalam bingkai NKRI sampai kapanpun.
CATATAN Oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (Dosen Akademi Angkatan Udara).
Menghadapi Perang Asimetris Diperlukan Sistem Pertahanan Yang Fleksibel
Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsdya TNI Eris Herryanto S.IP, Sabtu (2/6), saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional Pertahanan bertemakan “Konsep Pertahanan Negara Kepulauan Dalam Menghadapi Peperangan Asimetris”, di Ksatrian Akademi Angkatan Udara, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lebih lanjut Sekjen Kemhan menekankan bahwa dalam mengatasi perang asimetris diperlukan kesamaan visi dengan melakukaan konsultasi publik baik dengan DPR maupun dengan masyarakat sehingga keberadaannya jelas dan mudah diimplementasikan. Selain itu, peningkatan edukasi masyarakat adalah salah satu faktor penentu kualitas unsur utama dalam menghadapi berbagai ancaman nirmiliter dalam perang asimetris.
Dijelaskan oleh Sekjen Kemhan bahwa perang asimetris sangat sulit diawasi karena tidak terlihat bentuknya. Maka tidak ada cara lain selain melakukan pertahanan berlapis dengan menggunakan komponen cadangan yaitu segenap bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilakukan dengan penanaman rasa Bela Negara untuk menghadapi ancaman asimetris tersebut. Pada awal paparannya Sekjen Kemhan mengharapkan hasil seminar ini dapat melengkapi konsep pertahanan yang disusun oleh Kementerian Pertahanan.
Gubernur Provinsi D.I Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam seminar ini yang menjadi pembicara kunci mengangkat tema “Implementasi Visi Indonesia Sebagai Negara Kepulauan”. Pembicara dalam Seminar Nasional yang dibagi dalam dua sesi diskusi panel ini antara lain ; Pangdam IV Diponegoro Mayjen TNI Ir Mulhim Asyrof, Panglima Armada RI Kawasan Timur Laksda TNI Agung Pramono SH, M.Hum, Panglima Komando Pertahanan Udara Marsda TNI J.F.P Sitompul, dan Ketua Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta Achmad Charris Zubair.
Seminar Nasional ini diharapkan dapat menumbuhkan dan memupuk rasa nasionalisme bagi seluruh lapisan Bangsa Indonesia terutama generasi mudanya. Seminar ini juga diharapkan memberikan pemahaman kepada generasi muda mengenai konsep pertahanan Indonesia sebagai Negara kepulauan dalam menghadapi ancaman peperangan asimetris. Sehingga melalui seminar ini dapat dibangkitkan kesadaran akan pentingnya pertahanan (defence awareness) terutama menghadapi ancaman nirmiliter atau ancaman asimetris.
Seminar ini diadakan oleh AAU, Perwira Muda Angkasa (Pamungkas) AAU 2001 bekerjasama dengan Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI (KERIS) dan Lembaga Mahasiswa Filsafat (LMF) Fakultas Filsafat UGM, serta Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) Universitas Muhammaddiyah Yogyakarta dalam rangka memperingati Hari Bhakti TNI Angkatan Udara ke-65 Tahun 2012. Seminar Nasional Pertahanan ini juga diikuti oleh pelajar, Mahasiswa dan Taruna Akademi TNI, Pemerintah Daerah, TNI, Polri dan Akademisi.(DAS/SR)
Konsep Pertahanan Negara Kepulauan
Dalam seminar tersebut, Gubernur AAU, Marsekal Muda Tni Bambang Samoedro menyampaikan, Indonesia selain memiliki posisi yang strategis, ternyata juga memiliki aspek-aspek yang dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah. Ancaman tersebut digolongkan dalam ancaman militer dan nirmiliter atau ancaman asimetris. Dengan penyelenggaraan seminar, diharapkan akan melahirkan beragam ide kreatif dan inovatif dalam mengembangkan dan membangun konsep pertahanan negara kepulauan dalam menghadapi peperangan asimetris tersebut.
Sementara itu, pembicara dalam seminar, Mayor Jenderal Tni, Mulhim Asyrof menegaskan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Namun bangsa ini seringkali lupa akan kekayaan tersebut, sedangkan kondisi demografi dan geografi indonesia sangat mudah dimasuki apa saja, termasuk faham radikalisme yang efektif untuk memicu terorisme.(Afirtha-Afinanto)
Kemajemukan Indonesia Harus Dikembangkan Jadi Potensi
YOGYAKARTA - Kemajemukan Indonesia harus dikembangkan menjadi potensi
bangsa agar tidak menjadi masalah sosial yang dapat mendorong
perpecahan.
"Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai realitas kehidupan dapat menjadi potensi kesadaran etika pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia," kata pakar filsafat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Achmad Charris Zubair di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, Sabtu.
Pada seminar "Konsep Pertahanan Negara Kepulauan dalam Menghadapi Peperangan Asimetris", ia mengatakan, hal itu dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang bertumpu pada kesadaran terhadap kemajemukan Bangsa Indonesia.
"Di Indonesia terdapat 358 suku bangsa dan 200 subsuku bangsa. Selain itu, terdapat beberapa agama yang diakui pemerintah dan dipeluk oleh penduduk Indonesia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk. Oleh karena itu, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, tepat untuk menggambarkan realitas keindonesiaan.
Ungkapan itu, kata dia, mengisyaratkan kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun rakyat untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
"Meskipun terdapat unsur-unsur yang berbeda, kemauan untuk mempersatukan bangsa mengatasi kemajemukan itu tanpa menghapuskan atau mengingkarinya sangat besar," kata dosen Fakultas Filsafat UGM itu.
Oleh karena itu, menurut dia, generasi muda perlu dikenalkan dengan realitas Bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, dibekali dengan landasan sikap dan perilaku yang menghormati kemajemukan dan perbedaan.
"Nasionalisme di masa depan tidak lagi didasarkan atas kesamaan, melainkan juga atas pemahaman dan penghargaan atas perbedaan," katanya.
Ia mengatakan, pendidikan nilai sudah seharusnya memiliki konsep yang membangun kesadaran subjek didik untuk mengembangkan secara optimal potensi yang dimiliki, baik sebagai individu maupun potensi sosial bangsa.
"Pendidikan nasionalisme yang menekankan kebanggaan atas potensi bangsa, yang tidak harus diukur berdasarkan bangsa lain, perlu dikembangkan untuk mengantisipasi era global dan kosmopolitanisme," katanya.(tk/ant)
"Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai realitas kehidupan dapat menjadi potensi kesadaran etika pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia," kata pakar filsafat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Achmad Charris Zubair di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, Sabtu.
Pada seminar "Konsep Pertahanan Negara Kepulauan dalam Menghadapi Peperangan Asimetris", ia mengatakan, hal itu dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang bertumpu pada kesadaran terhadap kemajemukan Bangsa Indonesia.
"Di Indonesia terdapat 358 suku bangsa dan 200 subsuku bangsa. Selain itu, terdapat beberapa agama yang diakui pemerintah dan dipeluk oleh penduduk Indonesia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk. Oleh karena itu, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, tepat untuk menggambarkan realitas keindonesiaan.
Ungkapan itu, kata dia, mengisyaratkan kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun rakyat untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
"Meskipun terdapat unsur-unsur yang berbeda, kemauan untuk mempersatukan bangsa mengatasi kemajemukan itu tanpa menghapuskan atau mengingkarinya sangat besar," kata dosen Fakultas Filsafat UGM itu.
Oleh karena itu, menurut dia, generasi muda perlu dikenalkan dengan realitas Bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, dibekali dengan landasan sikap dan perilaku yang menghormati kemajemukan dan perbedaan.
"Nasionalisme di masa depan tidak lagi didasarkan atas kesamaan, melainkan juga atas pemahaman dan penghargaan atas perbedaan," katanya.
Ia mengatakan, pendidikan nilai sudah seharusnya memiliki konsep yang membangun kesadaran subjek didik untuk mengembangkan secara optimal potensi yang dimiliki, baik sebagai individu maupun potensi sosial bangsa.
"Pendidikan nasionalisme yang menekankan kebanggaan atas potensi bangsa, yang tidak harus diukur berdasarkan bangsa lain, perlu dikembangkan untuk mengantisipasi era global dan kosmopolitanisme," katanya.(tk/ant)
sumber :
mardoto.com
dmc.kemhan.go.id
mardoto.com
dmc.kemhan.go.id
www.jogjatv.tv
www.investor.co.id
www.investor.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.