Kunjungi Orang Tua Harus Pakai Visa
Manuel
Dwinanto Iskandar (kiri) saat menjalankan tugas menjadi penerjemah
dalam misi Pacific Partnership 2012 di Manado, Minggu (3/6).
Foto : Thoriq Solikhul Karim/Jawa Pos
Di
antara ribuan awak United States Navy Ship (USNS) Mercy yang mengikuti
program Pacific Partnership di perairan Manado pada 31 Mei"15 Juni, ada
seorang yang istimewa. Dia adalah Sersan Satu Manuel Dwinanto Iskandar.
Siapa dia?
THORIQ SHOLIKHUL KARIM, Manado
MASYARAKAT Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, menyambut kehadiran rombongan awak kapal USNS Mercy yang merapat di Pelabuhan Tahuna Minggu lalu (3/6) dengan ucapan selamat datang. Menggunakan bahasa Inggris yang sederhana, masyarakat mencoba berkomunikasi dengan anggota rombongan yang mengenakan baju doreng biru gelap itu.
Namun, suasana berubah ketika salah seorang anggota rombongan menjawab salam warga tersebut dengan bahasa Indonesia yang fasih. "Hai, apa kabar? Terima kasih sambutannya," kata personel Angkatan Laut AS yang belakangan diketahui bernama Sersan Satu Manuel Dwinanto Iskandar itu.
Masyarakat yang keheranan mendengar jawaban Iskandar awalnya tersenyum, lalu tertawa. Suasana pun jadi cair dan terasa akrab.
Masyarakat setempat mengira semua anggota rombongan kapal yang membawa misi kemanusiaan dan perdamaian itu orang asing. Apalagi, postur, warna kulit, dan wajah mereka menguatkan kesan "asing" tersebut. Karena itu, warga tidak mengira ada "orang asing" yang bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan fasih sefasih orang Indonesia pada umumnya.
Seolah mengerti apa yang ada di benak penduduk Sangihe, Iskandar pun menjawab dengan ramah. "Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, saya dulu memang orang Indonesia. Tapi, sekarang menjadi warga Amerika dan bergabung di Angkatan Laut Amerika Serikat (AS)," ujarnya yang membuat warga tambah melongo mendengar jawaban itu.
Iskandar lalu bercerita tentang sejarah dan latar belakang dirinya hingga bisa menjadi kru Pacific Partnership 2012. Dia ternyata orang asli Jakarta yang lahir pada 20 September 1971. Bersama keluarga, dia tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Masa kecil hingga remaja dia habiskan di ibu kota. Dia menamatkan pendidikan di SMAK 2 Penabur, Jakarta, pada 1993.
Setelah itu, Iskandar melanjutkan studi di Institut Bisnis Indonesia (IBI). Namun, dia hanya bertahan beberapa bulan. Sebab, dia ingin melanjutkan kuliah di AS.
Maka, tahun itu juga Iskandar menetapkan hati untuk hijrah ke Negeri Paman Sam. Dia diterima di California State University, Los Angeles. Dia mengambil jurusan international relationship. "Sejak itu saya mulai beraktivitas dan belajar di negeri tersebut," tuturnya.
Seperti kebanyakan pelajar Indonesia yang melanjutkan kuliah di AS, Iskandar mencari pengalaman kerja. Hanya, dia tidak bersedia menyebutkan bidang pekerjaan yang pernah digeluti.
Yang jelas, dari pekerjaannya tersebut, dia jadi tertarik mengenal lebih detail tentang dunia pelayaran dan bidang kemiliteran. Kala itu dia sering melihat aktivitas para personel Angkata Laut AS yang sedang beraktivitas di kapal yang sedang sandar di pelabuhan. "Saya senang kedisiplinan dan sistem yang diterapkan di Angkatan Laut AS," ungkap pria yang sudah 20 tahun tinggal di AS tersebut.
Iskandar mampu menyelesaikan kuliah pada 1999. Setelah itu, dia tidak pulang ke tanah air, tapi memutuskan untuk bekerja di negeri rantauan tersebut. Dia diterima sebagai dosen bahasa Indonesia di Defense Language Institute.
Meski Iskandar sudah menjadi dosen, ketertarikan di bidang kemiliteran dan perkapalan tidak juga surut. Dia terus mengasah pengetahuan di dua bidang itu. Maka, ketika ada kesempatan untuk mengabdikan diri menjadi bagian dari Angkatan Laut AS, Iskandar pun tak menyia-nyiakan peluang tersebut. Dia melamar melalui jalur khusus. Di luar dugaan, pria bertinggi badan sekitar 165 cm itu diterima pada 2006. Padahal, ketika itu umurnya sudah 35 tahun.
"Asal punya kemampuan akademik dan skill, sangat mungkin masuk," papar dia. "Buktinya, sekali tes saya langsung diterima," imbuhnya.
Sejak saat itu Iskandar resmi menjadi bagian dari militer AS. Dia pun mendapat prioritas untuk pindah kewarganegaraan dari Indonesia ke AS. Setelah mempertimbangkan masak-masak, Iskandar memilih untuk menetap di negara adikuasa itu dan menjadi warga negara di sana.
"Tapi, saya tetap tidak bisa melupakan tanah kelahiran saya, Indonesia. Karena itu, saya senang bisa ikut dalam misi kapal USNS Mercy ke Manado ini," paparnya.
Di USNS Mercy, Iskandar bertugas di bagian medis. Selain itu, dia dipercaya menjadi penerjemah komandan misi Pacific Partnership saat berkomunikasi dengan warga. Karena itulah, posisinya tidak pernah jauh dari para pimpinan kapal tersebut.
"Itu tanggung jawab saya. Mereka akan kesulitan untuk berkomunikasi jika saya tidak ada," ujar pemakai kacamata minus tersebut.
Proyek kemanusiaan itu bukan kali pertama diikuti Iskandar di Indonesia. Pada 2006 dia bertugas perdana di Kupang dengan US Air Force. Lalu, pada 2008 ke Ambon dengan kapal USNS Mercy dan pada 2011 ke Riau dalam aksi yang sama, Pacific Partnership.
Pada setiap misi di Indonesia, Iskandar selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi keluarganya di Kebon Jeruk. Apalagi, kedua orang tuanya masih tinggal di kampung halamannya itu. "Hanya, saya baru bisa cuti setelah tugas utama saya di Sangihe selesai," ujarnya.
Namun, meski pulang ke rumah orang tua sendiri, Iskandar tak bisa begitu saja terbang ke Jakarta. Sebab, dia mesti menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan bagi orang asing yang masuk ke Indonesia. Selain paspor, Iskandar harus mendapatkan visa kunjungan ke Indonesia terlebih dahulu.
Untuk itu, dia tidak bisa langsung terbang dari Bandara Sam Ratulangi Manado ke Soekarno-Hatta Cengkareng. Namun, mesti ke Singapura dulu untuk mengurus visa, baru bisa masuk Jakarta. "Kalau dulu saya ke Jakarta tidak perlu mengurus visa. Sekarang untuk ketemu orang tua diperlukan visa," tuturnya, lantas tersenyum.
Keputusannya menjadi personel Angkatan Laut AS memang menimbulkan pertanyaan. Apakah karena alasan kesejahteraan atau kecewa terhadap bangsa Indonesia? Sambil tersenyum Iskandar menjawab diplomatis.
Menurut dia, keputusan itu tidak berkaitan dengan perbedaan kesejahteraan yang diterima anggota militer di Indonesia ataupun AS. Dia bergabung di US Navy karena kebetulan berada di negara tersebut. "Saat itu saya sedang tinggal di sana. Pilihan saya pun mendaftar (AL AS) di tempat itu. Tidak ada pertimbangan lain," tegas dia.
Kini, meski sudah berwarga negara asing, Iskandar tetap menghormati tanah kelahirannya. Bagi dia, Indonesia tetap negara yang memiliki ciri khas tersendiri. Keramahan dan keindahan alamnya tak tertandingi. "Saya tidak bisa melupakan tanah kelahiran Indonesia," tandas dia. (*/c10/ari)(Jpnn)
THORIQ SHOLIKHUL KARIM, Manado
MASYARAKAT Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, menyambut kehadiran rombongan awak kapal USNS Mercy yang merapat di Pelabuhan Tahuna Minggu lalu (3/6) dengan ucapan selamat datang. Menggunakan bahasa Inggris yang sederhana, masyarakat mencoba berkomunikasi dengan anggota rombongan yang mengenakan baju doreng biru gelap itu.
Namun, suasana berubah ketika salah seorang anggota rombongan menjawab salam warga tersebut dengan bahasa Indonesia yang fasih. "Hai, apa kabar? Terima kasih sambutannya," kata personel Angkatan Laut AS yang belakangan diketahui bernama Sersan Satu Manuel Dwinanto Iskandar itu.
Masyarakat yang keheranan mendengar jawaban Iskandar awalnya tersenyum, lalu tertawa. Suasana pun jadi cair dan terasa akrab.
Masyarakat setempat mengira semua anggota rombongan kapal yang membawa misi kemanusiaan dan perdamaian itu orang asing. Apalagi, postur, warna kulit, dan wajah mereka menguatkan kesan "asing" tersebut. Karena itu, warga tidak mengira ada "orang asing" yang bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan fasih sefasih orang Indonesia pada umumnya.
Seolah mengerti apa yang ada di benak penduduk Sangihe, Iskandar pun menjawab dengan ramah. "Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, saya dulu memang orang Indonesia. Tapi, sekarang menjadi warga Amerika dan bergabung di Angkatan Laut Amerika Serikat (AS)," ujarnya yang membuat warga tambah melongo mendengar jawaban itu.
Iskandar lalu bercerita tentang sejarah dan latar belakang dirinya hingga bisa menjadi kru Pacific Partnership 2012. Dia ternyata orang asli Jakarta yang lahir pada 20 September 1971. Bersama keluarga, dia tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Masa kecil hingga remaja dia habiskan di ibu kota. Dia menamatkan pendidikan di SMAK 2 Penabur, Jakarta, pada 1993.
Setelah itu, Iskandar melanjutkan studi di Institut Bisnis Indonesia (IBI). Namun, dia hanya bertahan beberapa bulan. Sebab, dia ingin melanjutkan kuliah di AS.
Maka, tahun itu juga Iskandar menetapkan hati untuk hijrah ke Negeri Paman Sam. Dia diterima di California State University, Los Angeles. Dia mengambil jurusan international relationship. "Sejak itu saya mulai beraktivitas dan belajar di negeri tersebut," tuturnya.
Seperti kebanyakan pelajar Indonesia yang melanjutkan kuliah di AS, Iskandar mencari pengalaman kerja. Hanya, dia tidak bersedia menyebutkan bidang pekerjaan yang pernah digeluti.
Yang jelas, dari pekerjaannya tersebut, dia jadi tertarik mengenal lebih detail tentang dunia pelayaran dan bidang kemiliteran. Kala itu dia sering melihat aktivitas para personel Angkata Laut AS yang sedang beraktivitas di kapal yang sedang sandar di pelabuhan. "Saya senang kedisiplinan dan sistem yang diterapkan di Angkatan Laut AS," ungkap pria yang sudah 20 tahun tinggal di AS tersebut.
Iskandar mampu menyelesaikan kuliah pada 1999. Setelah itu, dia tidak pulang ke tanah air, tapi memutuskan untuk bekerja di negeri rantauan tersebut. Dia diterima sebagai dosen bahasa Indonesia di Defense Language Institute.
Meski Iskandar sudah menjadi dosen, ketertarikan di bidang kemiliteran dan perkapalan tidak juga surut. Dia terus mengasah pengetahuan di dua bidang itu. Maka, ketika ada kesempatan untuk mengabdikan diri menjadi bagian dari Angkatan Laut AS, Iskandar pun tak menyia-nyiakan peluang tersebut. Dia melamar melalui jalur khusus. Di luar dugaan, pria bertinggi badan sekitar 165 cm itu diterima pada 2006. Padahal, ketika itu umurnya sudah 35 tahun.
"Asal punya kemampuan akademik dan skill, sangat mungkin masuk," papar dia. "Buktinya, sekali tes saya langsung diterima," imbuhnya.
Sejak saat itu Iskandar resmi menjadi bagian dari militer AS. Dia pun mendapat prioritas untuk pindah kewarganegaraan dari Indonesia ke AS. Setelah mempertimbangkan masak-masak, Iskandar memilih untuk menetap di negara adikuasa itu dan menjadi warga negara di sana.
"Tapi, saya tetap tidak bisa melupakan tanah kelahiran saya, Indonesia. Karena itu, saya senang bisa ikut dalam misi kapal USNS Mercy ke Manado ini," paparnya.
Di USNS Mercy, Iskandar bertugas di bagian medis. Selain itu, dia dipercaya menjadi penerjemah komandan misi Pacific Partnership saat berkomunikasi dengan warga. Karena itulah, posisinya tidak pernah jauh dari para pimpinan kapal tersebut.
"Itu tanggung jawab saya. Mereka akan kesulitan untuk berkomunikasi jika saya tidak ada," ujar pemakai kacamata minus tersebut.
Proyek kemanusiaan itu bukan kali pertama diikuti Iskandar di Indonesia. Pada 2006 dia bertugas perdana di Kupang dengan US Air Force. Lalu, pada 2008 ke Ambon dengan kapal USNS Mercy dan pada 2011 ke Riau dalam aksi yang sama, Pacific Partnership.
Pada setiap misi di Indonesia, Iskandar selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi keluarganya di Kebon Jeruk. Apalagi, kedua orang tuanya masih tinggal di kampung halamannya itu. "Hanya, saya baru bisa cuti setelah tugas utama saya di Sangihe selesai," ujarnya.
Namun, meski pulang ke rumah orang tua sendiri, Iskandar tak bisa begitu saja terbang ke Jakarta. Sebab, dia mesti menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan bagi orang asing yang masuk ke Indonesia. Selain paspor, Iskandar harus mendapatkan visa kunjungan ke Indonesia terlebih dahulu.
Untuk itu, dia tidak bisa langsung terbang dari Bandara Sam Ratulangi Manado ke Soekarno-Hatta Cengkareng. Namun, mesti ke Singapura dulu untuk mengurus visa, baru bisa masuk Jakarta. "Kalau dulu saya ke Jakarta tidak perlu mengurus visa. Sekarang untuk ketemu orang tua diperlukan visa," tuturnya, lantas tersenyum.
Keputusannya menjadi personel Angkatan Laut AS memang menimbulkan pertanyaan. Apakah karena alasan kesejahteraan atau kecewa terhadap bangsa Indonesia? Sambil tersenyum Iskandar menjawab diplomatis.
Menurut dia, keputusan itu tidak berkaitan dengan perbedaan kesejahteraan yang diterima anggota militer di Indonesia ataupun AS. Dia bergabung di US Navy karena kebetulan berada di negara tersebut. "Saat itu saya sedang tinggal di sana. Pilihan saya pun mendaftar (AL AS) di tempat itu. Tidak ada pertimbangan lain," tegas dia.
Kini, meski sudah berwarga negara asing, Iskandar tetap menghormati tanah kelahirannya. Bagi dia, Indonesia tetap negara yang memiliki ciri khas tersendiri. Keramahan dan keindahan alamnya tak tertandingi. "Saya tidak bisa melupakan tanah kelahiran Indonesia," tandas dia. (*/c10/ari)(Jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.