DPR Setujui Beli Tank Medium
Marder 1A3 |
Wakil Ketua Komisi I Tb Hasanuddin, kamis (23/8) di Jakarta, mengatakan dalam rapat itu. Komisi I mendapat penjelasan dari Tim kecil yang ditunjuk Komisi I bahwa, pertama bahwa TNI tidak jadi membeli tank bekas dari Belanda seharga 2,5 juta Euro per unit. Keputusan akhir adalah membeli tank baru dari Jerman seharga 700.000-1,5 juta Euro. Kedua, pembelian adalah murni dari pemerintah ke pemerintah.
"Ketiga tonase yang dipilih adalah yang berbobot 40 ton, alias tank medium", kata TB Hasanuddin. Menurut Hasanuddin, dengan adanya berbagai masukan tim kecil ini, berarti berbagai pertanyaan Komisi I terjawab.
Sebelumnya, DPR mengkritisi rencana pembelian MBT Leopard 63 Ton karena tidak sesuai dengan geografi Indonesia dan tidak tertera di dalam rencana strategis pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Adanya perjanjian transfer teknologi juga membuat Komisi I menganggap tidak ada hambatan dalam pengadaan tersebut.
Namun, hal ini mendapat tentangan dari TNI AD. Kepala dinas penerangan TNI AD Brigjend Sisriadi mengatakan proses pengadaan MBT itu berasal dari telaah kebutuhan TNI AD yang dilakukan sejak 2006.
"Yang melakukan studi itu adalah mereka yang bertempur sehingga pertimbangan itu dari strategi, kondisi alam, sampai harga dan lingkungan strategis", katanya
Dari hasil pengkajian itu , disimpulkan tank yang paling sesuai dari segi kebutuhan dan kualitas adalah MBT Leopard. "TNI AD beri masukan ke Mabes TNI bahwa yang paling bagus itu MBT Leopard. Sesuai dengan definisinya. MBT adalah jenis tank besar yang ukurannya di atas 60 Ton," kata Sisriadi.
Karena itu dia mempertanyakan tonase 40 ton yang disetujui DPR. " Tidak ada Leopard yang beratnya 40 Ton dan tidak ada MBT yang beratnya di bawah 60 ton", katanya.
Anggaran Pertahanan
Pemerintah mengalokasikan anggaran pertahanan pada R-APBN 2013 tertinggi diantara kementerian lainnya yaitu Rp. 77.7 Triliun. Meskipun demikian menurut pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, jumlah itu belum mencukupi.
Dengan luasan wilayah Indonesia dan potensi masalah keamanan perariran dimasa depan menurut Connie, idealnya anggaran pertahanan Rp. 350 triliun. Anggaran pertahanan yang ideal harusnya dapat dipenuhi Pemerintah. Hal ini mengingat jumlah itu setara dengan anggaran Pemilu yang selalu dapat dipenuhi Pemerintah.
Dia mengatakan anggaran pertahanan ideal yang hampir 5,7 persen dari produk domestik bruto tersebut hanya dianggarakan sekali, selanjutnya diturunkan bertahap setiap tahunnya.
(Kompas)
Komisi I Merasa Sudah 'Clear', Pemerintah Boleh Beli Tank Leopard
Senayan - Komisi I DPR
RI menyalakan lampu hijau kepada pemerintah untuk membeli tank Leopard
guna melengkapi kebutuhan modernisasi alutsista bagi TNI Angkatan Darat.
Lampu hijau dinyalakan setelah anggota Komisi Pertahanan puas dengan penjelasan tim kecil yang ditunjuk untuk mempelajari rencana pembelian kendaraan perang tersebut.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengungkapkan, pihaknya dapat memahami presentasi tim kecil pada 16 Agustus lalu. Terdapat empat poin penting yang dipresentasikan di hadapan Komisi I.
Pertama, TNI batal membeli tank bekas dari Belanda yang harganya 2,5 juta euro per unit. Sebagai gantinya, TNI akan membeli tank baru dari Jerman seharga kisaran 700 ribu hingga 1,5 juta euro. Harga dapat berbeda-beda sesuai pilihan peralatan yang dipasang pada tiap unit tank.
Kedua, kesepakatan bisnis atas jual-beli tank tersebut menggunakan mekanisme G to G murni. Sama sekali tidak melibatkan makelar alias rekanan atau pihak ketiga.
Ketiga, TNI sudah menentukan spesifikasi tank berdasarkan kebutuhan paling utama. Tank yang dibeli hanya yang berbobot 40 ton atau masuk kategori tank kelas menengah. Hal ini sesuai rencana strategis pertahanan TNI.
Ke-empat, pembelian dilakukan dari pabrik atau produsen langsung. Karena itu, sejumlah badan usaha plat merah di bidang pertahanan seperti PT Pindad akan dilibatkan dalam prosedur teknis pengoperasian dan perawatan.
Informasi selengkap itu cukup meyakinkan para anggota Komisi I. Sehingga di akhir presentasi hampir semua peserta rapat langsung sepakat untuk memberikan persetujuan.
"Komisi I menganggap tidak ada masalah lagi dengan rencana pembelian tank Leopard. Meski demikian, kami tetap memandang perlu untuk melakukan konfirmasi langsung lagi dengan pihak Kemenhan/ TNI," ujar Tubagus Hasanuddin, Kamis (23/8).
Sebelumnya, rencana pembelian tank Leopard menuai kontroversi. Beberapa anggota Komisi I setuju demi mengejar modernisasi alutsista TNI. Namun, sebagian yang lain keberatan karena empat hal. Suara minor saat itu banyak datang dari anggota Komisi I yang berlatar belakang militer.
Empat hal yang dipersoalkan antara lain ;
pertama, tank berbobot 63 ton sebagaimana diajukan TNI Angkatan Darat dinilai tidak cocok dengan kondisi geografis Indonesia.
Kedua, harga tank bekas yang ingin dibeli dari Belanda ditaksir terlalu mahal, 2,5 juta euro per unit. Harga segitu sama dengan harga tank baru yang berusia lebih muda dan perlengkapannya dapat disetel sesuai pilihan.
Ketiga, tidak melibatkan badan usaha milik negara di bidang pertahanan dalam hal teknis pengoperasian dan perawatannya. Padahal salah satu prinsip pembelian alutsista adalah adanya alih teknologi.
Ke-empat, spesifikasi dan jumlah tank yang dibeli tidak sesuai dengan rencana strategis pertahanan yang sudah dibikin dan disetujui DPR
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengungkapkan, pihaknya dapat memahami presentasi tim kecil pada 16 Agustus lalu. Terdapat empat poin penting yang dipresentasikan di hadapan Komisi I.
Pertama, TNI batal membeli tank bekas dari Belanda yang harganya 2,5 juta euro per unit. Sebagai gantinya, TNI akan membeli tank baru dari Jerman seharga kisaran 700 ribu hingga 1,5 juta euro. Harga dapat berbeda-beda sesuai pilihan peralatan yang dipasang pada tiap unit tank.
Kedua, kesepakatan bisnis atas jual-beli tank tersebut menggunakan mekanisme G to G murni. Sama sekali tidak melibatkan makelar alias rekanan atau pihak ketiga.
Ketiga, TNI sudah menentukan spesifikasi tank berdasarkan kebutuhan paling utama. Tank yang dibeli hanya yang berbobot 40 ton atau masuk kategori tank kelas menengah. Hal ini sesuai rencana strategis pertahanan TNI.
Ke-empat, pembelian dilakukan dari pabrik atau produsen langsung. Karena itu, sejumlah badan usaha plat merah di bidang pertahanan seperti PT Pindad akan dilibatkan dalam prosedur teknis pengoperasian dan perawatan.
Informasi selengkap itu cukup meyakinkan para anggota Komisi I. Sehingga di akhir presentasi hampir semua peserta rapat langsung sepakat untuk memberikan persetujuan.
"Komisi I menganggap tidak ada masalah lagi dengan rencana pembelian tank Leopard. Meski demikian, kami tetap memandang perlu untuk melakukan konfirmasi langsung lagi dengan pihak Kemenhan/ TNI," ujar Tubagus Hasanuddin, Kamis (23/8).
Sebelumnya, rencana pembelian tank Leopard menuai kontroversi. Beberapa anggota Komisi I setuju demi mengejar modernisasi alutsista TNI. Namun, sebagian yang lain keberatan karena empat hal. Suara minor saat itu banyak datang dari anggota Komisi I yang berlatar belakang militer.
Empat hal yang dipersoalkan antara lain ;
pertama, tank berbobot 63 ton sebagaimana diajukan TNI Angkatan Darat dinilai tidak cocok dengan kondisi geografis Indonesia.
Kedua, harga tank bekas yang ingin dibeli dari Belanda ditaksir terlalu mahal, 2,5 juta euro per unit. Harga segitu sama dengan harga tank baru yang berusia lebih muda dan perlengkapannya dapat disetel sesuai pilihan.
Ketiga, tidak melibatkan badan usaha milik negara di bidang pertahanan dalam hal teknis pengoperasian dan perawatannya. Padahal salah satu prinsip pembelian alutsista adalah adanya alih teknologi.
Ke-empat, spesifikasi dan jumlah tank yang dibeli tidak sesuai dengan rencana strategis pertahanan yang sudah dibikin dan disetujui DPR
Ini Alasan Komisi I Setujui Pembelian Tank Leopard
Leopard 2. (Foto: ©Bundeswehr/Trotzki) |
Wakil Ketua Komisi I Tubagus Hasanuddin mengatakan, awalnya para politisi Komisi I termasuk dirinya menolak rencana pembelian tank Leopard bekas dari Belanda lantaran berat tank mencapai 64 ton. Tank itu dinilai tak cocok dengan kondisi geografis di Indonesia. Selain itu, harga jual terlalu mahal untuk tank bekas, yakni 2,5 juta euro per unit.
Alasan lain, kata Tubagus, tidak ada transfer teknologi kepada BUMN di Indonesia seperti PT Pindad. Kemudian, dia menambahkan, berdasarkan penjelasan yang diterima Komisi I, pemerintah akhirnya akan membeli tank baru dari Jerman dengan harga antara 700.000 euro dan 1,5 juta euro, atau tergantung persenjataan yang dipasang.
Selain itu, politisi PDI Perjuangan itu menambahkan, pembelian murni antar-negara dan tidak melibatkan makelar atau pihak ketiga. Hal lain, berat tank disebut hanya 40 ton atau tank medium.
"Karena langsung dari pabrik, maka melibatkan BUMN seperti PT Pindad dalam TOT (transfer of technology). Dengan informasi seperti itu, maka Komisi I menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan rencana pembelian tank Leopard. Tapi perlu dikonfirmasi langsung lagi dengan Kemenhan atau TNI," kata Tubagus melalui pesan singkat, Kamis (23/8/2012).
(Kompas)
Exportantrag für Leopard 2 nach Indonesien eingereicht
Möglicher Panzerdeal
Leopard-2-Panzer |
Indonesien interessiert sich für gebrauchtes deutsches
Kriegsgerät: Vier Kampf- und vier Schützenpanzer sollen womöglich in das
südostasiatische Land exportiert werden. Ein entsprechender Antrag
wurde eingereicht. Eine Ausfuhr ist wegen der Menschenrechtslage höchst
umstritten.
Berlin - Erneut verdichten sich Hinweise darauf, dass Indonesien deutsche Panzer des Typs Leopard 2 ordern könnte. Der Bundesregierung liegt ein Antrag auf Ausfuhr von vier Exemplaren Kampfgeräts vor. Die Panzer Leopard 2A4, die aus den achtziger Jahren stammen, sollen in dem südostasiatischen Land vorgeführt werden, wie aus einer Antwort des Verteidigungsministeriums auf eine parlamentarische Anfrage der Grünen hervorgeht.
Auch wurde der vorübergehende Export von vier Schützenpanzern des Typs Marder 1A3 beantragt. Eine Entscheidung sei aber noch nicht getroffen, schreibt Staatssekretär Christian Schmidt in seiner Antwort. Über den Antragsteller gibt das Schreiben keine Auskunft. In der Regel werden solche Anträge von der Rüstungsindustrie gestellt.
Der Export ist wegen der Menschenrechtslage im bevölkerungsreichsten muslimischen Land der Erde umstritten. Die Bundesregierung hatte bisher lediglich bestätigt, dass Indonesien Anfang des Jahres mündlich Interesse an gebrauchten Leopard-2-Panzern aus Beständen der Bundeswehr bekundet hat. Medienberichten zufolge soll es um 100 Exemplare gehen.
Eine offizielle Anfrage zum Kauf der Panzer gibt es laut Schmidt allerdings nicht. "Es wurde auch seitens der Bundesregierung kein Angebot unterbreitet."
Inwieweit die beantragte Vorführung der Panzer mit der mündlichen Interessenbekundung Indonesiens zur Übernahme von Altbeständen der Bundeswehr zusammenhängt, blieb zunächst unklar. Der Leopard 2A4 wurde ab 1985 für die Bundeswehr produziert. Er wird heute aber nicht mehr vom Heer genutzt, das stattdessen über 350 Exemplare der Nachfolge-Modelle A5 und A6 verfügt.
Laut Verteidigungsministerium besitzt die Bundeswehr zwar noch einige der 2A4-Leoparden. Diese seien allerdings bereits zur Weiterentwicklung anderer Waffensysteme wie Pionierpanzer oder Brückenlege-Panzer vorgesehen, sagte ein Sprecher. Einige der alten Panzer seien zudem an andere Nationen verliehen.
Neben Indonesien sollen auch Saudi-Arabien und Katar Interesse an Leopard-Panzern haben, allerdings an einer moderneren Version. Über Exporte von Kriegswaffen in Länder außerhalb von Nato und EU entscheidet der Bundessicherheitsrat, der geheim tagt. Erst Ende Juli stieß der geplante Verkauf von mehreren hundert Kampfpanzern an Katar auf scharfe Kritik. SPD, Linke und Grüne forderten die Bundesregierung damals auf, das mögliche Milliardengeschäft der Firma Krauss-Maffei Wegmann mit dem Emirat zu untersagen.(kha/dpa)
Berlin - Erneut verdichten sich Hinweise darauf, dass Indonesien deutsche Panzer des Typs Leopard 2 ordern könnte. Der Bundesregierung liegt ein Antrag auf Ausfuhr von vier Exemplaren Kampfgeräts vor. Die Panzer Leopard 2A4, die aus den achtziger Jahren stammen, sollen in dem südostasiatischen Land vorgeführt werden, wie aus einer Antwort des Verteidigungsministeriums auf eine parlamentarische Anfrage der Grünen hervorgeht.
Auch wurde der vorübergehende Export von vier Schützenpanzern des Typs Marder 1A3 beantragt. Eine Entscheidung sei aber noch nicht getroffen, schreibt Staatssekretär Christian Schmidt in seiner Antwort. Über den Antragsteller gibt das Schreiben keine Auskunft. In der Regel werden solche Anträge von der Rüstungsindustrie gestellt.
Der Export ist wegen der Menschenrechtslage im bevölkerungsreichsten muslimischen Land der Erde umstritten. Die Bundesregierung hatte bisher lediglich bestätigt, dass Indonesien Anfang des Jahres mündlich Interesse an gebrauchten Leopard-2-Panzern aus Beständen der Bundeswehr bekundet hat. Medienberichten zufolge soll es um 100 Exemplare gehen.
Eine offizielle Anfrage zum Kauf der Panzer gibt es laut Schmidt allerdings nicht. "Es wurde auch seitens der Bundesregierung kein Angebot unterbreitet."
Inwieweit die beantragte Vorführung der Panzer mit der mündlichen Interessenbekundung Indonesiens zur Übernahme von Altbeständen der Bundeswehr zusammenhängt, blieb zunächst unklar. Der Leopard 2A4 wurde ab 1985 für die Bundeswehr produziert. Er wird heute aber nicht mehr vom Heer genutzt, das stattdessen über 350 Exemplare der Nachfolge-Modelle A5 und A6 verfügt.
Laut Verteidigungsministerium besitzt die Bundeswehr zwar noch einige der 2A4-Leoparden. Diese seien allerdings bereits zur Weiterentwicklung anderer Waffensysteme wie Pionierpanzer oder Brückenlege-Panzer vorgesehen, sagte ein Sprecher. Einige der alten Panzer seien zudem an andere Nationen verliehen.
Neben Indonesien sollen auch Saudi-Arabien und Katar Interesse an Leopard-Panzern haben, allerdings an einer moderneren Version. Über Exporte von Kriegswaffen in Länder außerhalb von Nato und EU entscheidet der Bundessicherheitsrat, der geheim tagt. Erst Ende Juli stieß der geplante Verkauf von mehreren hundert Kampfpanzern an Katar auf scharfe Kritik. SPD, Linke und Grüne forderten die Bundesregierung damals auf, das mögliche Milliardengeschäft der Firma Krauss-Maffei Wegmann mit dem Emirat zu untersagen.(kha/dpa)
DPR: Tank Leopard Belanda Tak Cocok untuk RI
Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengungkapkan,
ngototnya Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro untuk membeli
Tank Leopard buatan Belanda untuk pertahanan TNI sangat disesalkan.
Sebab, DPR melalui Komisi I DPR dari awal sudah menolak rencana Menhan
tersebut.
"Ada 4 hal yang kami kritisi saat itu pertama adalah tonasenya yang 63 ton dianggap tak cocok dengan geografi di indonesia, kedua harganya yang mahal padahal tank bekas (2,5 € per unit), ketiga tidak ada TOT dengan BUMNIP kita (Pindad, Len dan lain-lain) dan keempat tak sesuai dengan Renstra yang ada," kata TB Hasanuddin melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis (23/8/2012).
Dituturkan Hasanuddin, pada saat yang lalu dalam rapat Komisi I 16 Agustus 2012 komisi I mendapat penjelasan dari team kecil yang ditunjuk mempelajari masalah MBT Leopard. Di mana menurutnya dalam rapat itu diinformasikan 4 hal.
"Pertama TNI tidak jadi membeli tank bekas dari Belanda yang harganya 2,5 jt € per unit, tapi akan membeli tank baru dari Jerman seharga kisaran 700.000 sd 1,5 jt € (tergantung sista yang dipasangnya). Kedua pembelian murni G to G dan tak melibatkan makelar alias rekanan atau pihak ketiga. Ketiga tonasenya konon dipilih yang berbobot 40 ton saja alias Medium Tank (jadi sudah sesuai renstra TNI) dan keempat karena langsung dari pabrik maka melibatkan BUMNIP seperti PT. Pindad dan lain-lain dalam TOTnya," papar dia.
Lebih lanjut mantan perwira TNI ini menilai dengan informasi seperti itu maka Komisi I menganggap sudah tak ada masalah lagi dengan rencana pembelian tank Leopard tersebut. Tapi memang perlu dikonfirmasi langsung lagi dengan Kemenhan atau TNI dan akan kita klarifikasi pada kesempatan pertama ASAP.
"Ada 4 hal yang kami kritisi saat itu pertama adalah tonasenya yang 63 ton dianggap tak cocok dengan geografi di indonesia, kedua harganya yang mahal padahal tank bekas (2,5 € per unit), ketiga tidak ada TOT dengan BUMNIP kita (Pindad, Len dan lain-lain) dan keempat tak sesuai dengan Renstra yang ada," kata TB Hasanuddin melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis (23/8/2012).
Dituturkan Hasanuddin, pada saat yang lalu dalam rapat Komisi I 16 Agustus 2012 komisi I mendapat penjelasan dari team kecil yang ditunjuk mempelajari masalah MBT Leopard. Di mana menurutnya dalam rapat itu diinformasikan 4 hal.
"Pertama TNI tidak jadi membeli tank bekas dari Belanda yang harganya 2,5 jt € per unit, tapi akan membeli tank baru dari Jerman seharga kisaran 700.000 sd 1,5 jt € (tergantung sista yang dipasangnya). Kedua pembelian murni G to G dan tak melibatkan makelar alias rekanan atau pihak ketiga. Ketiga tonasenya konon dipilih yang berbobot 40 ton saja alias Medium Tank (jadi sudah sesuai renstra TNI) dan keempat karena langsung dari pabrik maka melibatkan BUMNIP seperti PT. Pindad dan lain-lain dalam TOTnya," papar dia.
Lebih lanjut mantan perwira TNI ini menilai dengan informasi seperti itu maka Komisi I menganggap sudah tak ada masalah lagi dengan rencana pembelian tank Leopard tersebut. Tapi memang perlu dikonfirmasi langsung lagi dengan Kemenhan atau TNI dan akan kita klarifikasi pada kesempatan pertama ASAP.
Jerman Belum Kabulkan Permintaan Indonesia Soal Leopard 2
Leopard 2A4 |
Rencana pembelian tank Leopard 2 dari Jerman disikapi serius oleh
Indonesia. Pemerintah Jerman mengakui, akhir Juli lalu Jakarta telah
menyampaikan permohonan resmi untuk mengirimkan empat unit tank Leopard
2A4 yang diproduksi tahun 80-an ke Indonesia untuk diujicoba. Informasi
tersebut berasal dari jawaban Kementrian Pertahanan atas permintaan
parlemen Jerman, Bundestag.
Selain itu Indonesia juga meminta Berlin mengirimkan empat unit kendaraan tempur infanteri jenis Marder 1A3. Pemerintah Jerman mengaku pihaknya hingga kini belum bisa memberikan keputusan atas permintaan tersebut.
Hingga kini Indonesia juga belum mengajukan penawaran resmi terkait pengadaan sistem persenjataan tersebut. "Kami belum menerima penawaran apapun," kata Christian Schmidt, Sekretaris Negara di Kementrian Pertahanan.
Rencana Indonesia memodernisasi alat tempurnya dan mendatangkan 100 unit tank bekas jenis Leopard 2 sudah disampaikan ke pemerintah Jerman secara lisan Januari lalu. Niat ini kemudian dibahas secara informal saat kunjungan Kanselir Angela Merkel, awal Juli ke Jakarta. Merkel sendiri tidak mengakui adanya pembahasan terkait rencana tersebut.
Leopard 2A4 yang dipesan Indonesia untuk ujicoba itu diproduksi tahun 1984 dan sudah tidak digunakan lagi oleh Bundeswehr. Angkatan darat Jerman itu kini memakai model terbaru Leopard 2A5 dan A6 sebanyak 350 unit.
Kementrian Pertahanan mengkalim, pihaknya memang masih menyimpan ratusan unit Leopard 2A4, namun sebagian besar akan dikembangkan menjadi jenis persenjataan baru seperti tank pembersih ranjau atau tank pembuat jembatan (AVLB). Selain itu sejumlah unit Leopard 2A4 yang berasal dari tahun produksi yang sama sudah atau akan dipinjamkan ke negara-negara tetangga Eropa. Pemerintah Indonesia terkesan belum mendapat informasi tersebut.
Sebaliknya sebanyak 409 unit Marder 1A3 masih dugunakan Bundeswehr saat
ini di Afghanistan. Dalam waktu dekat kendaraan tempur infanteri itu
akan digantikan dengan tipe Puma yang lebih modern.
Sebab itu pula rekomendasi terkait pembelian tank Leopard 2A4 yang dikeluarkan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu terlihat lebih realistis, meski bukan tanpa cela. DPR antara lain meminta pemerintah untuk membeli tank baru dari Krauss Maffei-Wegmann melalui pemerintah Jerman. Selain itu Senayan juga mendesak agar pemerintah mengajukan klausul transfer teknologi dalam kontrak pembelian.
Di parlemen Jerman, Bundestag, mulai muncul penolakan terhadap rencana pembelian Leopard oleh Indonesia. Partai Hijau bahkan meminta pemerintah untuk menolak permohonan Indonesia mengirimkan empat unit tank untuk ujicoba yang diajukan 23 Juli lalu. "Sekali diizinkan, pemerintah tidak akan mungkin menolak pembelian lanjutan dalam jumlah besar oleh Indonesia," kata Katja Keul, Ketua Fraksi Partai Hijau di Bundestag.
Ekspor Leopard 2 ke Indonesia menjadi sumber kontroversi di Jerman lantaran sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diduga dilakukan militer Indonesia (TNI). Sejumlah anggota parlemen mengkhawatirkan, tank-tank tersebut akan dipakai untuk memberantas pemberontakan di Papua. "Kalau pemerintah Jerman ingin mematuhi komitmennya, maka mereka harus menolak ekspor senjata ke Indonesia, " tambah Keul.
Politikus Partai Hijau itu juga menekankan, Jerman tidak dapat mengekspor senjata kepada negara ketiga di luar anggota NATO dan Uni Eropa, selama tidak ada alasan strategis. "Aturan pengecualian seperti itu tidak berlaku dalam kasus ini," katanya.
Kekhawatiran tersebut sempat ditampik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat kunjungan Merkel juli lalu. Yudhoyono dalam sebuah jumpa pers menegaskan, senjata yang akan dibeli "tidak akan kami gunakan untuk menembaki rakyat kami." Menurut Yudhoyono, Indonesia sudah tidak meremajakan sistem alutistanya sejak 20 tahun terakhir, "kami berhak membangun kekuatan pertahanan minimal," tukasnya.(rzn//dpad/afpd)
Selain itu Indonesia juga meminta Berlin mengirimkan empat unit kendaraan tempur infanteri jenis Marder 1A3. Pemerintah Jerman mengaku pihaknya hingga kini belum bisa memberikan keputusan atas permintaan tersebut.
Hingga kini Indonesia juga belum mengajukan penawaran resmi terkait pengadaan sistem persenjataan tersebut. "Kami belum menerima penawaran apapun," kata Christian Schmidt, Sekretaris Negara di Kementrian Pertahanan.
Rencana Indonesia memodernisasi alat tempurnya dan mendatangkan 100 unit tank bekas jenis Leopard 2 sudah disampaikan ke pemerintah Jerman secara lisan Januari lalu. Niat ini kemudian dibahas secara informal saat kunjungan Kanselir Angela Merkel, awal Juli ke Jakarta. Merkel sendiri tidak mengakui adanya pembahasan terkait rencana tersebut.
Leopard 2A4 yang dipesan Indonesia untuk ujicoba itu diproduksi tahun 1984 dan sudah tidak digunakan lagi oleh Bundeswehr. Angkatan darat Jerman itu kini memakai model terbaru Leopard 2A5 dan A6 sebanyak 350 unit.
Kementrian Pertahanan mengkalim, pihaknya memang masih menyimpan ratusan unit Leopard 2A4, namun sebagian besar akan dikembangkan menjadi jenis persenjataan baru seperti tank pembersih ranjau atau tank pembuat jembatan (AVLB). Selain itu sejumlah unit Leopard 2A4 yang berasal dari tahun produksi yang sama sudah atau akan dipinjamkan ke negara-negara tetangga Eropa. Pemerintah Indonesia terkesan belum mendapat informasi tersebut.
Marder 1A3 |
Sebab itu pula rekomendasi terkait pembelian tank Leopard 2A4 yang dikeluarkan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu terlihat lebih realistis, meski bukan tanpa cela. DPR antara lain meminta pemerintah untuk membeli tank baru dari Krauss Maffei-Wegmann melalui pemerintah Jerman. Selain itu Senayan juga mendesak agar pemerintah mengajukan klausul transfer teknologi dalam kontrak pembelian.
Di parlemen Jerman, Bundestag, mulai muncul penolakan terhadap rencana pembelian Leopard oleh Indonesia. Partai Hijau bahkan meminta pemerintah untuk menolak permohonan Indonesia mengirimkan empat unit tank untuk ujicoba yang diajukan 23 Juli lalu. "Sekali diizinkan, pemerintah tidak akan mungkin menolak pembelian lanjutan dalam jumlah besar oleh Indonesia," kata Katja Keul, Ketua Fraksi Partai Hijau di Bundestag.
Ekspor Leopard 2 ke Indonesia menjadi sumber kontroversi di Jerman lantaran sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diduga dilakukan militer Indonesia (TNI). Sejumlah anggota parlemen mengkhawatirkan, tank-tank tersebut akan dipakai untuk memberantas pemberontakan di Papua. "Kalau pemerintah Jerman ingin mematuhi komitmennya, maka mereka harus menolak ekspor senjata ke Indonesia, " tambah Keul.
Politikus Partai Hijau itu juga menekankan, Jerman tidak dapat mengekspor senjata kepada negara ketiga di luar anggota NATO dan Uni Eropa, selama tidak ada alasan strategis. "Aturan pengecualian seperti itu tidak berlaku dalam kasus ini," katanya.
Kekhawatiran tersebut sempat ditampik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat kunjungan Merkel juli lalu. Yudhoyono dalam sebuah jumpa pers menegaskan, senjata yang akan dibeli "tidak akan kami gunakan untuk menembaki rakyat kami." Menurut Yudhoyono, Indonesia sudah tidak meremajakan sistem alutistanya sejak 20 tahun terakhir, "kami berhak membangun kekuatan pertahanan minimal," tukasnya.(rzn//dpad/afpd)
Namanya juga menumpas pemberontak, emang di Negeri si merkel itu kalo ada yang mau memberontak Di diemin aja .... Moron!!!
BalasHapus