Awas, Rezim Otoriter Kembali Hidup
Saat ini Indonesia sedang memasuki titik balik dari era reformasi ke era keamanan, yang dibungkus lewat legislasi.
Para pemohon uji materiil Undang Undang (UU) Intelijen Negara mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan mereka. Putusan MK ini dinilai sama saja dengan mengembalikan Indonesia ke era rezim otoriter.
"Saya ucapkan selamat datang otoritarianisme, karena berarti kebijakan negara masa lalu yang opresif dan otoriter bisa kembali," kata Wahyudi Djafar, Kuasa Hukum Pemohon dari Elsams, usai putusan, di gedung MK, Jakarta, Rabu (10/10).
Wahyudi menilai ada sejumlah dalil dalam putusan MK yang bertentangan dengan putusan MK di uji materi UU lainnya. Misalnya soal penyadapan, MK menilai hak penyadapan intelijen adalah bagian dari "hak berkomunikasi dan memperoleh informasi" seperti diatur di pasal 28 UUD 1945.
"Tampaknya MK lupa putusan di uji materi UU ITE, bahwa MK ingin satu UU khusus tentang penyadapan, yang sejalan dengan pendapat kita bahwa penyadapan menyangkut pelanggaran hak privasi. Saya lihat ada pendapat MK yang kontradiktif satu dengan yang lain," papar Wahyudi.
Menurut Wahyudi, MK seharusnya sadar kalau UU Intelijen, dalam rezim demokrasi sekali pun, akan sangat rentan untuk disalahgunakan. "Lebih jauh, ini bisa menjadi legitimasi keluarnya UU senada yakni UU Kamnas dan UU Ormas," kata dia.
Ditegaskan Wahyudi, pihaknya takkan diam dengan putusan MK tersebut, dan sedang mempertimbangkan mengajukan ulang uji materi UU Intelijen, khususnya soal penyadapan. Koordinator Kontras, Haris Azhar, menambahkan saat ini Indonesia sedang memasuki titik balik dari era reformasi ke era keamanan, yang dibungkus lewat legislasi dengan merujuk kepada UU Intelijen Negara, RUU Kamnas, dan RUU Ormas.
"Hari-hari ini kita memang mulai disuguhi oleh legislasi yang intinya memberikan berbagai peran dan wewenang pada institusi yang potensial merepresi masyarakat sipil, seperti ketiga aturan itu," kritik Haris.
Para pemohon uji materiil Undang Undang (UU) Intelijen Negara mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan mereka. Putusan MK ini dinilai sama saja dengan mengembalikan Indonesia ke era rezim otoriter.
"Saya ucapkan selamat datang otoritarianisme, karena berarti kebijakan negara masa lalu yang opresif dan otoriter bisa kembali," kata Wahyudi Djafar, Kuasa Hukum Pemohon dari Elsams, usai putusan, di gedung MK, Jakarta, Rabu (10/10).
Wahyudi menilai ada sejumlah dalil dalam putusan MK yang bertentangan dengan putusan MK di uji materi UU lainnya. Misalnya soal penyadapan, MK menilai hak penyadapan intelijen adalah bagian dari "hak berkomunikasi dan memperoleh informasi" seperti diatur di pasal 28 UUD 1945.
"Tampaknya MK lupa putusan di uji materi UU ITE, bahwa MK ingin satu UU khusus tentang penyadapan, yang sejalan dengan pendapat kita bahwa penyadapan menyangkut pelanggaran hak privasi. Saya lihat ada pendapat MK yang kontradiktif satu dengan yang lain," papar Wahyudi.
Menurut Wahyudi, MK seharusnya sadar kalau UU Intelijen, dalam rezim demokrasi sekali pun, akan sangat rentan untuk disalahgunakan. "Lebih jauh, ini bisa menjadi legitimasi keluarnya UU senada yakni UU Kamnas dan UU Ormas," kata dia.
Ditegaskan Wahyudi, pihaknya takkan diam dengan putusan MK tersebut, dan sedang mempertimbangkan mengajukan ulang uji materi UU Intelijen, khususnya soal penyadapan. Koordinator Kontras, Haris Azhar, menambahkan saat ini Indonesia sedang memasuki titik balik dari era reformasi ke era keamanan, yang dibungkus lewat legislasi dengan merujuk kepada UU Intelijen Negara, RUU Kamnas, dan RUU Ormas.
"Hari-hari ini kita memang mulai disuguhi oleh legislasi yang intinya memberikan berbagai peran dan wewenang pada institusi yang potensial merepresi masyarakat sipil, seperti ketiga aturan itu," kritik Haris.
UU Intelijen Diklaim Mendewasakan Demokrasi
Sebaliknya, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan (Dirjen Strahan) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Mayjen Puguh Santoso mengatakan putusan MK tentang UU Intelijen akan mendewasakan demokrasi Indonesia.
"Tentunya juga mendewasakan intelijen sendiri, karena intelijen akan dituntut profesional melaksanakan tugas-tugasnya," kata Puguh, yang ikut hadir dalam pembacaan putusan di gedung MK, kemarin.
Puguh menegaskan UU Intelijen Negara bukanlah sesuatu yang didesain demi kepentingan rezim berkuasa, tetapi demi kepentingan bangsa dan rakyat. Kondisi demikian, lanjut dia, mewajibkan intelijen sebagai alat negara mampu bekerja profesional.
Ditambahkan Puguh, apabila ada masalah dan penyalahgunaan, yang bersalah adalah pemegang kebijakan politik yang bisa menggerakkan intelijen sebagai aparat negara.
"Kalau ada pro-kontra, itu wajar dalam demokrasi. Itulah perlunya kontrol publik. Kita hanya berharap jangan terjebak dengan sesuatu yang mengajak tak baik," tandas Puguh.
Kemarin, MK menolak uji materi UU Intelijen Negara yang diajukan sejumlah aktivis HAM, organisasi kewartawanan, dan 18 warga negara yang mengaku sebagai korban operasi intelijen negara di masa Orde Baru (Orba) pada 5 Januari 2012. Mereka adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Elsam, Imparsial, Setara Institute, dan YLBHI.
UU Intelijen, Kamnas, Ormas Berpotensi Matikan Kebebasan Sipil
Aktivis hak
asasi manusia (HAM) Usman Hamid, menyatakan keberadaan beberapa UU
sangat problematis karena berpotensi mempersempit, dan bahkan mematikan
kebebasan sipil.
mantan kordinator KontraS, Usman Hamid |
Yang dimaksud Usman adalah UU Intelijen Negara, dan dua rancangan
undang-undang (RUU) lainnya RUU Keamanan Nasional (Kamnas) dan RUU
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
"Inilah yang disebut sebagai draconian law," kata Usman di Jakarta, Rabu (10/10).
Menurut Usman, satu UU dan dua RUU itu akan menekan potensi lahirnya kekuatan rakyat. Padahal ini sangat diperlukan untuk mengontrol praktik korupsi politik yang masif.
"Kalau kekuasaan dimonopoli kembali lewat RUU Kamnas, pengaturan kebebasan berorganisasi diperketat lewat RUU Ormas, dan pengawasan dipertinggi lewat UU Intelijen, maka pastilah potensial menjadi ancaman bagi setiap aktivisme sipil," tegas Usman.
Ancaman itu termasuk terhadap aktivisme digital yang belakangan semakin kuat, seperti gerakan 'Save KPK' yang terbaru.
"Gerakan masif seperti ini meresahkan setiap kekuasaan yang korup," tukasnya.
Menurut Usman, satu UU dan dua RUU itu akan menekan potensi lahirnya kekuatan rakyat. Padahal ini sangat diperlukan untuk mengontrol praktik korupsi politik yang masif.
"Kalau kekuasaan dimonopoli kembali lewat RUU Kamnas, pengaturan kebebasan berorganisasi diperketat lewat RUU Ormas, dan pengawasan dipertinggi lewat UU Intelijen, maka pastilah potensial menjadi ancaman bagi setiap aktivisme sipil," tegas Usman.
Ancaman itu termasuk terhadap aktivisme digital yang belakangan semakin kuat, seperti gerakan 'Save KPK' yang terbaru.
"Gerakan masif seperti ini meresahkan setiap kekuasaan yang korup," tukasnya.
MK Tolak Pengujian Sejumlah Pasal UU Intelijen
Tiga pokok permohonan yang diajukan dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU 17/2011 tentang Intelijen Negara.
Pada pembacaan keputusan perkara di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), di
Jakarta, hari ini, Ketua MK Mahfud MD mengatakan, pihaknya menilai tiga
pokok permohonan yang diajukan tidak beralasan menurut hukum.
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata
Mahfud MD.
Secara detil dipaparkan, dalam pertimbangannya penolakan tersebut, MK membagi menjadi tiga hal pokok mengenai peran-fungsi-wewenang intelijen, rahasia intelijen, dan isu kelembagaan intelijen. Misalnya, soal peran-fungsi-wewenang intelijen, MK menilai keinginan pemohon agar definisi ancaman dijelaskan secara rigid, justru akan membatasi ruang gerak intelijen.
Soal pihak yang bisa mengancam keamanan nasional, MK berpendapat tidak bisa lagi bersandar pada definisi lama di mana pihak lawan hanyalah pihak luar.
"Akan tetapi bisa memiliki lingkup jaringan internasional di mana rongrongan itu justru datang dari dalam negeri," demikian bunyi dalam dokumen putusan MK.
Soal batas kewenangan intelijen, MK juga berpendapat tidak ada masalah, karena UU secara tegas memisahkan tugas pengumpulan informasi oleh intelijen dan tugas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum.
Sedangkan soal rahasia intelijen, MK menilai bahwa permohonan para pemohon lebih merupakan legislative review dibanding judicial review. Kalaupun logika pemohon diikuti, MK menilai aturan yang ada di UU sekarang tak bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Soal kelembagaan intelijen, MK menilai bahwa setiap personil intelijen adalah profesi yang unik, dengan kerahasiaan dan ketertutupan merupakan asas-asas dan sifat yang melekat. Karenanya, mekanisme perekrutan juga harus khusus sesuai yang diatur di UU. MK juga menemukan tak ada batasan di UU bagi publik untuk mengikuti mekanisme rekrutmen yang diselenggarakan BIN.
Adapun soal kewenangan kelembagaan BIN yang dinilai terlalu besar dan kuat, MK juga memandang hal itu tak sepenuhnya benar, karena lembaga itu masih diawasi oleh DPR yang merupakan wakil rakyat.
"Berdasarkan seluruh pertimbangan itu, dalil-dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum dan tidak bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua MK, Mahfud MD, saat sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (10/10).
Secara detil dipaparkan, dalam pertimbangannya penolakan tersebut, MK membagi menjadi tiga hal pokok mengenai peran-fungsi-wewenang intelijen, rahasia intelijen, dan isu kelembagaan intelijen. Misalnya, soal peran-fungsi-wewenang intelijen, MK menilai keinginan pemohon agar definisi ancaman dijelaskan secara rigid, justru akan membatasi ruang gerak intelijen.
Soal pihak yang bisa mengancam keamanan nasional, MK berpendapat tidak bisa lagi bersandar pada definisi lama di mana pihak lawan hanyalah pihak luar.
"Akan tetapi bisa memiliki lingkup jaringan internasional di mana rongrongan itu justru datang dari dalam negeri," demikian bunyi dalam dokumen putusan MK.
Soal batas kewenangan intelijen, MK juga berpendapat tidak ada masalah, karena UU secara tegas memisahkan tugas pengumpulan informasi oleh intelijen dan tugas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum.
Sedangkan soal rahasia intelijen, MK menilai bahwa permohonan para pemohon lebih merupakan legislative review dibanding judicial review. Kalaupun logika pemohon diikuti, MK menilai aturan yang ada di UU sekarang tak bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Soal kelembagaan intelijen, MK menilai bahwa setiap personil intelijen adalah profesi yang unik, dengan kerahasiaan dan ketertutupan merupakan asas-asas dan sifat yang melekat. Karenanya, mekanisme perekrutan juga harus khusus sesuai yang diatur di UU. MK juga menemukan tak ada batasan di UU bagi publik untuk mengikuti mekanisme rekrutmen yang diselenggarakan BIN.
Adapun soal kewenangan kelembagaan BIN yang dinilai terlalu besar dan kuat, MK juga memandang hal itu tak sepenuhnya benar, karena lembaga itu masih diawasi oleh DPR yang merupakan wakil rakyat.
"Berdasarkan seluruh pertimbangan itu, dalil-dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum dan tidak bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua MK, Mahfud MD, saat sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (10/10).
Aturan yang mengancam
Undang-undang tersebut dinilai oleh para pemohon uji materi bermasalah dalam hal mengancam kebebasan hak-hak sipil, perlindungan HAM, dan kebebasan pers.
Uji materi UU intelijen didaftarkan oleh sejumlah LSM yang bergerak di bidang HAM dan warga negara yang mengaku sebagai korban operasi intelijen negara di masa Orde Baru (Orba) pada 5 Januari 2012. UU tersebut disahkan oleh DPR sejak Oktober 2011.
Para pemohon uji materi UU Intelijen adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Elsam, Imparsial, Setara Institute, YLBHI, dan sejumlah warga negara yang berjumlah 18 orang. Para pemohon menguji 16 pasal dalam UU Intelijen.
Norma yang diuji yaitu Pasal 1 ayat (4), (6), (8); Pasal 6 ayat (3); Pasal 22 ayat (1); Pasal 25 ayat (2), (4); Pasal 26; Pasal 29 huruf d; Pasal 31; Pasal 34; penjelasan Pasal 32 ayat (1); Pasal 36; Pasal 44; dan Pasal 45. Beberapa pasal yang diuji materi antara lain Pasal 1 Ayat (4) dan (8), Pasal 4, dan Pasal 6 Ayat (3) karena dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan dalam UU Intelijen Negara dinilai melahirkan definisi karet mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan. Sehingga, aturan ini menurut para pemohon mudah disalahgunakan penyelenggara intelijen negara ataupun kepentingan kekuasaan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga negara ataupun kelompok yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.
Pasal lainnya, yaitu Pasal 22 Ayat (1), melahirkan dualisme komando personel intelijen ketika harus dilakukan proses hukum yang sifatnya pertanggungjawaban pidana bagi personel intelijen yang dianggap melanggar hukum dan HAM. Mereka menilai pasal-pasal itu mengancam kebebasan hak-hak sipil, perlindungan HAM, dan kebebasan pers.
Sejumlah pasal itu materinya tak sejalan dengan HAM dan konstitusi yang potensial merugikan hak-hak konstitusional warga negara. Para pemohon meminta agar pasal-pasal itu dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945.
Komisi I DPR Puji MK Tolak Uji Materiil UU Intelijen
Ketua Komisi
I DPR Mahfudz Siddiq menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang menolak uji materiil Undang-Undang (UU) Intelijen Negara.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik |
Pasalnya, pembuatan UU itu dianggap sudah komprehensif dan mengakomodasi semua kalangan sipil.
"Proses penyusunan UU itu hampir hampir semua LSM kami undang. Tentu
saja karena pembahasan ini melibakan mereka jadi semua keinginan sipil
kita penuhi, kita jaga," kata Mahfudz di gedung Parlemen, Senayan,
Kamis (11/10).
"Saya menyambut baik putusan MK komisi I terbuka terhadap siapapun," kata dia lagi.
Dari awal, kata dia, Komisi I tidak mendesain adanya penghalangan akses terhadap publik dan pers karena dibuat justru cenderung untuk pengawasan intelijen.
Kemarin, MK menolak pengajuan uji materiil yang dibawa sejumlah kelompok masyarakat dan LSM ke lembaga tersebut. Majelis hakim konstitusi menyatakan dalil-dalil yang diajukan para pemohon tidak cukup kuat dan RUU Intelijen Negara sudah sesuai dengan prinsip negara hukum, jaminan, dan pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum.
Uji materiil itu diajukan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Masyarakat Setara, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Para pemohon mengajukan uji materiil antara lain soal fungsi dan kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN).
"Saya menyambut baik putusan MK komisi I terbuka terhadap siapapun," kata dia lagi.
Dari awal, kata dia, Komisi I tidak mendesain adanya penghalangan akses terhadap publik dan pers karena dibuat justru cenderung untuk pengawasan intelijen.
Kemarin, MK menolak pengajuan uji materiil yang dibawa sejumlah kelompok masyarakat dan LSM ke lembaga tersebut. Majelis hakim konstitusi menyatakan dalil-dalil yang diajukan para pemohon tidak cukup kuat dan RUU Intelijen Negara sudah sesuai dengan prinsip negara hukum, jaminan, dan pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum.
Uji materiil itu diajukan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Masyarakat Setara, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Para pemohon mengajukan uji materiil antara lain soal fungsi dan kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.