Guru Besar
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Farouk Muhammad menilai maraknya
teror yang terjadi belakangan ini di sejumlah daerah, disebabkan dunia
intelijen nasional masih merupakan produk lama.
"Kemampuan intelijen kita baik kualitas maupun kuantitas masih bentukan intelijen lama, produk lama. Walaupun ada pendidikan baru tetapi pendekatan dan sosialisasinya cara lama, sementara ancaman sudah canggih di mana kuantitas kecil tapi kualitas tinggi," kata Farouk di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan karena cara-cara yang digunakan intelijen nasional tidak berkembang, akibatnya timbul pertanyaan atas kemampuan lembaga tersebut dalam mencegah munculnya teror di sejumlah tempat.
Menurut dia, dunia intelijen seharusnya mampu bertindak cepat, dan bersifat lintas negara dengan menggunakan teknologi informasi tinggi.
Dia mengharapkan pemerintah dapat mengkaji kembali sistem intelijen nasional, sebab menurut dia, pendekatan yang dilakukan intelijen saat ini tidak lepas dari intelijen bentukan orde baru.
"Sekarang dunia intelijen harus lebih banyak membuka jaringan. Di mana Polisi Masyarakat atau Polmas harus ditingkatkan perannya, agar pendekatannya dari tingkat bawah dulu baru ke atas," ujar dia.
Farouk menjelaskan bahwa Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa pernah menawarkan bantuan untuk mengantisipasi teror di Indonesia. Namun pada saat itu, Farouk mengatakan bahwa bantuan itu tidak akan berarti apa pun jika masih dilakukan dengan pendekatan represif.
"Ketika bantuan Amerika Serikat dan Uni Eropa diterapkan di sini, saya sudah bilang tidak bisa kalau masih fokus ke tindakan represif, contohnya Densus 88, itu wujud kemampuan represif. Kalau mau mereka bisa bantu pengembangan Polmas, jadi dari tingkat paling bawah dulu," tuturnya.
"Kemampuan intelijen kita baik kualitas maupun kuantitas masih bentukan intelijen lama, produk lama. Walaupun ada pendidikan baru tetapi pendekatan dan sosialisasinya cara lama, sementara ancaman sudah canggih di mana kuantitas kecil tapi kualitas tinggi," kata Farouk di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan karena cara-cara yang digunakan intelijen nasional tidak berkembang, akibatnya timbul pertanyaan atas kemampuan lembaga tersebut dalam mencegah munculnya teror di sejumlah tempat.
Menurut dia, dunia intelijen seharusnya mampu bertindak cepat, dan bersifat lintas negara dengan menggunakan teknologi informasi tinggi.
Dia mengharapkan pemerintah dapat mengkaji kembali sistem intelijen nasional, sebab menurut dia, pendekatan yang dilakukan intelijen saat ini tidak lepas dari intelijen bentukan orde baru.
"Sekarang dunia intelijen harus lebih banyak membuka jaringan. Di mana Polisi Masyarakat atau Polmas harus ditingkatkan perannya, agar pendekatannya dari tingkat bawah dulu baru ke atas," ujar dia.
Farouk menjelaskan bahwa Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa pernah menawarkan bantuan untuk mengantisipasi teror di Indonesia. Namun pada saat itu, Farouk mengatakan bahwa bantuan itu tidak akan berarti apa pun jika masih dilakukan dengan pendekatan represif.
"Ketika bantuan Amerika Serikat dan Uni Eropa diterapkan di sini, saya sudah bilang tidak bisa kalau masih fokus ke tindakan represif, contohnya Densus 88, itu wujud kemampuan represif. Kalau mau mereka bisa bantu pengembangan Polmas, jadi dari tingkat paling bawah dulu," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.