Jakarta | Pasukan khusus terdiri dari personel polisi dan TNI harus dibentuk khusus menangani konflik komunal.
Pembentukan pasukan khusus sebagai jalan tengah meredam gejolak masyarakat dalam memahami penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri.
“Saya bermimpi, kenapa kita tak membuat pasukan khusus untuk penanganan konflik. Pasukan itu terdiri dari personel Polisi dan TNI. Semacam pasukan gabungan,” kata sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo dalam diskusi bersama Gubernur Lemhanas Budi Susilo Soepandji di Kantor Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, Kamis (7/2).
Pembentukan pasukan khusus, tambah Imam, juga bisa melerai debat kusir mengenai perlu atau tidaknya TNI diturunkan dalam menangani konflik. “Karena berkali-kali terjadi berantem antara tentara dan polisi. Bahkan di kalangan polisi sendiri, saat terjadi konflik agama di Ambon, justru terjadi konflik,” jelasnya.
Imam melihat, justru yang akan menjadi persoalan dari pembentukan pasukan khusus ini adalah, apakah polisi mau berbagi anggaran. “Untuk persoalan anggaran ini, akan susah lagi,” ujar dia.
Imam juga menyarankan, secara bertahap porsi fungsi represif dari polisi dan TNI dikurangi dan dialihkan ke fungsi preventif. Menurutnya, polisi dan TNI justru harus menjadi negosiator atau mediator dalam menangani konflik. “Mayoritas warga kan bukan penjahat, masa aparat kita lebih mengedepankan pendekatan represif,” ujar dia.
Saat ini peran-peran bimas di kepolisian maupun babinsa di TNI justru identik dengan peran-peran buangan. Ditambah, kata Imam, anggaran untuk preventif justru sangat sedikit. Jenjang karir dan prestise juga cenderung condong memihak anggota-anggota yang ada di korps represif seperti Densus 88 dan Brimob. “Dari sudut kepangkatan, mereka cepat naik,” ujarnya.
JALAN MENUJU UU KAMNAS
Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji mengatakan penerbitan Inpres merupakan jalan tengah untuk mengatasi konflik yang semakin kompleks. “Karena RUU Keamanan Nasional (Kamnas) hingga akhir 2012 masih buntu, sedangkan kebutuhan penyelesaian konflik komunal sangat mendesak, maka Inpres dikeluarkan,” kata Budi.
Dia menambahkan, Inpres dibutuhkan untuk bisa memudahkan perbantuan TNI ke Polri. Inpres juga dikeluarkan untuk optimalisasi peran Polri dan TNI agar selalu berdampingan meredam konflik.
Budi melihat, penerbitan Inpres merupakan upaya agar rakyat di daerah konflik bisa diselamatkan.
“Selain itu, penggunaan TNI yang menggunakan anggaran negara juga bisa optimal. Jadi, bukan dalam konteks melanggar HAM atau menghilangkan demokrasi, tapi untuk menjaga keutuhan bangsa. Maka TNI perlu diberdayakan,” jelasnya.
Budi menjelaskan, pembahasan mengenai RUU Kamnas memang masih buntu. Bahkan, dalam diskusi yang digelar Lemhannas sendiri, banyak penanggap yang masih khawatir UU ini akan membangkitkan kekuatan kekuatan TNI yang bisa melanggar HAM.
Namun demikian, Lemhannas mengkaji, dalam konteks keamanan yang lebih luas, UU Kamnas diperlukan untuk mengiptimalkan peran TNI dan Polri. “Agar kedua aparat keamanan itu tak berjalan sendiri-sendiri dan justru merugikan masyarakat,” katanya.
Keberadaan UU Kamnas, lanjutnya, karena Indonesia adalah negara demokratis sehingga dibutuhkan aparat keamanan yang senantiasa bertindak dalam koridor hak demokrasi dan Pancasila.
“Lagipula kondisi saat ini sudah jauh berbeda. TNI sudah berkomitmen tak mau berpolitik. Mereka juga menegaskan hanya mau diberdayakan sebagai kekuatan pertahanan,” kata mantan direktur jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan, ini.((aby/d))
● Poskota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.