Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual.
Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.
Kuda Troya Ke Presiden Soekarno, Kuda Troya Ke Daerah Bergolak
Pimpinan TNI-AD merasa bangga SSKAD telah tumbuh sebagai pusat studi yang bernilai tinggi dan berhasil. Pencapaian SSKAD itu tentunya tidak terlepas dari keseriusan para penyelenggaranya sejak awal. Sejak dari tahap penerimaan siswa, seleksi secara ketet sudah diterapkan, dan diupayakan seobyektif mungkin. Tidak semua yang mendaftar bisa lolos, meskipun sudah senior dan berpangkat tinggi. Begitu juga dalam proses penggemblengan, para pengajar betul-betul instruktur pilihan dan jempolan, bukan karena faktor jabatan saja. Demikian pula ditahap akhir, tidak semua peserta yang ikut lulus, biarpun pesertanya dalam satu-satu angkatan hanya sedikit. Angkatan saya selesai sekitar bulan September 1953. Acara penamatan dihadiri KSAD Mayjen Bambang Sugeng di Bandung.
Kepala Litbang Infanteri & Sekertaris Kelompok Bandung
Selesai
SSKAD saya ditempatkan di Inspektorat Infanteri AD di Bandung, dengan
pangkat sudah naik Letnan Kolonel – masa itu masih biasa disebut
Overste. Saya menjabat Kepala Seksi 1 membidangi Penelitian dan
Pengembangan. Teman-teman bilang, Inspektur Infanteri Kolonel Sukanda
Bratamanggala sendiri yang sejak jauh-jauh hari sudah “memesan” agar
saya setelah selesai akan dia pakai.
Di Bandung saya sangat menikmati pekerjaan saya ini, sebagai peneliti dan perencana strategis untuk pengembangan Infanteri. Dalam keadaan ini, saya teringat Alm. Adolf Lembong yang bersama-sama saya dulu membangun Pusat Pendidikan AD. Sayang kepintaran dan keintelektualannya tidak lama terpakai di TNI beliau keburu gugur oleh peristiwa APRA.
Mengangkat Kesatuan Komando Siliwangi Jadi Andalan TNI
Di Bandung saya sangat menikmati pekerjaan saya ini, sebagai peneliti dan perencana strategis untuk pengembangan Infanteri. Dalam keadaan ini, saya teringat Alm. Adolf Lembong yang bersama-sama saya dulu membangun Pusat Pendidikan AD. Sayang kepintaran dan keintelektualannya tidak lama terpakai di TNI beliau keburu gugur oleh peristiwa APRA.
Mengangkat Kesatuan Komando Siliwangi Jadi Andalan TNI
Sewaktu
baru berdinas di Inspektorat Infanteri, dalam sebuah pertemuan dengan
Panglima Siliwangi, Kolonel AE. Kawilarang di Bandung, ia bercerita
tentang pasukan istimewa yang yang ia dirikan. Katanya, pelatihan
pasukan baru itu mencapai hasil yang sangat baik. Saya diajak untuk
melihat langsung di Batujajar. Sebetulnya, saya sudah mendengar tentang
pasukan yang dinamai Kesatuan Komando TT-III atau Kesko Siliwangi itu.
Beberapa pelatihnya juga dari kami, orang-orang Pusat Infanteri di
Cimahi. Kesko Siliwangi dengan cepat sudah menjadi buah bibir karena
kabarnya mereka memang luar biasa. Juga sudah dibuktikan dalam beberapa
kali operasi penumpasan gerombolan DI/TII di Jawa Barat. Pasukan Komando
itu memang sepenuhnya ide Bung Lex. Sewaktu memegang Sumatera Utara pun
dia pernah buat pasukan serupa, tapi belum maju seperti sekarang ini.
“Jalan-jalanlah ke Batujajar, Ven..lihat sendiri,” kata Bung Lex sampai beberapa kali.
Waktu saya datang ke Batujajar, melihat dari dekat latihan mereka, saya terkagum-kagum luar biasa. Sungguh lebih dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Mereka begitu tangkas, bergerak amat cepat dalam formasi-formasi yang sangat tersusun dan terlatih. Sehingga saya jadi berpikir “lain”. Ini toh bidang dinas saya, sebagai kepala bidang pengembangan, menyangkut pendidikan latihan personil TNI-AD. Maka spontan saya bilang,
“Bagaimana kalau ini saya ambil?” Artinya, bukan hanya dalam jajaran Siliwangi saja tetapi Pasukan Komando ini menjadi milik AD, menjadi milik nasional.
Tak disangka-sangka, Bung Lex langsung menjawab,
“Ya! Silahkan Ven.”
Padahal saya bicara tadi hanya spontanitas saking kagumnya. Saya pun tidak merasa bersalah untuk bicara spontan seperti itu, karena hubungan saya dengan Kawilarang sudah sedemikian rupa akrabnya, seolah-olah sudah tidak ada lagi hubungan hirarki kedinasan.
Ternyata sejak awalnya Kawilarang memang mengidamkan pasukan elit yang ia rintis menjadi besar. Menjadi 1 Resimen. Maka dia berharap, dengan diangkatnya pasukan komando ini menjadi berskala nation wide, langsung dibawah MBAD, akan lebih cepat menjadi besar. Sebagai seorang pejuang, ia sangat senang kalau keseluruhan TNI menjadi kuat.
Proses ini dengan cepat saya urus ke Pak Sukanda, saya presentasikan rencana saya ini ke SUAD. KSAD Mayjen Bambang Sugeng sangat mendukung, langsung buat surat resmi untuk Panglima Siliwangi. Kemudian, Kesko Siliwangi segera berubah nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD), tapi markasnya tetap di Batujajar. Tugas saya selanjutnya ialah mempromosikan KKAD ke daerah-daerah untuk mendapatkan calon-calon prajurit komando yang terbaik, karena segera akan dimekarkan menjadi 1 Resimen.
Saya berkeliling semua Teritorium. Dari TT-I Bukit barisan hingga TT-VII Wirabuana Indonesia Timur. Saya promosikan, saya tekankan setiap Panglima TT harus mendukung, saya jelaskan syarat-syaratnya untuk jadi anggota pasukan komando ini. Untuk tujuan promosi, saya selalu memutar film dokumentari berisi kegiatan latihan dan simulasi operasi pasukan yang sudah ada di Batujajar. Saya kemana-mana bersama Kapten Supardjo Rustam yang meneteng peralatan film dokumentari kami. (Letjen Supardjo Rustam, mantan ajudan Pangsar Sudirman pada masa clash fisik, pernah menjabat Menteri Dalam Negeri RI 1983-1988)
“Jalan-jalanlah ke Batujajar, Ven..lihat sendiri,” kata Bung Lex sampai beberapa kali.
Waktu saya datang ke Batujajar, melihat dari dekat latihan mereka, saya terkagum-kagum luar biasa. Sungguh lebih dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Mereka begitu tangkas, bergerak amat cepat dalam formasi-formasi yang sangat tersusun dan terlatih. Sehingga saya jadi berpikir “lain”. Ini toh bidang dinas saya, sebagai kepala bidang pengembangan, menyangkut pendidikan latihan personil TNI-AD. Maka spontan saya bilang,
“Bagaimana kalau ini saya ambil?” Artinya, bukan hanya dalam jajaran Siliwangi saja tetapi Pasukan Komando ini menjadi milik AD, menjadi milik nasional.
Tak disangka-sangka, Bung Lex langsung menjawab,
“Ya! Silahkan Ven.”
Padahal saya bicara tadi hanya spontanitas saking kagumnya. Saya pun tidak merasa bersalah untuk bicara spontan seperti itu, karena hubungan saya dengan Kawilarang sudah sedemikian rupa akrabnya, seolah-olah sudah tidak ada lagi hubungan hirarki kedinasan.
Ternyata sejak awalnya Kawilarang memang mengidamkan pasukan elit yang ia rintis menjadi besar. Menjadi 1 Resimen. Maka dia berharap, dengan diangkatnya pasukan komando ini menjadi berskala nation wide, langsung dibawah MBAD, akan lebih cepat menjadi besar. Sebagai seorang pejuang, ia sangat senang kalau keseluruhan TNI menjadi kuat.
Proses ini dengan cepat saya urus ke Pak Sukanda, saya presentasikan rencana saya ini ke SUAD. KSAD Mayjen Bambang Sugeng sangat mendukung, langsung buat surat resmi untuk Panglima Siliwangi. Kemudian, Kesko Siliwangi segera berubah nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD), tapi markasnya tetap di Batujajar. Tugas saya selanjutnya ialah mempromosikan KKAD ke daerah-daerah untuk mendapatkan calon-calon prajurit komando yang terbaik, karena segera akan dimekarkan menjadi 1 Resimen.
Saya berkeliling semua Teritorium. Dari TT-I Bukit barisan hingga TT-VII Wirabuana Indonesia Timur. Saya promosikan, saya tekankan setiap Panglima TT harus mendukung, saya jelaskan syarat-syaratnya untuk jadi anggota pasukan komando ini. Untuk tujuan promosi, saya selalu memutar film dokumentari berisi kegiatan latihan dan simulasi operasi pasukan yang sudah ada di Batujajar. Saya kemana-mana bersama Kapten Supardjo Rustam yang meneteng peralatan film dokumentari kami. (Letjen Supardjo Rustam, mantan ajudan Pangsar Sudirman pada masa clash fisik, pernah menjabat Menteri Dalam Negeri RI 1983-1988)
Ajudan Presiden Dengan Misi Istimewa
Sejak bulan-bulan akhir 1955 sangat kentara Presiden Soekarno sudah mulai condong kekiri. Makin lama kecondongan Soekarno makin ekstrim dengan merangkul PKI masuk kedalam pemerintahan. Satu lagi bom waktu yang siap meledak. Bagi kebanyakan pimpinan TNI, PKI memang sudah secara apriori dipandang sebagai bahaya besar. Karena pengalaman, PKI nyata-nyata menikam teman seperjuangan pada Pemberokan PKI Madiun 1948. Didahului dengan program pemerintah yang dikendalikan PKI, berupa Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) yang menjadi pangkal terpecah-belahnya tentara.
Melihat gelagat Soekarno yang seperti ini, kami yang sudah tergabung dalam Kelompok Bandung menyimpulkannya sebagai ancaman serius bagi bangsa dan negara. Dalam setiap pertemuan, Kolonel Sukanda Bratamanggala, Kolonel Askari, Kolonel Suryosurarso, Kolonel GPH. Djatikusumo, dan saya, sepak terjang politik Soekarno selalu menjadi topik utama kami.
Akhirnya Kelompok Bandung menyimpulkan solusi : menempatkan saya untuk mengendalikan Soekarno dari “dalam”. Menjadi orang yang harus dekat secara pribadi sehari-hari, inner-link. Menjadi Ajudan Presiden Soekarno.
“Ventje sudah yang paling cocok untuk misi kita ini,” kata Pak Sukanda pada saat kami sedang berdua di kantor, maksud kata-katanya adalah untuk menguatkan saya.
Dijelaskan pula, tugas khusus ini hanya bisa dijalankan oleh orang-orang yang teguh, tidak gampang hanyut oleh retorika-retorika Soekarno, serta mengerti soal ide-ide politik. Saya diharapkan berfungsi mirip Kuda Troya. Bisa masuk kedalam lingkaran dalam pihak lawan, karena tidak dilihat sebagai ancaman.
Usul Kelompok Bandung segera ditersukan ke MBAD, dan KSAD Nasution langsung menyetujuinya. Kami mendengar Presiden Soekarno juga sangat antusias menyetujui pengalihan saya menjadi Ajudan Presiden, dan ketika ternyata tidak terealisasi, saya tidak pernah tahu apa sebabnya.
Sudah Lulus ke Fort Leavenworth USA, Tapi........
Dalam
bulan-bulan awal 1956, berlangsung seleksi perwira-perwira yang hendak
tugas belajar ke AS, untuk masuk ke Command and General Staff College di
Leavenworth, Kansas. Saya juga ikut seleksi. Setelah melalui seleksi
yang sangat ketat di adimistrasi dan syarat-syarat dasar, tersaring 50-an
perwira, selanjutnya ke 50-an orang calon ini harus mengikuti ujian
seleksi di Jakarta, hanya 1 orang yang akan terpilih.
Ujian terdiri dari 2 tahapan. Ujian lisan dan ujian dalam bentuk tanya-jawab lisan. Tahap akhir ujian lisan ini dihadapan tim penguji, KSAD Nasution, didampingi anggota tim penguji, Mokoginta, Rachmat Kartakusumah dan Cakradipura. Boleh dibilang pada masa ini, mereka berempatlah yang dipandang sebagai intelektual di jajaran TNI-AD.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Mokoginta saya jawab, dia langsung puas. Apalagi Cakradipura, dia pengajar saya di SSKAD, dan dia tahu bagaimana saya dalam penguasaan teori. Selanjutnya Kartakusumah mengajukan topik yang masih asing bagi umunya perwira kita. Tapi karena saya seorang kutu buku, dan sudah cukup akrab dengan literaturnya, saya bisa juga menjawabnya, dan dia tersenyum puas.
Tiba giliran Nasution, jadi sangat panjang. Karena bukan lagi sesi tanya jawab, tapi lebih kearah diskusi antara kami berdua. Nasution tidak lagi menggunakan menit-menit yang berlaku sebagai ujian, melainkan diskusi yang ia sendiri menikmatinya. Nasution memfokus diskusi kepada menajemen organisasi militer angkatan darat, dan justru topik itu yang sudah beberapa bulan kebelakangan ini, saya yang justru memberi masukan kepadanya di MBAD, karena memang sudah tugas saya. Ia juga membuka topik standardisasi, diskusi menjadi semakin seru. Hampir 1 jam kami berdiskusi, penguji yang lain Cuma bertindak sebagai penonton. Beberapa hari kemudian, Mokoginta bilang ke saya, “Selamat ya Tje, kamu yang terpilih”.
Terpilihnya saya dengan nilai terbaik itu mengagetkan banyak orang. Karena umumnya mereka sudah memastikan bahwa yang akan keluar sebagai juara ialah Mayor WP. Nainggolan, yang merupakan perwira dari Sumatera Utara yang cerdas luar biasa!. Kecerdasannya sudah diakui oleh banyak pimpinan AD.
Saya sangat gembira. Lalu saya mulai siap-siap untuk berangkat ke AS. Tapi......! Kemudian terjadi perubahan besar. Saya tidak jadi berangkat, melainkan diarahkan ke Makassar. Ya, ini hal “besar” dalam segala segi bagi saya. Segi positif maupun negatif. Sebagai prajurit, saya tetap menerima tugas tersebut. Saya berangkat ke Makassar untuk menjadi Panglima Indonesia Timur, dengan lebih dulu menjabat sebagai Kepala Staf untuk beberapa hari.
Saat sedang persiapan meninggalkan pekerjaan di Inspektorat Infanteri, suatu hari saya bertemu dengan Achmad Tirtosudiro. Dengan gembira ia mengatakan terima kasih ke saya. Katanya, karena saya batal ke Fort Keavenworth maka dia yang mendapat kesempatan pergi. Saya sempat bingung, tidak mengerti.
Ternyata, setelah melihat hasil ujian dimana Boyke Nainggolan tidak terpilih, MBAD menganggap itu adalah sesuatu yang sangat disayangkan, sayang kalau perwira secerdas Boyke tidak dikembangkan optimal. MBAD mengajukan permohonan ke Fort Keavenworth agar menambah ‘quota’ untuk Indonesia. US Embassy di Jakarta juga di-approach, agar ikut memperjuangkan ke pemerintahannya. Akhirnya berhasil. Yang akan berangkat, saya dan Nainggolan, peringkat 1 dan 2. Lalu karena saya batal, peringkat ke-3 naik, yaitu Achmad Tirtosudiro. Itulah mengapa dia datang berterima kasih kepada saya.
(Mayor W.P Boyke Nainggolan kemudian hari turut serta dengan kami dalam PRRI/Permesta, dan gugur tertembak oleh Tentara Pusat).
Ujian terdiri dari 2 tahapan. Ujian lisan dan ujian dalam bentuk tanya-jawab lisan. Tahap akhir ujian lisan ini dihadapan tim penguji, KSAD Nasution, didampingi anggota tim penguji, Mokoginta, Rachmat Kartakusumah dan Cakradipura. Boleh dibilang pada masa ini, mereka berempatlah yang dipandang sebagai intelektual di jajaran TNI-AD.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Mokoginta saya jawab, dia langsung puas. Apalagi Cakradipura, dia pengajar saya di SSKAD, dan dia tahu bagaimana saya dalam penguasaan teori. Selanjutnya Kartakusumah mengajukan topik yang masih asing bagi umunya perwira kita. Tapi karena saya seorang kutu buku, dan sudah cukup akrab dengan literaturnya, saya bisa juga menjawabnya, dan dia tersenyum puas.
Tiba giliran Nasution, jadi sangat panjang. Karena bukan lagi sesi tanya jawab, tapi lebih kearah diskusi antara kami berdua. Nasution tidak lagi menggunakan menit-menit yang berlaku sebagai ujian, melainkan diskusi yang ia sendiri menikmatinya. Nasution memfokus diskusi kepada menajemen organisasi militer angkatan darat, dan justru topik itu yang sudah beberapa bulan kebelakangan ini, saya yang justru memberi masukan kepadanya di MBAD, karena memang sudah tugas saya. Ia juga membuka topik standardisasi, diskusi menjadi semakin seru. Hampir 1 jam kami berdiskusi, penguji yang lain Cuma bertindak sebagai penonton. Beberapa hari kemudian, Mokoginta bilang ke saya, “Selamat ya Tje, kamu yang terpilih”.
Terpilihnya saya dengan nilai terbaik itu mengagetkan banyak orang. Karena umumnya mereka sudah memastikan bahwa yang akan keluar sebagai juara ialah Mayor WP. Nainggolan, yang merupakan perwira dari Sumatera Utara yang cerdas luar biasa!. Kecerdasannya sudah diakui oleh banyak pimpinan AD.
Saya sangat gembira. Lalu saya mulai siap-siap untuk berangkat ke AS. Tapi......! Kemudian terjadi perubahan besar. Saya tidak jadi berangkat, melainkan diarahkan ke Makassar. Ya, ini hal “besar” dalam segala segi bagi saya. Segi positif maupun negatif. Sebagai prajurit, saya tetap menerima tugas tersebut. Saya berangkat ke Makassar untuk menjadi Panglima Indonesia Timur, dengan lebih dulu menjabat sebagai Kepala Staf untuk beberapa hari.
Saat sedang persiapan meninggalkan pekerjaan di Inspektorat Infanteri, suatu hari saya bertemu dengan Achmad Tirtosudiro. Dengan gembira ia mengatakan terima kasih ke saya. Katanya, karena saya batal ke Fort Keavenworth maka dia yang mendapat kesempatan pergi. Saya sempat bingung, tidak mengerti.
Ternyata, setelah melihat hasil ujian dimana Boyke Nainggolan tidak terpilih, MBAD menganggap itu adalah sesuatu yang sangat disayangkan, sayang kalau perwira secerdas Boyke tidak dikembangkan optimal. MBAD mengajukan permohonan ke Fort Keavenworth agar menambah ‘quota’ untuk Indonesia. US Embassy di Jakarta juga di-approach, agar ikut memperjuangkan ke pemerintahannya. Akhirnya berhasil. Yang akan berangkat, saya dan Nainggolan, peringkat 1 dan 2. Lalu karena saya batal, peringkat ke-3 naik, yaitu Achmad Tirtosudiro. Itulah mengapa dia datang berterima kasih kepada saya.
(Mayor W.P Boyke Nainggolan kemudian hari turut serta dengan kami dalam PRRI/Permesta, dan gugur tertembak oleh Tentara Pusat).
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.