Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual.
Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.
Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.
Peristiwa Andi Aziz di Makassar dan Pendaratan Batalyon Worang
KNIL |
Akhir Maret 1950, 300 serdadu KNIL dengan komandannya Kapten Andi Azis diresmikan menjadi APRIS. Andi Azis adalah mantan ajudan Perdana Menteri NIT, dan segera akan disusul oleh pasukan-pasukan KNIL lainnya.
3 April 1950, ketika sudah dipastikan akan datangnya 1 Batalyon APRIS ke Makassar, yaitu Batalyon Worang, Mr. Soumokil memimpin rapat para politisi yang sehaluan dengannya, berupa sejumlah oknum pemerintahan NIT bersama para pemimpin pauskan KNIL. Hasil rapat mereka : APRIS harus dilawan, NIT akan keluar dari RIS. Akan mereka proklamirkan bersama Republik Indonesia Timur. Begitulah, tepat pada hari yang sudah dijadwalkan tibanya dua kapal pengangkut pauskan yang membawa Batalyon Worang di Makassar.
5 April 1950, pasukan KNIL bergerak dipimpin Kapten Andi Azis menyerbu Markas APRIS dan Kantor Komisi Militer RIS. Letkol AJ. Mokoginta beserta para stafnya ditawan, begitu juga Markas CPM di Makassar, semua dikuasai oleh pasukan Andi Azis. Semua senjata APRIS dirampas, pembunuhan terjadi dimana-mana.
Bertepatan hari itu saya tiba dari Manado, mau melaporkan pada Ir. Putuhena dan Letkol Mokoginta tentang tahap-tahap keberhasilan yang sudah kami capai di Sulawesi Utara.
Sejak turun dari tangga pesawat saya telah menangkap suasana yang tidak beres. Ada suasana tegang. Ini terlihat pada gerak-gerik dan mata para polisi yang ada di lapangan terbang Mandai, lebih-lebih ketika memasuki ruang tunggu. Pemandangannya aneh sekali. Ada seorang pemuda, tegap, kelihatannya seperti seorang perwira militer atau polisi, tapi.....kok hanya pakai kain sarung? Didalam ruangan kantor Polisi Airport, pada jam kerja seperti ini memakai..kain sarung? Aneh..!
Karena perhatian mata saya sempat tertuju pada pemuda berkain sarung itu, ia lalu mendekati saya. Memberi hormat secara tentara, menyapa saya. Katanya dia tamatan Akademi Militer Yogyakarta, dia mengenali saya. Namanya Gatot Suherman. Dengan setengah berbisik dia bercerita tentang apa yang terjadi. KNIL mengadakan kudeta, merebut kekuasaan dari APRIS dan RIS. Dia dan sejumlah orang lainnya sudah menjadi tawanan, dan ditahan ditempat ini. Diserahkan ke Polisi, sambil pasukan pemberontak KNIL bergerak terus ke sasaran-sasaran lainnya.
Berdasar keterangan tersebut, saya langsung bergerak cepat menyusun strategi. Pertama-tama saya menemui Komandan Polisi di mandai, namanya Van Visjen. Saya tahu sekali kondisi psikologi para perwira warisan Belanda. Dalam masa sekarang ini, mereka yang justru takut dan bimbang terhadap kami tentara RI. Jadi ketika saya datangain, hanya sedetik saja dia dan stafnya memasang tampang galak, karena saya lebih galak lagi. Saya langsung seret dia menjauh dari teman-temannya, namun saya bicara dengan ramah. Dalam bahasa Belanda. Dan tepat perkiraan saya, ia langsung menyatakan siap untuk membantu saya, sambil minta tolong untuk nasibnya kemudian. Saya berjanji pasti akan menolong kalau semua ini sudah beres. Saya coba mengajak polisi lainnya yang justru bukan orang Belanda, yaitu Tatang Surya dan Sahelangi. Tapi mereka takut.
Sesuai taktik yang saya susun, saya akan berpura-pura ikut menjadi tahanan pasukan Van Visjen, tapi justru untuk bisa menggunakan semua fasilitas yang ada pada mereka. Telepon, mobil dinas mereka, dan bebas kemana saja karena ada pengawalan dari anak buahnya. Pengawal saya itu akan terlihat seperti penjaga saya yang menjadi ‘tawanan’. Untuk penginapan, saya menyuruh Visjen atur memindahkan ‘tempat tahanan’ dari Airport Mandai kesebuah Hotel ditengah kota Makasar. Semua dengan cepat langsung diaturnya.
Saya harus bergerak cepat dengan cermat. Saya sudah mendapat info, Letkol AJ. Mokoginta, Mayor Hartasning dan lain-lain sudah dalam tahanan Andi Azis. Jadi sekarang tinggal saya satu-satunya pemimpim APRIS di Makassar yang masih bebas. Saat itu juga saya minta diantar ke tiga tempat. Pertama, menemui Kapten Guus Supit Kepala PHB. Saya tahu orang teknis seperti dia tidak mungkin ditahan. Saya minta Guus Supit selidiki via telepon siapa saja teman-teman dari TNI yang bisa lolos dan tidak tertangkap, dan kalau bisa dihubungi dimana dan bagaimana. Dapat, antara lain Kapten Harry Pangemanan, juga dari Brigade Seberang. Guus Supit lantas mengajak saya makan di restoran di kampung Cina, katanya enak. Ternyata disini memang aman untuk perundingan. Tidak lama, Harry Pangemanan muncul setelah dihubungi Guus Supit via jaringannya.
Sambil makan, tanpa buang waktu langsung saya suruh Harry cari tahu siapa saja orang Minahasa yang ada dalam pasukan inti Andi Azis, yang punya kedudukan berpengaruh. Kemudian dapat,
“Namanya Ronny Pinaria. Tapi pangkatnya cuma Peltu.......” kata Harry.
“Ndak apa-apa. Saya jamin dia mampu,” kata saya.
“Usahakan cepat ketemu. Kita kasih jaminan bahwa APRIS akan tetap pakai dia nanti. Dia tidak akan dihukum nanti sebagai anak buah Andi Azis. Tugasnya, pengaruhi pimpinan pasukan gara ketika menyerbu Markas Pasukan Gagak Hitam di Sungguminasa jangan dengan kekuatan besar. Diatur agar dipecah kesasaran lain juga, supaya cukup seimbang. Pasukan kita di Sungguminasa adalah andalan kita satu-satunya, jadi kalau mereka bisa melakukan perlawanan yang berarti maka akan mempengaruhi semangat laskar-laskar rakyat di kampung-kampung untuk bangkit. Suruh juga itu Pinaria mengatur pengambilan senjata serta amunisi di gudang KNIL, langsung kasih ke laskar-laskar rakyat yang membutuhkannya.” Jelas saya panjang lebar memaparkan rencana saya.
Setelah itu saya langsung meluncur ketempat Letkol Mokoginta ditahan, tahanan rumah. Saya minta Van Visjen sendiri mengawal saya, supaya lebih dipercaya oleh pasukan KNIL yang jaga disana. Ketika masuk kedalam ruangan, saya sendiri langsung bersikap seperti bukan tawanan. Maksud saya adalah untuk bisa segera memulihkan semangat Mokoginta, karena saya tahu persis bagaimana kondisi kejiwaan seorang tentara jika berada dalam tawanan musuh. Tapi justru melihat saya muncul dalam situasi bukan tawanan seperti itu, Mokoginta jadi marah-marah. Dia takut akan memperparah hukuman yang ditimpakan oleh pasukan Andi Azis terhadap dirinya. Saya kaget juga dimarahi seperti itu. Mokoginta sepertinya sudah takut sekali dengan Andi Azis.
Disana juga saya ketemu Letkol Herman Pieters, saya cerita maksud saya, mungkin Pieters tahu ada hal-hal lain yang telah dialami oleh Mokoginta. Tapi Pieters Cuma kasi komentar yang berupa penilaiannya terhadap pribadi Mokoginta yang dilihatnya buruk sebagai serdadu. Bukan itu yang saya perlu.
Peltu Pinaria berhasil menjalankan misi dari kami. Pertempuran di Tangsi Gagak Hitam di Sungguminasa berjalan seimbang, malah kemudian pasukan KNIL dipukul mundur. Apalagi kemudian laskar rakyat dari berbagai penjuru datang membantu. Kemudian, pasukan yang dipimpin Brandes Angkow, Sam Mangindaan, Willem Maleke, Jan Rombot dan Goan Sangkaeng itu bahkan maju ke front tengah kota, mengejar pasukan KNIL yang berundur. Pertempuran besar pecah di Verlengde Klapperlaan. Dalam pertempuran ini gugur beberapa personil Gagak Hitam. Diantaranya, Letnan Joost Karaouwan, Letnan Yo Rei, Letnan Tangkudung, Sersan Palengkahu dan Sersan Pantouw. Tapi justru dampak dari penampilan mereka laskar rakyat bangkit dimana-mana. Masyrakat pun berpikir, pasukan APRIS yang di Sungguminasa saja tidak dapat ditaklukkan oleh KNIL, Rakyat dimana-mana bangkit melawan, bahu membahu dengan sisa-sisa pasukan APRIS. Malam tanggal 5 April itu juga situasi mulai berubah, Mokoginta dibebaskan dari tahanan rumah.
Melihat situasi makin lemah bagi pihak mereka di Makassar, Mr. Ch. R.S. Soumokil bersama Overste Gisjberts, Kepala Staf Teritorial Tentara Belanda di Indonesia Timur, tanggal 15 April berangkat dengan pesawat ke Manado. Rencananya, mereka akan menggerakkan KNIL di Minahasa dan mendirikan Republik Timur Besar, karena mereka tahu orang-orang Minahasa lebih pro-Belanda.
Tapi mereka tidak tahu kalau justru di Sulawesi Utara sudah lebih dulu kami konsolidasikan. Terbayang juga bagaimana sekiranya Sulut belum sempat dikonsolidasikan, pasti peristiwa APRA di Bandung dan Andi Azis di Makassar akan terulang di Manado. Bahkan mungkin lebih hebat lagi.
Di Markas KNIL ia bertemu dengan Mangundap. Ajakan Soumokil ditolak mentah-mentah. Begitu juga ketika Soumokil bertemu pemuka-pemuka masyarakat, dia ditolak dimana-mana. Biak warga kota Manado dan pedalaman, Amurang, pedalaman Minahasa sama ditolak keras. “Kami pilih Indonesia Merdeka, bukan Timur Besar!” kata para pemimpin pemuda.
Di Amurang malah Soumokil hampir saja dihabisi oleh para pemuda, dia sampai harus meloloskan diri tengah malam dengan perahu nelayan dari pantai Tanawangko, takut kembali ke Manado. Juga dia berpikir, tidak mungkin lagi juga kembali ke Makassar. Maka ia lari ke Pulau Seram, Maluku Selatan. Disini ia mendirikan Republik Maluku Selatan. Satu lagi bom waktu “dipasang” oleh sang petualang ini.
Para Polisi keturunan Belanda yang menolong pada hari terjadinya
peristiwa Andi Azis kemudian saya tolong salurkan kedalam TNI. Puluhan
tahun kemudian, sekitar tahun 1970-an saya sudah aktif berbisnis, saat
sedang mengantar seorang relasi bisnis dari Jepang ke Lanud Halim
Perdanakusumah yang akan pulang, tiba-tiba sepasukan Polisi Militer
TNI-AU mendapat aba-aba memberi hormat kepada kami secara militer. Saya
kaget, karena saya tahu tidak ada prosedur militer untuk memberi
penghormatan kepada rombingan kami, apalagi kami sipil. Teman-teman yang
pengusaha Jepang tidak mengerti, mereka senang-senang saja, dia mengira
sudah aturan disini. Ternyata Komandan Paukan POMAU itu Van Visjen.
Rupanya ia terus menjadi polisi dilapangan terbang. Ia datang menyalami
saya, ia masih kenal wajah saya walau sudah lama dan sudah banyak
berubah. Mungkin saja karena wajah saya sering diliput media massa saat
Peristiwa PRRI/Permesta. Berkali kali dia mengucapkan terima kasih
kepada saya, padahal dulu sudah.
Gatot Suherman, pemuda berkain sarung dilapangan terbang, tawanan Van Visjen kelak menjadi Pangdam Udayana. Saya sempat bertemu dengannya saat acara GABSI di Lombok. Gatot sangat berterima kasih kepada saya karena perubahan statusnya dari tahanan beneran menjadi tahanan pura-pura yang bahkan mendapat fasilitas hotel dan pengamanan di Makassar saat peristiwa Andi Azis.
Andi Azis lain lagi. Saya bertemu dengannya tahun 1953, waktu saya sudah di Pusat Infanteri di Bandung. Joop Worouw, Panglima di Makassar minta tolong saya besuk dan bantu-bantu Yo Wenas di Penjara Cimahi. Letnan Yo Wenas bekas anak buah saya, dan juga menjadi sopir merangkap ajudan Joop. Dia buat kesalahan, ndak bisa menahan diri, berangasan, nembak-nembak ban mobil orang. Akhirnya kena disiplin Militer. Yo Wenas sebenarnya seorang perwira yang cerdas. Alumni Akmil Yogya yang sangat pintar, encer otaknya. Nah, waktu menjenguknya di Cimahi, Yo bilang dikamar atas ada Andi Azis. Saya kemudian naik melihatnya.
Dua minggu lebih saya di Makassar. Kelompok KNIL Andi Azis sudah tidak mengganggu lagi. Batalyon Worang pun sudah mendarat. Rombongan pasukan APRIS yang lebih besar, dipimpin Kolonel Alex Kawilarang akan segera tiba. Sesudah bantu-bantu Mokoginta buat laporan ke Jakarta, saya pulang ke Manado. Tapi sebelum pulang, masih sempat datang makan bersama dengan apsukan Brandes Angkow di Pandang-pandang, Sungguminasa.
Kepada semua anggota AU Belanda maupun KNIL yang saya temui sepanjang perjalanan, saya dorong untuk bergerak. “Ambil alih secara baik-baik. Yang penting pengaruhi lebih dulu sebanyak-banyaknya teman lain dalam kesatuan.”
“Cepat-cepatlah melapor ke APRIS. Tetapkan saja hati, jangan bimbang untuk berkarir dalam TNI. Kalau ada kesulitan, hubungi saya di Tomohon,” pesan saya setelah memberi petunjuk buat proses masuk APRIS.
Begitulah proses pengalihan kekuasaan militer di Indonesia Timur. Berhasil dengan lancar di Sulawesi Utara, tapi berdarah-darah di Sulawesi Selatan dan Maluku. Sesudah peristiwa Andi Azis awal April 1950 itu, masih terjadi lagi pertempuran di Makassar pada pertengahan Mei, dan terjadi lagi di bulan Agustus 1950. Belum lagi yang di Maluku, pemberontakan KNIL dengan bendera RMS ini sempat berlangsung lama. Ini lah “bom-bom waktu” yang ditanam oleh penjajah Belanda.
Tragis..Kasihan serdadu-serdadu KNIL di Makassar itu, banyak yang fisiknya sudah tidak kuat lagi. Mayoritasnya orang Ambon, lainnya Minahasa, Makassar, Jawa dan Sunda. Semakin mereka dalam keadaan diombang-ambingkan, makin gampang pula dihasut provokasi, lalu dengan nekat memberontak. Padahal, sebagaimana fakta yang sudah terjadi pada pemberontakan awal April itu, dengan pasukan kami-APRIS, yang masih sangat sedikit itu saja mereka tidak bisa berbuat banyak. Apalagi sekarang, setelah pendaratan Worang dan pasukan Kawilarang tiba di Makassar.
Di lain pihak, orang-orang KNIL dan politisi federalis itupun semestinya ada empati. Mereka harus tahu apa yang merupakan garis politik dan tekad juang setiap personil TNI, naik yang sudah menjadi TNI semasa di Jawa maupun teman-teman kami para gerilyawan pro-RI di wilayah Indonesia Timur. Begitu juga dengan faktor emosional disetiap anggota TNI dan gerilyawan pro-RI itu, termasuk perasaan dendam yang baru tumbuh dengan terjadinya Peristiwa APRA di Bandung dan Jakarta. Dan pasti langsung ditambahkan pada dendam yang sudah tumbuh akibat pembunuhan massal di Sulawesi Selatan yang juga dilakukan oleh oknum yang sama, Kapten Raymond Westerling.
Begitulah dalam kesimpang siuran situasi revolusi fisik. Meski diantaranya terdapat beberapa pihak yang memegang garis politik yang maisng-masing sebetulnya benar, namun tetap ada yang harus dikorbankan. Ini hukum sejarah, dan sudah menjadi sejarah perjalanan bangsa ini.
Gatot Suherman, pemuda berkain sarung dilapangan terbang, tawanan Van Visjen kelak menjadi Pangdam Udayana. Saya sempat bertemu dengannya saat acara GABSI di Lombok. Gatot sangat berterima kasih kepada saya karena perubahan statusnya dari tahanan beneran menjadi tahanan pura-pura yang bahkan mendapat fasilitas hotel dan pengamanan di Makassar saat peristiwa Andi Azis.
Andi Azis lain lagi. Saya bertemu dengannya tahun 1953, waktu saya sudah di Pusat Infanteri di Bandung. Joop Worouw, Panglima di Makassar minta tolong saya besuk dan bantu-bantu Yo Wenas di Penjara Cimahi. Letnan Yo Wenas bekas anak buah saya, dan juga menjadi sopir merangkap ajudan Joop. Dia buat kesalahan, ndak bisa menahan diri, berangasan, nembak-nembak ban mobil orang. Akhirnya kena disiplin Militer. Yo Wenas sebenarnya seorang perwira yang cerdas. Alumni Akmil Yogya yang sangat pintar, encer otaknya. Nah, waktu menjenguknya di Cimahi, Yo bilang dikamar atas ada Andi Azis. Saya kemudian naik melihatnya.
Dua minggu lebih saya di Makassar. Kelompok KNIL Andi Azis sudah tidak mengganggu lagi. Batalyon Worang pun sudah mendarat. Rombongan pasukan APRIS yang lebih besar, dipimpin Kolonel Alex Kawilarang akan segera tiba. Sesudah bantu-bantu Mokoginta buat laporan ke Jakarta, saya pulang ke Manado. Tapi sebelum pulang, masih sempat datang makan bersama dengan apsukan Brandes Angkow di Pandang-pandang, Sungguminasa.
Kepada semua anggota AU Belanda maupun KNIL yang saya temui sepanjang perjalanan, saya dorong untuk bergerak. “Ambil alih secara baik-baik. Yang penting pengaruhi lebih dulu sebanyak-banyaknya teman lain dalam kesatuan.”
“Cepat-cepatlah melapor ke APRIS. Tetapkan saja hati, jangan bimbang untuk berkarir dalam TNI. Kalau ada kesulitan, hubungi saya di Tomohon,” pesan saya setelah memberi petunjuk buat proses masuk APRIS.
Begitulah proses pengalihan kekuasaan militer di Indonesia Timur. Berhasil dengan lancar di Sulawesi Utara, tapi berdarah-darah di Sulawesi Selatan dan Maluku. Sesudah peristiwa Andi Azis awal April 1950 itu, masih terjadi lagi pertempuran di Makassar pada pertengahan Mei, dan terjadi lagi di bulan Agustus 1950. Belum lagi yang di Maluku, pemberontakan KNIL dengan bendera RMS ini sempat berlangsung lama. Ini lah “bom-bom waktu” yang ditanam oleh penjajah Belanda.
Tragis..Kasihan serdadu-serdadu KNIL di Makassar itu, banyak yang fisiknya sudah tidak kuat lagi. Mayoritasnya orang Ambon, lainnya Minahasa, Makassar, Jawa dan Sunda. Semakin mereka dalam keadaan diombang-ambingkan, makin gampang pula dihasut provokasi, lalu dengan nekat memberontak. Padahal, sebagaimana fakta yang sudah terjadi pada pemberontakan awal April itu, dengan pasukan kami-APRIS, yang masih sangat sedikit itu saja mereka tidak bisa berbuat banyak. Apalagi sekarang, setelah pendaratan Worang dan pasukan Kawilarang tiba di Makassar.
Di lain pihak, orang-orang KNIL dan politisi federalis itupun semestinya ada empati. Mereka harus tahu apa yang merupakan garis politik dan tekad juang setiap personil TNI, naik yang sudah menjadi TNI semasa di Jawa maupun teman-teman kami para gerilyawan pro-RI di wilayah Indonesia Timur. Begitu juga dengan faktor emosional disetiap anggota TNI dan gerilyawan pro-RI itu, termasuk perasaan dendam yang baru tumbuh dengan terjadinya Peristiwa APRA di Bandung dan Jakarta. Dan pasti langsung ditambahkan pada dendam yang sudah tumbuh akibat pembunuhan massal di Sulawesi Selatan yang juga dilakukan oleh oknum yang sama, Kapten Raymond Westerling.
Begitulah dalam kesimpang siuran situasi revolusi fisik. Meski diantaranya terdapat beberapa pihak yang memegang garis politik yang maisng-masing sebetulnya benar, namun tetap ada yang harus dikorbankan. Ini hukum sejarah, dan sudah menjadi sejarah perjalanan bangsa ini.
Bersambung ...
♜ Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.