Malari, Mahasiswa dan Cendekiawan Ditangkap, Ide Mereka Diserap
Jakarta ♼ Buntut peristiwa 'Malapetaka 15 Januari 1974' atau Malari, 700 sempat ditangkap. 45 di antaranya ditahan selama berbulan-bulan, hanya 3 orang diseret ke pengadilan: Hariman Siregar, Aini Chalid, dan Sjahrir. 2 yang pertama masih mahasiswa, nama terakhir sudah lulus.
Dari kalangan yang "sekadar" ditahan ada nama Sarbini Sumawinata, Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Marsillam Simanjuntak, Tawang Alun, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Adnan Buyung Nasution, dan sejumlah tokoh lain.
Para aktivis dan cendekiawan itu, sebelum Malari meletus, aktif mengkritik strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru. Rezim ini dianggap terlalu liberal, membuka pintu terlalu lebar bagi kalangan investor asing.
Sarbini, seperti dikutip dalam disertasi Rizal Mallarangeng di Ohio State University, menulis bahwa hal yang dibutuhkan adalah, "Kebijakan industrialisasi yang jelas, yang secara sadar diarahkan pada pertumbuhan industri dalam negeri berdasarkan kekuatan dalam negeri dan barang-barang dalam negeri..."
Mertua Hariman itu meraih gelar master ekonomi dari Belanda. Ia pernah menjadi Kepala Biro Pusat Statistik (BPS) pada 1955.
Malari akhirnya meletus. Namun, Malari menyimpan paradoks: para mahasiswa dan cendekiawan ditangkap, ide-ide mereka diserap.
Satu pekan setelah Malari, Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional menggelar rapat khusus. Rapat itu menghasilkan sebuah keputusan presiden yang mengubah sistem kerja Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Dalam kebijakan baru itu, semua investasi asing diwajibkan berbentuk patungan dengan mitra lokal. dengan, minimal 51% saham harus milik mitra lokal. Beberapa pengecualian diberikan di ragam industri padat karya bidang elektronik yang berorientasi ekspor.
Kredit Candak Kulak (KCK) digelontorkan dengan pelaksanaan diserahkan ke Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pinjaman ini diberikan kepada pedagang kecil dan harus dilunasi dalam 5 hari sampai 7 bulan dengan bunga 12% setahun.
KCK dilancarkan untuk menekan praktik lintah darat yang kerap menjerat pera pedagang kecil itu dalam pusaran utang tanpa ujung.
Selain KCK, juga dluncurkan beberapa kebijakan kredit untuk rakyat kecil seperti Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Pengusaha keturunan Tionghoa tak diperkenankan menerima dua jenis kredit ini.
Lalu, digelar Program Inpres meliputi pembangunan sekolah dasar di seluruh Indonesia. Dalam "Petisi 24 Oktober" yang dirilis Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, misalnya, soal pemerataan memang mendapat sorotan tajam.
Salah satu poin petisi adalah: "...mengingatkan kepada pemerintah, militer, intelektual, teknokrat, dan politisi agar meninjau kembali strategi pembangunan, sehingga terjadi keseimbangan bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti-kemiskinan, kebobrokan, dan ketidakadilan."
Statistik membuktikan, program itu membuahkan hasil: rasio anak yang bersekolah meningkat dari 55% pada 1974 menjadi 100% pada 1983.
Gubernur Bank Indonesia saat itu, Rachmat Saleh, mengatakan, "Perekonomian Indonesia yang sehat hanya dapat direalisir berdasarkan usahawan pribumi...seluruh prioritas kebijakan kredit di masa mendatang akan diarahkan kepada bisnis pribumi, besar atau kecil."
Program-program itu membutuhkan banyak biaya. Pada saat bersamaan, terjadi "bonanza minyak." Dipicu konflik Arab-Irael pada akhir 1960-an dan akhir 1970-an, negara-negara penting anggota OPEC melakukan embargo minyak ke Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa. Harga minyak pun meroket.
Dari April 1973 sampai 1974, harga minyak mentah naik hampir 400%, dari US$ 2,96 menjadi US$ 10,8. Sebagai negara pengekspor minyak, rezeki datang pada saat dibutuhkan ke kocek Indonesia.
Pengeluaran pemerintah juga meningkat tajam. Pada 1972-1973, pengeluaran pembangunan sebesar Rp 314,1 miliar. Pada 1974-1975, melonjak jadi Rp 615,7 miliar. Hampir 2 kali lipat.
Inilah masa ketika Orde Baru memperlihatkan wajah yang garang tapi populis.(Yus)
Jakarta ♼ Buntut peristiwa 'Malapetaka 15 Januari 1974' atau Malari, 700 sempat ditangkap. 45 di antaranya ditahan selama berbulan-bulan, hanya 3 orang diseret ke pengadilan: Hariman Siregar, Aini Chalid, dan Sjahrir. 2 yang pertama masih mahasiswa, nama terakhir sudah lulus.
Dari kalangan yang "sekadar" ditahan ada nama Sarbini Sumawinata, Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Marsillam Simanjuntak, Tawang Alun, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Adnan Buyung Nasution, dan sejumlah tokoh lain.
Para aktivis dan cendekiawan itu, sebelum Malari meletus, aktif mengkritik strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru. Rezim ini dianggap terlalu liberal, membuka pintu terlalu lebar bagi kalangan investor asing.
Sarbini, seperti dikutip dalam disertasi Rizal Mallarangeng di Ohio State University, menulis bahwa hal yang dibutuhkan adalah, "Kebijakan industrialisasi yang jelas, yang secara sadar diarahkan pada pertumbuhan industri dalam negeri berdasarkan kekuatan dalam negeri dan barang-barang dalam negeri..."
Mertua Hariman itu meraih gelar master ekonomi dari Belanda. Ia pernah menjadi Kepala Biro Pusat Statistik (BPS) pada 1955.
Malari akhirnya meletus. Namun, Malari menyimpan paradoks: para mahasiswa dan cendekiawan ditangkap, ide-ide mereka diserap.
Satu pekan setelah Malari, Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional menggelar rapat khusus. Rapat itu menghasilkan sebuah keputusan presiden yang mengubah sistem kerja Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Dalam kebijakan baru itu, semua investasi asing diwajibkan berbentuk patungan dengan mitra lokal. dengan, minimal 51% saham harus milik mitra lokal. Beberapa pengecualian diberikan di ragam industri padat karya bidang elektronik yang berorientasi ekspor.
Kredit Candak Kulak (KCK) digelontorkan dengan pelaksanaan diserahkan ke Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pinjaman ini diberikan kepada pedagang kecil dan harus dilunasi dalam 5 hari sampai 7 bulan dengan bunga 12% setahun.
KCK dilancarkan untuk menekan praktik lintah darat yang kerap menjerat pera pedagang kecil itu dalam pusaran utang tanpa ujung.
Selain KCK, juga dluncurkan beberapa kebijakan kredit untuk rakyat kecil seperti Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Pengusaha keturunan Tionghoa tak diperkenankan menerima dua jenis kredit ini.
Lalu, digelar Program Inpres meliputi pembangunan sekolah dasar di seluruh Indonesia. Dalam "Petisi 24 Oktober" yang dirilis Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, misalnya, soal pemerataan memang mendapat sorotan tajam.
Salah satu poin petisi adalah: "...mengingatkan kepada pemerintah, militer, intelektual, teknokrat, dan politisi agar meninjau kembali strategi pembangunan, sehingga terjadi keseimbangan bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti-kemiskinan, kebobrokan, dan ketidakadilan."
Statistik membuktikan, program itu membuahkan hasil: rasio anak yang bersekolah meningkat dari 55% pada 1974 menjadi 100% pada 1983.
Gubernur Bank Indonesia saat itu, Rachmat Saleh, mengatakan, "Perekonomian Indonesia yang sehat hanya dapat direalisir berdasarkan usahawan pribumi...seluruh prioritas kebijakan kredit di masa mendatang akan diarahkan kepada bisnis pribumi, besar atau kecil."
Program-program itu membutuhkan banyak biaya. Pada saat bersamaan, terjadi "bonanza minyak." Dipicu konflik Arab-Irael pada akhir 1960-an dan akhir 1970-an, negara-negara penting anggota OPEC melakukan embargo minyak ke Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa. Harga minyak pun meroket.
Dari April 1973 sampai 1974, harga minyak mentah naik hampir 400%, dari US$ 2,96 menjadi US$ 10,8. Sebagai negara pengekspor minyak, rezeki datang pada saat dibutuhkan ke kocek Indonesia.
Pengeluaran pemerintah juga meningkat tajam. Pada 1972-1973, pengeluaran pembangunan sebesar Rp 314,1 miliar. Pada 1974-1975, melonjak jadi Rp 615,7 miliar. Hampir 2 kali lipat.
Inilah masa ketika Orde Baru memperlihatkan wajah yang garang tapi populis.(Yus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.